aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
Aku pun melangkah keluar dari balai desa. Udara pagi terasa gerah, tapi tidak lebih panas dari bara amarah yang sudah kutahan sejak tadi.
Sebentar lagi pak penghulu akan datang. Pernikahan siri yang katanya suci, padahal lebih mirip sandiwara murahan yang dibayar dengan harga malu dan air mata.
Dari kejauhan, terdengar suara-suara gaduh. Keluarga Wulan masih bertengkar. Mereka begitu syok, mungkin bahkan merasa tertipu. Lelaki yang dinikahi Wulan ternyata bukanlah pria mapan yang mereka banggakan, tapi seorang laki-laki tua berumur setengah abad—dan parahnya lagi, suami orang.
“Aku nggak mau, Kak! Aku nggak sanggup begini!” teriak Wulan dengan suara parau.
“Terlanjur! Kamu udah bikin malu keluarga!” bentak pamannya.
“Kalau memang laki-laki tua itu suami orang, kenapa kamu masih mau?” tanya adiknya dengan wajah bingung dan jijik bercampur jadi satu.
Wulan hanya menggeleng, tubuhnya gemetar.
“Dia bilang bakal ceraikan istrinya! Dia janji nikahin aku di hotel, ada foto prewed, pesta besar, mahar berlian!”
Aku tersenyum miring mendengar semuanya dari balik pintu. Jadi begitu ya, semua janji manis itu? Aku tak heran. Ramli memang pintar membangun istana di atas omong kosong.
Kubiarkan mereka ribut di dalam. Biarlah mereka menelan kenyataan ini—kenyataan pahit yang dulu juga pernah kuminum saat melihat suamiku berselingkuh diam-diam.
Kini waktunya mereka mengerti: tidak ada cinta yang tumbuh dari luka orang lain yang belum sembuh.
...****************...
Akhirnya, Wulan dan suamiku, Ramli, pun dinikahkan oleh penghulu dengan sangat sederhana, hampir tanpa riuh.
Mahar yang hanya sebesar 500 ribu rupiah—jumlah yang jauh dari ekspektasi keluarga besar Wulan yang semula membayangkan pesta mewah dan perayaan besar.
Mereka semua hanya bisa terdiam, melihat prosesi ini tanpa semangat.
Keluarga Wulan, yang awalnya berharap bisa memamerkan pernikahan ini kepada teman-teman dan saudara jauh mereka, kini hanya bisa terdiam kecewa.
Mereka tak habis pikir, bagaimana bisa Wulan yang semula dijanjikan kehidupan penuh gemerlap, malah menikah dengan lelaki tua yang bahkan sudah punya istri sah.
“Kami ini malu, Wulan!” ujar sepupunya dengan suara serak.
“Kamu pasti tahu, semua orang mengira ini akan jadi pernikahan yang indah, dengan uang melimpah. Tapi ini? Cuma... cuman 500 ribu rupiah, dan keluarga kami dipermalukan!”
Adik Wulan yang masih terlihat marah, menyentakkan tangannya ke meja, “Kita di sini bukan buat jadi bahan lelucon, Wulan. Ini bukan kehidupan yang layak buatmu!”
Namun Wulan hanya bisa menangis terisak, wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
Dia tidak bisa membalikkan keadaan, apalagi menjelaskan perasaannya. Tidak ada yang mengerti, dan dia hanya merasa terjebak.
Ramli, yang duduk di samping Wulan, tampak tak berdaya. Ia mungkin berpikir semua ini akan berakhir bahagia, tapi kenyataannya—malah semakin membingungkan.
Ia tak bisa berkata apa-apa, hanya menundukkan kepala.
Aku berdiri di depan mereka, tersenyum dingin.
“Inilah yang kalian inginkan, bukan?” kataku dengan suara datar.
“Wulan, selamat. Sekarang, kamu resmi menjadi istri kedua. Dengan semua perjanjian yang sudah saya buat, kamu takkan pernah mendapatkan satu pun dari harta yang Ramli miliki. Semoga kamu senang dengan hasil pernikahanmu.”
Suasana menjadi semakin tegang. Keluarga Wulan semakin terdiam, dan semua perasaan kecewa mereka tumpah begitu saja.
Perlahan, aku berbalik, siap meninggalkan balai desa ini.
"Ramli," kataku sambil melihatnya sejenak, "ini yang kamu pilih. Semoga kamu bahagia."
