NovelToon NovelToon
Sisi Gelap Sebuah Klinik

Sisi Gelap Sebuah Klinik

Status: sedang berlangsung
Genre:Rumahhantu / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

Doni, seorang anak yang menitipkan hidupnya di sebuah klinik, namun ternyata klinik tersebut menyimpan sejuta rahasia penting, terutama untuk hidupnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pagi hari yang mengejutkan

Doni menarik napas dalam-dalam sambil mengepel lantai klinik. Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui jendela besar, menyoroti debu yang menari-nari di udara. Suasana tenang ini dia nikmati sebelum pasien mulai mengalir. Namun, suaranya yang teredam oleh keheningan menjadikan langkahnya terasa berat.

Lantai klinik mengkilap di bawah usahanya, tetapi perhatian Doni teralihkan oleh lemari tua yang menyendiri di pojok ruangan. Kayu itu tampak lapuk, tetapi lemari itu memancarkan aura misterius.

“Apa yang kau sembunyikan dalam dirimu?” bisiknya, mengusap permukaan kayu yang dingin dengan telapak tangan.

Dengan rasa ingin tahu menguasai hati, Doni membuka pintu lemari. Suara berdecit memenuhi udara ketika dia menariknya. Di dalamnya, berderet tumpukan arsip pasien, kertas-kertas kuno yang telah menguning oleh waktu. Nama, tanggal, dan diagnosis tersebar di sampul-sampul yang boleh dibilang sayang untuk diabaikan.

“Ini pasti punya cerita,” Doni berbisik pada diri sendiri.

Dia mengangkat salah satu berkas. Nama yang tercetak di situ menggetarkan jantungnya: Exora. Tak jauh dari pikirannya, hantu masa lalu mengingatkan saat-saat terakhir mereka sebelum Exora pergi. Dia menggigit bibir, berusaha menahan rasa getir yang muncul.

Doni tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Dia mengeluarkan arsip satu per satu, membacanya dengan teliti. Setiap keterangan membuatnya terperangah.

“Doni!” suara Ara terdengar dari luar. Dia tersentak dan berbalik, menutup lemari dengan cepat.

“Masuk!” serunya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Ara melangkah masuk, wajahnya bersinar, tetapi ada kecemasan di matanya.

“Aku bawa kau kopi,” katanya sambil mengulurkan cangkir panas.

Doni menerima kopi itu, tetapi pandangannya tetap bertahan pada lemari tua.

“Mau tahu berita buruk atau baik dulu?”

“Baik saja,” jawab Doni, sambil menghirup aroma kopi.

“Dokter bilang, hasil tes kulitku baik. Tapi dia minta aku kembali minggu depan untuk pemeriksaan lanjutan.”

“Syukurlah!” Doni mengangguk. “Itu memang penting. Biarkan aku bersihkan klinik ini setelah semua pasien kembali.”

Ara menatap lemari dengan intens. “Apa yang kau temukan di sana?”

Doni ragu. “Oh, hanya arsip lama. Aku... hanya membersihkan.”

Ara mendekat dan membuka pintu lemari yang baru saja ditutup Doni. Dia mengangkat salah satu dokumen.

“Exora? Siapa dia?”

Doni menahan napas, langkah kaki Ara belum bisa menjauh dari kenangan itu.

“Dia… seorang pasien,” jawabnya, berusaha datar. “Seseorang yang membutuhkan bantuan.”

“Sepertinya tidak ada penyembuhan di sini,” Ara menunjuk deretan arsip yang mengelilingi mereka. “Hanya perjuangan tanpa akhir.”

Doni menunduk, berusaha menyembunyikan kegundahan di wajahnya.

“Apa kau tidak penasaran tentang cerita mereka? Mungkin ada solusi yang bisa kita ambil dari pengalaman mereka. Apa sebenarnya yang mereka hadapi?”

“Seharusnya kita tidak menggali lebih dalam,” Doni menjawab, suara bergetar. “Ini bukan tempat yang aman.”

“Kesadaran tentang apa yang kita hadapi adalah langkah pertama menuju penyembuhan,” Ara menegaskan.

Doni tahu arahnya, tetapi ketakutan tampaknya mencengkeram hatinya.

“Dan jika apa yang kita temukan hanya bisa membuat kita terluka?” tanyanya ketus.

“Lebih baik tahu daripada hidup dalam kegelapan,” Ara menjawab, tidak ada keraguan dalam nada suaranya.

Doni menghela napas panjang. “Baiklah. Kita lihat saja.”

Ara tersenyum, tetapi itu hanya sesaat. Dia membuka satu berkas lagi dan mulai membaca.

“Kasus ketiga ini menyangkut dermatitis. Ia memiliki gejala yang sangat aneh—infeksi yang terus menerus.”

Doni mengangguk, mendekat untuk melihat lebih dekat.

“Apakah itu bisa menjadi petunjuk tentang apa yang kita cari?”

Doni mengerutkan keningnya. “Jangan tenggelam dalam tumpukan kertas ini. Kita harus fokus pada kenyataan, bukan masa lalu.”

Sejurus kemudian, langkah terdengar di luar klinik.

“Doni? Ara?” suara Doni mengenali pemiliknya sebelum memasuki ruangan.

Doni berusaha menyembunyikan arsip-arsip dari pandangan, tetapi tidak cepat cukup.

Doni terkejut ketika Ibu Mira, salah satu perawat, muncul dengan tatapan tajamnya.

“Lemari itu bukan untuk kepentinganmu, Doni. Semua arsip itu seharusnya tetap tersembunyi.”

Doni menelan ludah, dahi berkeringat. “Kami hanya ingin tahu lebih banyak tentang pasien, Bu.”

“Satu-satunya yang perlu kalian tahu adalah tugas kalian di klinik ini. Tidak lebih.”

