Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
yang tertidur, tapi hidup
Mama menarik napas sejenak, menatap teh jahe yang masih mengepulkan uap tipis. "Besok adikmu ada acara di luar sekolah. Katanya penting. Papa minta kamu yang antar, soalnya Papa-mu masih proses pemulihan."
Danu meraih gelas teh, menyeruput pelan. "Memangnya Papa sakit apa, Ma?"
Mama terlihat ragu sejenak, lalu duduk lebih dekat. "Akhir-akhir ini pekerjaan papamu sangat padat, Nu. Dan puncak nya dua hari lalu dia diajak tante mu ke rumah sakit di kota sebelah. Mereka menjenguk anak partner kerja nya... katanya koma."
"Koma?" Danu mengerutkan kening.
"Iya. Katanya sih udah koma bertahun-tahun. Dari situlah, mungkin Papa-mu kecapekan waktu itu. Pulangnya langsung lemas, terus asam lambungnya kambuh. Jadi ya... beberapa hari ini harus istirahat total."
Danu mengangguk pelan, tapi wajahnya tetap menyimpan tanya. "Kenapa nggak bilang dari kemarin-kemarin?"
"Karena Mama tahu kamu pasti langsung pulang, padahal kamu juga sibuk di sana. Ini juga cuma butuh kamu sehari-dua hari di sini. Setelah acara adikmu selesai, kalau mau balik ke kota A lagi ya silakan."
Danu terdiam sejenak, menatap uap teh yang mulai hilang.
"Besok jam berapa acaranya, Ma?"
"Jam delapan pagi. Tapi adikmu itu senangnya pakai acara dandan dulu dari subuh. Jadi siap-siap aja ya, kakak kebanggaan," jawab Mama dengan senyum kecil, mencoba mencairkan suasana.
Danu menghela napas, separuh pasrah. "Ya udah. Besok aku yang antar."
Galang yang sejak tadi diam di meja makan tiba-tiba angkat suara sambil mengangkat tangan seperti anak sekolah yang mau izin.
"Tante, Galang ikut juga ya besok? Nggak enak juga disini cuman numpang tidur"
Mama Danu tertawa kecil. "Loh, ya justru bagus, Galang. Lebih rame, lebih aman juga. Danu nggak bakal nyasar di jalan," ujarnya sambil melirik Danu menggoda.
"Eh, maaf-maaf, Ibu Aini terhormat. Saya nih juara GPS lokal, loh," balas Danu sambil pura-pura bangga, membuat Galang menyikut lengannya ringan.
"GPS lokal tapi sering salah belok. Aku ikut besok biar adikmu selamat sampe tujuan."
Mereka tertawa pelan bersama, suasana rumah mulai terasa hangat.
Namun obrolan mereka terhenti ketika terdengar suara pelan dari atas tangga.
"Nu....."
Danu langsung berdiri dan menoleh ke arah suara itu. "Papa?"
Di ujung tangga, tampak Pak Arman menuruni anak tangga pelan sambil memegang pegangan kayu. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya hangat melihat mereka.
"Sudah bangun, Pa?" Danu segera menyambut dan membantu ayahnya menuruni tangga.
"Iya, tadi dengar kalian ngobrol. Seru sekali kayaknya."
Mama Danu buru-buru menghampiri. "Pak, pelan-pelan. Baru juga dua hari bed rest udah pengin turun."
"Papa bosan, maa. Di atas terus, kayak tahanan rumah," sahut Pak Arman, tersenyum tipis.
Setelah sampai di kursi meja makan, Danu membantu ayahnya duduk dengan hati-hati. Galang langsung menyodorkan bantal kecil sebagai sandaran punggung.
"Ini, Om. Biar nyaman."
Pak Arman tersenyum lebar. "Wah, makasih, Galang. Anak baik kamu ini. Ternyata anak zaman sekarang perhatian juga, ya,"
Galang tertawa kecil. "Numpang di rumah orang baik, harus belajar jadi baik juga, Om."
Pak Arman tertawa pelan, lalu menoleh ke Danu. "Kuliah kamu gimana, Nu? Lancar?"
"Alhamdulillah, Paa. Tugas numpuk, tapi masih aman terkendali."
"Galang juga gimana kuliah nya?"
"Iya, Om. Sama kayak Danu, cuma beda prodi aja. Saya jurusan yang lebih banyak ngeluhnya."