...****************...
"Mau apa kamu datang ke sini?" tanyaku dengan tatapan tajam, ia terlihat sangat bingung dengan pertanyaanku. Ditambah lagi Wulan yang menatapku dengan penuh kebencian. "Jawab, Pak! Kenapa kamu bawa perempuan murah ini ke sini?" tunjukku dengan penuh amarah.
"Jangan asal omong ya, aku ini bukan wanita murahan!" balasnya tak mau kalah.
"Kalau bukan murahan lalu apa? Wanita mahal mana yang mau berzina dengan suami orang dikontrakan?"
"Tutup mulutmu wanita tua! Ingat ya, aku ini sudah sah menjadi istri Mas Ramli. Jadi aku pun berhak atas semua harta miliknya termasuk tinggal di rumah ini bersama dengan anakku."
Mendengar perkataannya membuatku muak, aku langsung menoleh tajam.
Senyum sinisku terangkat.
“Bapak pikir ini rumah siapa?” tanyaku dingin, menatapnya tajam.
“Bapak cuma... kasihan sama Wulan. Dia nggak punya tempat. Keluarganya juga udah nggak mau nerima dia lagi. Lagipula rumah ini kan luas...”
Aku menyilangkan tangan di dada, menyela ucapan bodohnya,
“Luas bukan berarti untuk dibagi sama pelakor. Rumah ini aku yang susun dari nol, dari hasil kerja kita dulu waktu masih jualan gorengan. Bukan untuk kau bawa perempuan tak tahu diri tinggal di sini.”
Ramli hanya tertunduk, tak berani membantah. Usianya sudah lebih dari setengah abad, tapi kelakuannya seperti bocah baru mimpi basah.
Suamiku—Ramli—kembali memohon padaku. Wajahnya kusut, tubuhnya membungkuk seperti tak punya harga diri lagi.
“Bapak mohon... izinkan Wulan sama anak-anaknya tinggal di sini, ya? Mereka nggak punya tempat, diusir sama keluarganya.”
Aku menatapnya tajam dari balik pintu kamar, lalu berkata dengan tegas,
“Suruh tinggal di kontrakan! Dulu waktu kita susah, siapa yang peduli? Sekarang setelah hidup enak, seenaknya kau bawa perempuan ke sini? Mimpi!”
Ramli tertunduk, tak mampu membalas.
Wulan menggeram kesal, menatap Ramli yang masih berdiri kaku seperti patung. Suamiku itu menunduk, tidak berani menatapku, apalagi membantah.
“Kamu ini lelaki atau bukan, sih?!” bentak Wulan sambil menunjuk-nunjuk wajah Ramli. “Kenapa diam aja? Istrimu itu sudah jelas-jelas menghina aku, tapi kamu malah diem kayak ayam habis digodok!”
Ramli hanya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan,
“Aku nggak bisa... ini rumah dia. Dia yang bangun semuanya dari nol. aku cuma...”
“Cuma pengecut!” potong Wulan tajam. “Kamu suamiku sekarang! Kamu harusnya pasang badan buat aku, bukannya tunduk di bawah telapak kaki perempuan tua itu!”
Aku melipat tangan di dada, menahan tawa kecil.
“Kalau kamu ingin suami yang bisa pasang badan buatmu, salah pilih, Wulan. Bapak itu laki-laki yang tak bisa berdiri sendiri tanpa aku. Bahkan saat kami makan nasi aking, dia masih merengek karena lauknya asin.”
Ramli semakin menunduk.
Wulan mendengus.
“Pantesan hidupmu begini-begini aja. Katanya punya toko material, katanya punya tanah puluhan hektar, tapi ternyata nyalimu nol besar. Takut sama istri tua, percuma kamu punya harta banyak, Mas. Aku nyesel nikah sama kamu!”
Aku mendekat perlahan, menatap Wulan lekat-lekat.
“Sudah cukup. Kalau kamu ingin hidup nyaman, kamu harus mulai dari nol juga. Seperti aku dulu. Tapi kalau cuma bisa menuntut, merengek, dan marah-marah, lebih baik kamu pulang. Rumah ini tidak akan pernah jadi tempat tinggal perempuan yang datang dengan niat menghisap.”
Wulan melotot padaku, lalu menoleh tajam pada Ramli.
“Kamu... pengecut. Aku salah menikah. Lebih baik kita cerai!"