Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.
Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.
Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 13
Seminggu setelah Arlina mundur dari pengadilan.
Alya berdiri di pelataran Rumah Cahaya, memandang langit sore yang mulai kemerahan. Aira sedang bermain gelembung sabun bersama anak-anak lain, tawa kecilnya melayang ke udara.
Surat yang ditinggalkan Arlina belum dibuka. Masih terlipat rapi, diselipkan dalam amplop putih gading bertuliskan:
Untuk Bundanya Aira — wanita yang mencintai anakku lebih dari diriku sendiri.
Dengan hati gemetar, Alya membukanya.
Alya,
Aku tahu, aku bukan ibu yang baik. Aku datang dengan penuh luka, berharap bisa mengambil kembali sesuatu yang pernah kutinggalkan. Tapi Aira... dia bukan barang. Dia hati yang sedang belajar memercayai.
Setelah bertemu dengannya, aku sadar, bukan hak asuh yang harus ku perjuangkan, tapi hak untuk berubah.
Aku mundur, bukan karena kalah. Tapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin menang dengan cara yang benar.
Terima kasih telah menjaga Aira. Tolong, izinkan aku tetap menyayanginya — dari jauh, untuk sekarang.
— Arlina
Alya menangis diam-diam. Ia tahu – tak ada kemenangan mutlak dalam kisah seperti ini. Hanya kebaikan yang lahir dari luka.
Dua minggu kemudian.
Rumah Cahaya pulih sedikit demi sedikit. Donatur kembali berdatangan, beberapa media bahkan meminta wawancara eksklusif — yang semuanya ditolak Alya.
“Aku bukan kisah viral,” katanya pada Rey. “Aku hanya ingin hidup tenang.”
Tapi Rey, seperti biasa, tak menyerah.
Ia datang membawa dua tiket perjalanan ke Ubud, bersama brosur tentang retreat keluarga, lengkap dengan program healing dan terapi ibu-anak.
“Kita butuh jeda, Alya. Kamu, Aira... kita semua. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menyembuhkan.”
Alya menatap tiket itu lama.
“Kita?” tanyanya pelan.
Rey mengangguk. “Kalau kamu izinkan aku ikut jadi bagian dari ‘kita’ itu.”
Sore itu.
Alya mengajak Aira duduk di bawah pohon mangga di belakang rumah.
“Sayang,” katanya, “kalau kamu punya dua orang yang sayang sama kamu, kamu pilih yang mana?”
Aira menatapnya polos. “Yang selalu ada. Yang pelukannya gak pernah pergi.”
“Kalau mereka berdua sama-sama baik?”
Aira berpikir, lalu menjawab, “Berarti aku punya dua tempat buat pulang.”
Alya tersenyum. “Dan kalau satu dari mereka mau jadi bagian dari hidup kita lebih dekat lagi?”
Aira menoleh. “Bunda mau nikah?”
Alya tergelak pelan. “Mungkin. Tapi bukan karena terpaksa. Karena... aku ingin kita punya rumah yang lebih hangat lagi. Bukan cuma dari atap, tapi dari hati.”
Aira mengangguk, lalu berbisik, “Kalau Bunda senang, Aira juga senang.”
Malam itu.
Alya duduk berdua dengan Rey. Mereka bicara tentang masa depan — bukan dalam bentuk janji, tapi rencana nyata: sekolah Aira, masa depan Rumah Cahaya, dan... kehidupan yang mungkin mereka bangun bersama.
Rey menggenggam tangannya. “Kamu tidak harus menjawab sekarang. Tapi kalau suatu hari kamu siap... aku masih di sini.”
Alya menatapnya lama.
“Aku siap,” katanya pelan. “Tapi bukan untuk jadi milik siapa-siapa. Aku siap untuk... membangun bersama.”
Beberapa bulan kemudian.
Alya dan Rey tidak langsung menikah. Tapi mereka hidup berdampingan. Alya tetap membesarkan Aira sebagai ibu tunggal, dengan Rey sebagai sahabat dan sosok ayah yang perlahan diterima Aira.
Dan suatu pagi, Aira memberikan gambar yang ia lukis sendiri.
Di atasnya tertulis,
"Ini rumah kita. Ada Bunda, Kak Rey, dan Aira. Kita bertiga.
Rumah Aira bukan dari tembok. Tapi dari tangan yang nggak pernah lepas."
Alya menangis membaca itu. Bukan karena sedih. Tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa tidak lagi berjalan sendirian.
Tak semua cinta harus dibuktikan lewat upacara. Kadang, cinta cukup ditunjukkan lewat kesediaan untuk tetap tinggal — saat semuanya telah runtuh, dan yang tersisa hanyalah niat untuk memperbaiki, hari demi hari.