Danu mendengus, "Tapi ngeluhnya sambil nyemil, jadi nggak kelihatan stres."
Semua tertawa, bahkan mama Danu ikut tersenyum tipis.
Tak selang lama, Danu kembali membuka pembicaraan. "Eh, gimana Paa? Kok bisa jagoan tumbang sih? Katanya Iron Man."
Papa Danu terkekeh pelan. "Iron Man juga bisa lowbat, Nu."
"Iya juga sih," Danu nyengir. "Tapi nggak nyangka aja. Selama ini Papa selalu kelihatan tahan banting."
Pak Arman memandang anaknya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Tubuh kayaknya udah nyuruh papa istirahat. Udah lama juga papa nggak benar-benar leyeh-leyeh."
"Iya, Papa mu tuh kerjanya kebanyakan. Nggak pernah mau istirahat lama, tapi sekalinya istirahat harus nginep dulu di rumah sakit" timpal mama Danu sambil meletakkan nampan berisi teh dan camilan kecil.
Galang ikut nimbrung, "Om kayaknya emang tipe-tipe yang baru rebahan kalau udah benar-benar disuruh badan, ya."
"Hehe, bisa jadi," jawab Pak Arman sambil menyeruput teh. "Tapi ngomong-ngomong soal rumah sakit…" Pak Arman mulai, suaranya menurun.
Danu dan Galang langsung memperhatikan.
"Beberapa hari lalu, Papa dan Tante Lisa ke RS Graha utama di kota C. Kami menjenguk anak dari partner kerja tante kamu. Gadis itu… koma. Udah lama. Katanya sih hampir lima belas tahun lebih."
Bu Aini duduk di samping suaminya, menatapnya lembut. sedangkan Danu dan Galang langsung bereaksi sebaliknya.
"Hah? Koma lima belas tahun? Itu koma atau berhenti hidup pa?"
"Hust!" Mama Danu langsung menegur sambil memberi tatapan tajam. "Kamu itu, Nu. Jangan ngomong yang nggak-nggak! Anak itu koma, bukan meninggal"
Danu langsung cengengesan, sementara Galang juga ikut tertawa kecil.
"Ya maap, Maa. Habis nya masa iya koma sampe segitunya. Tapi… emang bisa ya koma bertahun-tahun? Bahkan ini puluhan tahun, loh?"
Pak Arman hanya mengangkat kedua bahunya ringan, senyumnya tipis tapi sorot matanya serius. "Papa juga tidak paham, tapi ini buktinya?"
Danu mengernyit. "Lalu apa penyebab dia sampai koma selama itu? Apa mungkin dia memiliki penyakit bawaan?"
Pak Arman langsung menggeleng cepat. "Bukan karena penyakit. Tapi kecelakaan. Awalnya si anak itu jatuh, waktu liburan keluarga. Mereka lagi jalan-jalan, katanya sih mendaki gunung, tapi... saat itu ada hujan badai besar. Dan Anak itu terpisah dari orang tuanya, bahkan sempat hilang beberapa hari"
Suasana jadi hening sejenak.
"Hari ke tiga dia ditemukan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Tapi sejak itu… dia tidak pernah bangun lagi. Tapi anehnya, semua sistem tubuhnya stabil. Gak ada alat bantu napas. Cuma tidur."
Galang yang merasa langsung tertarik, tiba-tiba saja mencondongkan badan lebih maju "Terus... kondisi dia sekarang gimana, Om?"
Pak Arman menghela napas pelan. "Tetap sama. Masih tidur dan kini dirawat di salah satu rumah sakit swasta elite di kota.m sebelah. Tapi sebenarnya bukan itu yang bikin aneh…"
Danu dan Galang langsung pasang telinga.
Pak Arman melanjutkan dengan nada rendah. "Yang aneh, ruang rawat anak itu. Kamarnya di lantai khusus. Begitu masuk area itu, kamu harus lewatin dua petugas keamanan. Setiap pengunjung harus lapor dulu. Gak ada yang bisa masuk ke ruangannya langsung. Bahkan waktu Papa dan Tante Lisa ke sana, kami cuma diizinkan ngintip dari balik kaca besar. Kayak… aquarium."
"Kaca besar?" Danu memiringkan kepala.
"Serem juga, ya..." gumam Galang pelan.
"Ya, satu sisi kamar itu full kaca. Tapi gelap dari dalam. Gak kelihatan isi ruangan kalau lampunya mati. Waktu kami datang, mereka nyalain sebentar… dan ya, anak itu masih terbaring. Tak bergerak."