Ara menatap Ibu Mira. “Tetapi kami berpikir informasi bisa membantu...”

Ibu Mira memotong. “Informasi tidak menyelesaikan masalah. Sementara itu, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik. Hentikan pencarian yang tidak perlu ini. Fokuslah pada tugas kalian.”

Ibu Mira berbalik dan pergi tanpa ragu, meninggalkan mereka dalam kebingungan.

Doni mendesah, merasa terjepit. “Dia benar. Ini bukan urusan kita.”

“Tapi rasa ingin tahu itu wajar,” Ara menjawab, bersikeras. “Ada banyak hal yang tersembunyi di tempat ini. Kita tidak bisa menutup mata.”

“Yang tersisa hanya puing-puing,” Doni menjawab dingin. “Kita harus melindungi diri kita.”

Ara ragu sejenak, tetapi api rasa ingin tahunya mengalahkan.

“Dan bagaimana jika kita menemukan sesuatu yang bisa membantu? Bagaimana jika kita bisa mencegah yang lain mengalami apa yang Exora alami?”

Doni terdiam, tetapi benaknya berputar.

“Jangan terjebak dalam kisah-kisah itu,” ujarnya akhirnya. “Kita tidak bisa mengubah yang sudah terjadi.”

Ara mendekat, menatap dalam. “Tetapi kita bisa membuat yang sekarang lebih baik. Jangan biarkan masa lalu membekapmu. Ini adalah sisi lain dari dirimu yang perlu kau jumpai.”

“Baiklah,” Doni mendesis, hatinya berkonflik antara rasa ingin tahu dan ketakutan. “Tetapi mari kita selesaikan kopi ini terlebih dahulu. Siapa tahu kita perlu lebih banyak energi.”

Ara tersenyum, mencairkan suasana. “Kau benar.”

Doni menyesap kopinya. Rasa pahitnya menghadirkan keraguan mendalam—apakah mereka akan menemukan jawaban atau mendatangkan masalah baru?

Mata Doni kembali ke lemari, bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan mereka temukan jika mereka terus menggali. Dan satu hal terlintas: mungkin kisah itu belum sepenuhnya berakhir.

Doni menatap lemari dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau memang ingin mencari tahu lebih banyak, ya?”

“Pasti,” Ara menjawab, matanya berkilau. “Lemari ini seakan menyimpan rahasia yang harus dibuka.”

“Baik, tapi kita harus hati-hati. Ibu Mira tidak akan senang kalau kita melakukannya tanpa izin,” Doni memperingatkan, tetapi benaknya berputar dengan kemungkinan yang terbuka di depan mereka.

Ara tersenyum lebar, mengangkat alis. “Kalau begitu, kita perlu menyusun rencana. Kita ambil beberapa berkas yang mungkin memiliki informasi penting, lalu kita pelajari bersama.”

Doni menggeram. “Seharusnya kita tidak merusak sesuatu yang sudah terjaga.”

“Coba lihat lebih jauh. Tiap arsip bisa menjadi jendela ke sebuah kisah. Kita berutang pada mereka untuk mencoba dan memahami kehidupan mereka.” Ara bergerak mendekati lemari, meneliti dengan teliti berkas-berkas yang ada.

Dia mengeluarkan satu berkas lain, kemudian membuka halaman-halamannya. “Lihat ini... Nama pasien lain: Clara. Ada catatan tentang gatal-gatal yang tidak kunjung sembuh.”

Doni mengintip dari belakang, menekankan diri untuk tidak terbawa suasana. “Apa yang bisa kita dapat dari itu? Mungkin hanya alergi biasa.”

“Mungkin. Tapi setiap pasien punya latar belakang yang berbeda. Koneksi antara pasien ini kemungkinan bisa memberi kita petunjuk tentang pola penyakit yang dulunya ada di sini,” Ara menegaskan.

Doni menggelengkan kepala. “Jarang sekali soal penyakit bisa berbagi dengan yang lain.”

“Tapi bagaimana jika ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini? Apa yang kau ketahui tentang klinik ini?” Ara memposisikan tubuhnya lebih mendekat, jelas bersemangat.

Doni mempertimbangkan. Beberapa minggu terakhir, dia sering melihat sesuatu yang tak biasa di klinik itu—tentang pasien yang tidak bisa identifikasi dengan jelas, atau perawatan yang tampak tidak wajar. Hanya di saat-saat itu saat beliau sebagai office boy, ia tetap mengikuti tanpa berani bertanya.

“Tidak ada yang pernah menjelaskan. Hanya kata-kata dokter dan perawat yang menciptakan keheningan.”

“Dan keheningan adalah zona aman mereka. Bukankah kau penasaran?” Ara berargumen, berusaha menyentuh sisi berani Doni.

Doni merasakan rasa ingin tahunya menyalakan api dalam dirinya. “Aku hanya tidak mau terjebak dalam drama yang tidak perlu. Kita harus bekerja, bukan menghidupkan kembali yang mati.”

“Dan bagaimana dengan orang-orang yang menderita tepat di depan mata kita?”

Doni terdiam, hatinya bergetar. Ara benar, banyak yang kehilangan harapan. “Kita hanya bisa membantu jika kita memiliki informasi yang benar, bukan?”

Ara mengangguk, tangan meraih berkas yang lain dari tumpukan.

“Kalau begitu, mari kita kerjakan ini dengan bijak. Kita ambil berkas-berkas yang bisa membantu pemahaman,” Ara menyarankan.

Dia mulai mengumpulkan beberapa dokumen yang tampak menjanjikan. Suara klik dari ikatan kertas saling bertabrakan mengisi keheningan.

1
anggita
like👍+☝iklan. moga novelnya sukses.
anggita
Doni.. Ara,,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!