NovelToon NovelToon
Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Duda / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Heni Rita

Cinta Devan atau biasa di panggil Dev. begitu membekas di hati Lintang Ayu, seorang gadis yang sangat Dev benci sekaligus cinta.

hingga cinta itu masih terpatri di hari Lintang meski dirinya sudah di nikahi seorang duda kaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heni Rita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perjodohan

Tiba di rumah, Devan langsung masuk ke kamar membawa tumpukan berkas di tangan.

"Apa itu Dev?" Ibunya langsung menyambutnya.

"Berkas pekerjaan Bu." Devan lantas menyimpan berkas itu di atas meja kerjanya.

"Kamu mandi dulu ya. Ibu mau manasin sup buat kamu." Ibu Hera langsung pergi ke arah dapur.

Devan kemudian membuka jaket dan melemparnya ke atas kasur. Devan lepas kaca mata hitamnya, lalu ia simpan di laci meja kerjanya.

Gegas ia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selesai mandi dan mengenakan kaus oblong dan celana boxer. Devan lalu duduk di kursi makan untuk menyantap makanan yang sudah ibunya siapkan di atas meja.

"Gimana? Enak supnya?" Tanya ibunya sambil mengusap puncak kepala Devan.

Devan mengacungkan jempol.

"Banget!" Sahut Devan sambil menyeruput sup hangat itu ke dalam mulutnya.

Selesai makan, Devan masuk ke kamar.

Ia ambil laptopnya, lalu Devan duduk bersandar di kepala ranjang, laptop ia taruh di atas pahanya.

"A Dev!" Rani tiba- tiba muncul dari balik pintu.

Gadis berusia tujuh belas tahun itu lalu duduk di depan Devan. Dia duduk dengan menghempaskan tubuhnya dan wajah yang terlihat kesal, tidak enak dipandang oleh Devan.

"Ada apa lagi. Memang kamu gak ada tugas sekolah? Selalu saja ganggu Aa, pasti ada maunya!" Tanya Devan, menatap sekilas wajah adiknya kemudian kembali pokus melihat layar laptop.

"Iya Aa, ada yang ingin Rani katakan," keluh Rani dengan wajah yang terlihat masam.

Devan menyeringai mendengar ucapan Rani, adik satu satunya yang sangat di manjakan Devan.

"Pasti kamu mau minta uang ya?" Sindir Devan, bertanya balik pada Rani.

“Enggak!" jawab Rani dengan ketus.

“Terus, ngapain kamu ke sini?" tanya Devan.

“Ya, enggak kenapa-kenapa Aa!” balas Rani.

Devan tertawa kecil, mendengar jawaban dari adiknya. Di mata Devan. Rani adalah gadis yang sangat manja, kalau ada maunya, dia suka tiba- tiba nyelonong masuk  ke kamarnya.

Adik Devan satu ini agak urakan, penampilan Rani tidak seperti gadis pada umumnya. Gadis berparas cantik itu selalu mengenakan baju yang sudah usang atau lusuh.

Padahal Devan sering memberinya uang untuk membeli baju kekinian yang biasa di pakai anak remaja zaman sekarang. Tapi Rani lebih memilih menyimpan uangnya untuk di tabung.

Rambut Rani selalu terlihat berantakan diikat seadanya. Tanpa polesan make up di wajahnya. Wajahnya terlihat, kalau belum tersentuh air sedikitpun. Belum lagi pakaian yang dipakainya. Berupa daster kaos dan terlihat, kalau dia tidak memakai bra.

Devan hanya mengelengkan kepalanya. Benar-benar sulit percaya. Dia mempunyai adik yang modelnya seperti ini. Teramat sangat apa adanya.

“Katakan ada apa? Aa sibuk, banyak tugas kantor!" Desak Devan sambil mematikan sementara laptopnya, lalu pandangannya beralih pada Rani yang masih duduk sambil menopang kedua tangannya di bawah dagunya.

Rani menghela nafasnya mendengar pertanyaan Devan.