Galang mulai gelisah. "Om… itu kok kayak... ruang isolasi rahasia di film-film, ya?"
Danu ikut nyengir. "Iya. Jangan-jangan... dia sebenernya agen rahasia yang kena sabotase."
"Hus, kalian ini," Mama Aini menggeleng sambil tersenyum jengkel.
Pak Arman ikut tersenyum tipis. "Tapi memang… suasananya lain. Beda sama ruangan pasien biasa. Bahkan para suster yang lewat di lorong itu... semua diam, nyaris tanpa suara. Seperti sudah diatur."
Galang mengangguk pelan. "Mungkin… keluarganya kaya banget, ya?"
Pak Arman mengangguk. "Sangat. Keluarga nya terpandang di kota itu. Asetnya bahkan sampai ke luar negeri. Tapi tetap aja… perlakuan itu… terlalu berlebihan. Bahkan dokter yang menjelaskan ke kami pun hanya satu orang. Suster yang mendampingi juga pakai ID card khusus."
Danu bersandar di sandaran sofa, ekspresinya mulai serius. "Kaya atau enggak… gak biasanya rumah sakit memperlakukan pasien koma kayak tahanan VIP."
Galang ikut bergumam, "Kayak… mereka sembunyikan sesuatu."
Pak Arman menatap kedua pemuda di hadapannya, lalu mengangguk sangat pelan. "Itu juga yang Papa rasakan, Nu… Seolah… mereka takut anak itu bangun. Atau... takut sesuatu terjadi saat dia bangun."
Mama Aini menghela napas, kemudian bangkit dari duduknya sambil merapikan gelas-gelas bekas minum. "Ah, sudah ah ngomongin hal berat. Pagi-pagi begini lebih baik sarapan, daripada mikir yang aneh-aneh," katanya mencoba mengalihkan suasana.
Tapi Danu tetap duduk tegak, matanya tak lepas dari wajah papanya. "Pa… kenapa baru cerita sekarang? Maksudku… ini bukan hal biasa, lho. Kalau benar kayak gitu suasananya… ya serem juga. Anak itu koma, ruangan dikawal ketat, suasana hening kayak tempat rahasia. Lalu semua yang datang... mendadak jatuh sakit?"
Pak Arman tersenyum kecil. "Kamu ini nonton film terlalu banyak, Nu"
Danu tertawa pelan. "Ya siapa suruh kisah hidup Papa mirip plot drama thriller. Mana kita bisa santai?"
Saat mereka masih berbincang hangat di meja makan, bersamaan dengan Mama Danu yang baru saja meletakkan sepiring telur dadar dan tahu goreng di atas meja, disaat itulah terdengar langkah kaki menuruni tangga. Nadia, adik perempuan Danu, muncul dengan seragam SMA-nya yang rapi. Rambutnya dibiarkan tergerai lurus ke bawah, wajahnya bersih, dan tas sekolah sudah tergantung di bahu.
"Eh, pagi Nadia!" sapa Galang duluan, sambil mengangkat alis. "Tumben semangat banget, biasanya drama dulu tiap pagi."
Nadia mendengus pelan sambil menarik kursi. "Ih, kak Galang! Biasa aja kali. Sekarang kelas tiga, udah harus serius. Lagian hari ini ada simulasi UTBK."
"Simulasi UTBK?" Danu menoleh, baru ngeh. "Wah, udah gede juga adikku. Dulu masih minta ditemenin ke kamar mandi tengah malam, sekarang udah sibuk ngomongin kampus."
"Dasar!" Nadia melemparkan tatapan tajam ke arah Danu, tapi bibirnya menyungging senyum geli. "Mas Danujuga, kuliahnya gimana? Masih sering bolos kayak dulu nggak?”
Galang langsung tertawa. "Wah, Nad! Pertanyaannya jleb! Tembak langsung ke jantung."
Danu menahan tawa sambil menyendok nasi. "Ehem, kita mahasiswa tingkat akhir tuh beda. Bukan bolos, tapi ‘menjaga energi’ untuk skripsi. Lagian, yang penting lulus, kan?"
Mama Danu hanya geleng-geleng melihat ketiganya mulai ramai. "Yang penting jangan kebanyakan alasan. Makan dulu, baru debat."