*
Tiga bulan menjelang pernikahan Alya dan Rey.
Rumah Cahaya sedang dihiasi lampu-lampu kecil, bukan untuk pesta besar, melainkan untuk merayakan syukuran sederhana, ulang tahun Aira ke-7. Alya memeluk putri kecilnya yang tertidur setelah memotong kue, dan Rey mengemasi hadiah dengan senyum penuh haru.
Semua terasa tepat. Hangat. Tenang.
Hingga satu malam, ponsel Rey berdering panjang — dan ia menerimanya di luar, suaranya terdengar tegang.
Alya tak ingin curiga. Tapi besoknya, Rey pulang terlambat. Lusa, lebih lama lagi. Lalu, suatu malam, Rey memintanya bicara dengan nada yang tak seperti biasanya.
“Alya, aku harus jujur. Ada seseorang dari masa lalu-ku datang. Namanya Sinta. Kami pernah bertunangan… dulu, sebelum aku pindah ke kota ini.”
Alya menatapnya lekat-lekat. “Kenapa dia datang sekarang?”
“Karena dia tahu aku akan menikah. Dan... karena dia bilang aku belum benar-benar menyelesaikan janji yang pernah ku buat.”
Dan tubuh Alya seketika membeku
Dua hari kemudian.
Sinta datang.
Wanitanya elegan, kalem, dan menyimpan sorot mata yang tajam. Duduk berseberangan dengan Alya di sebuah kafe, ia menatap dengan angkuh.
“Rey itu lelaki baik. Tapi dia juga lelaki yang melarikan diri. Dulu dia yang melamar aku, lalu pergi tanpa penjelasan. Sekarang dia mau menikah denganmu, tanpa pernah minta maaf.”
Alya tidak gentar. “Kalau kau datang untuk menagih janji, datanglah ke Rey. Bukan padaku.”
Sinta tersenyum dingin. “Aku datang ke kamu karena aku tahu kamu akan mengerti satu hal: luka masa lalu tak bisa ditutupi dengan bunga dan lamaran baru.”
“Apa maksudmu?” tanya Alya pelan.
“Maksudku, kamu tak akan pernah benar-benar bahagia dengan Rey kalau kamu sendiri merasa seperti pelarian dari kisah yang belum selesai.”
Malam itu, Rey menjelaskan semuanya.
Sinta adalah cinta masa kuliahnya. Mereka sempat bertunangan saat Rey masih muda dan ambisius. Tapi ketika Sinta mengalami keguguran karena kecelakaan, Rey, yang tidak siap menghadapi duka, memilih pergi — membawa rasa bersalah dan trauma yang tak pernah selesai.
“Aku pengecut waktu itu,” kata Rey. “Dan sekarang, mungkin aku masih terlihat pengecut. Tapi satu hal yang tak pernah berubah: keinginanku membangun hidup yang baru denganmu. Dengan Aira.”
Alya menunduk. Ia tahu perasaan itu — dibayangi oleh masa lalu yang belum beres.
“Apa kamu masih mencintainya?” tanyanya.
Rey menggeleng. “Aku tidak tahu apakah perasaanku saat itu adalah cinta. Tapi yang aku tahu, cintaku padamu bukan karena kamu pengganti, tapi karena kamu pilihan.”
Alya pergi ke Rumah Cahaya malam itu.
Ia butuh sendiri. Butuh bicara dengan dirinya sendiri, dengan dirinya yang dulu — perempuan yang pernah dikhianati, yang pernah dianggap “madu”, yang pernah dipinggirkan karena bukan istri sah, lalu menjadi janda dari cinta yang rumit.
Di ruang sunyi itu, ia menulis di buku harian kecil,
"Cinta tak datang dari siapa yang paling dulu. Tapi dari siapa yang paling siap bertahan di akhir."
Seminggu kemudian.
Sinta mengirim surat — bukan tuntutan hukum, bukan permintaan gila. Tapi surat permintaan maaf pada Alya dan Rey. Ia mengaku bahwa yang ia cari bukan balasan cinta, melainkan pengakuan bahwa luka lamanya memang nyata.
Dan surat itu diakhiri dengan,
"Aku tidak akan datang ke pernikahan kalian. Tapi aku berdoa kalian tidak saling melarikan diri ketika luka datang lagi. Karena cinta sejati bukan hanya tentang memilih, tapi tentang bertahan untuk menyembuhkan."
Alya dan Rey berdiri di ambang pintu kehidupan baru. Tapi mereka tidak masuk dengan senyum dan lagu indah. Mereka masuk sambil membawa luka masing-masing — bukan untuk dilupakan, tapi untuk diobati bersama.
Dan itulah yang membuat langkah mereka lebih kuat.