Nadia terkekeh, lalu menoleh ke Galang. "Kalau Kak Galang gimana? Masih kerja sambil kuliah, ya?"
"Iya, Nad," jawab Galang sambil menyuap tahu goreng. "Kerja serabutan, kuliah nyicil. Hidup harus seimbang. Tapi ya, doa aja biar cepat lulus. Biar nggak jadi mahasiswa abadi kayak... Danu."
"Heh!" Danu menunjuk Galang pakai sendok. "Bilang lagi, potong uang makanmu minggu ini."
"Aku nggak pernah dapet uang makan dari kamu juga," balas Galang cepat.
Tawa pun pecah di meja makan. Pak Arman hanya mengangguk-angguk pelan, menikmati kehangatan pagi itu.
"Oh iya, Nad," Galang mencondongkan tubuhnya ke arah adik Danu, "Sekarang udah kelas tiga, ya? Gimana? Udah punya pacar belum?"
Nadia langsung melotot. "Apaan sih, Kak? Nggak ada waktu buat itu. Fokus belajar!"
Nadia baru saja menyuap sepotong telur dadar ke mulutnya ketika Galang tiba-tiba berseru, "Eh, Nu… tadi kamu denger nggak? Nadia bilang ‘nggak ada waktu buat itu’. Tapi bukan berarti ‘nggak punya’, kan?"
Danu langsung menyambut, matanya menyipit curiga. "Wah, iya ya. Bahasa anak sekarang tuh penuh kode. Jangan-jangan... dia udah punya pacar tapi disembunyiin!"
Nadia buru-buru menelan makanannya. "Ih, apaan sih! Nggak ada, tahu!"
Galang dan Danu saling pandang dengan senyum kompak, lalu menoleh ke Nadia bersamaan. "Ahaaa!" seru mereka berdua serempak.
"Pasti ada nih!" kata Danu sambil mengetuk-ngetuk meja. "Maa.. Paa... Liat tuh mukanya si bontot langsung panik. Itu pasti ekspresi ‘tertangkap basah’."
"Sepertinya aku setuju, Nu" timpal Galang cepat. "Biasanya yang paling keras menyangkal, itu justru paling mencurigakan."
Nadia menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Ya ampun, remaja-remaja jompo ini! Kalian berdua tuh kayak duo penyidik KPK. Udah deh, sumpah nggak ada!"
"Ciee… sampai bawa-bawa sumpah," goda Galang sambil tertawa. "Wah, Nu. Kita harus investigasi lebih lanjut. Coba deh cek HP-nya. Pasti ada nama yang dikasih emot love tiga biji."
Galang menimpali, "Atau chat dengan nama disamarkan, misal ‘Toko Fotokopi’ tapi tiap hari bilang ‘udah makan belum?’."
Nadia menepuk meja pelan, pura-pura kesal. "Mas Danu! Kak Galang! Biar kutumpahin ini air minum ke kalian berdua ya!"
"Waduh, kabur, Nu!" seru Galang pura-pura panik sambil menarik napas panjang.
Danu tertawa puas, sambil menghindar ke samping. "Awas, Nadia mulai mode gaban!"
Mama Danu hanya geleng-geleng sambil tertawa pelan melihat kelakuan anak-anaknya. Pak Arman menahan senyum sambil menyesap teh hangatnya.
"Udahlah kalian bertiga,” kata Mama Danu akhirnya. "Nadia itu rajin kok. Kalau pun nanti punya pacar, pasti anak baik juga. Yang penting saling jaga."
Nadia langsung memeluk lengan ibunya. "Tuh kan, Mama paling ngerti aku. Nggak kayak dua orang ini, kerjaannya cuma bikin naik darah."
Galang dan Danu cuma tertawa lagi, puas dengan keberhasilan mereka menggoda sang adik. Di balik godaan dan candaan itu, terselip rasa sayang yang tulus. Meski Galang bukan keluarga kandung, kehadirannya sudah menjadi bagian utuh dari lingkaran hangat itu, bagian yang sulit dipisahkan.
Papa Danu menyahut sambil tertawa kecil, "Kalau kalian bikin adik mu stres pagi-pagi, awas aja. Nanti simulasi UTBK-nya gagal, nyalahin siapa?"
Mereka pun kembali tertawa, dan pagi itu berubah menjadi momen kecil yang hangat, penuh tawa dan keakraban. Walaupun tadi sempat membicarakan hal berat, kini suasana sudah kembali ringan.