”Rani pengen curhat ke Aa," ucap Rani sedikit manja.

"Curhat? Mau curhat apa?" Tanya Devan.

“Begini A. Aa kan lelaki, gimana sih A cara kita membedakan kalau ada cowok yang ngajak kencan sama kita, tapi kita bingung, apa dia serius ingin menjalin cinta dengan kita. Atau sekedar main- main, secara kan Aa udah pengalaman dalam hal bercinta," terang Rani, nada bicaranya sedikit menyindir Devan.

Spontan kedua alis Devan bertaut mendengar pengakuan adik manjanya.

"Hayo! Kamu udah mulai main cinta- cintaan ya?" Goda Devan kemudian.

Bibir Rani cemberut.

"Ih, Aa. Jawab dong. Rani pengen tahu saja."

"Males ah! Ngaku dulu, kamu sekarang pasti lagi dekat sama cowok. Iya kan?'

Wajah Rani bersemu merah.

"I-iya," jawab Rani malu- malu.

"Tidak! Kamu masih sekolah, Aa gak setuju kamu dekat sama cowok!' tegas Devan.

"Ih, Aa. Makanya Rani tanya sama Aa, kalau ada cowok suka ngerayu Rani itu tandanya dia suka, kan?"

"Kamu tuh ya? Di kasih tahu ngeyel. Cowok yang sering ngerayu itu cowok gak benar!"

"Trus? Rani harus cari cowok yang gak suka ngerayu, gitu? Bukankah cewek itu senang di puji dan di rayu A?"

Devan berdecak kesal.

"Pokoknya pokus belajar! Masih sekolah udah mikirin pacaran, mau jadi apa kamu? Sana, belajar! Awas kalau ada cowok yang berani deketin kamu! Aa datangi cowok itu! Aa hajar dia!" Ancam Devan.

"Ih!" Rani beranjak turun dari kasur, dengan wajah muram.

Lalu keluar dari kamar Devan.

*****

Lagi dan lagi. Bayangan wajah Devan kembali melintas, saat Ayu membayangkan hangatnya ciuman itu, seraut wajah Devan terus saja muncul di dalam ingatannya.

Sakit luka di fisik mungkin masih bisa Ayu tahan, untuk mengobatinya saja terbilang mudah. Namun untuk rasa sakit juga luka yang saat ini ia rasakan tidak mudah untuk ia obati apalagi dihilangkan.

Pagi ini sepertinya akan kembali terasa berat. Untuk ke sekian kalinya Ayu merasa menyesal karena telah mengenal Devan.

Ayu menyadari bahwa sikapnya saat ini tidaklah baik terutama bagi dirinya juga Devan. Namun, tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menangis serta menyesali kejadian kemarin yang mulai mengusik hidupnya.

"Yu, bangun! Udah siang ini," teriak ibunya dari luar kamar, karena sudah berkali-kali dirinya mengetuk serta memanggil anak gadisnya itu dengan pelan namun tak kunjung ada jawaban.

"Iya, Bu. Ayu udah bangun kok," sahut Ayu dari dalam kamarnya sembari mengucek matanya.

"Ayo cepetan mandi abis itu sarapan!" ujar ibunya.

Tak ada jawaban apapun dari Ayu, Ia lekas turun dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah kamar mandi. Walau rasa malas telah menyerang dirinya, namun Ayu berusaha melawannya.

Setelah rapih berseragam, Ayu langsung sarapan pagi.

Ibunya mendekat.

"Nak!" Nada lembut dari ibunya terdengar lirih.

"Ada apa Bu?" Ayu lalu menoleh ke samping dimana ibunya sudah duduk.

"Ibu mau membicarakan hal penting."

"Penting? Apaan sih Bu?" Memangnya ibu mau bicara apa?" Sejenak Ayu berhenti mengunyah

“itu, masalah perjodohan,"' ujar ibunya memulai obrolan.

"Perjodohan? Perjodohan siapa sih Bu?"

lanjut Ayu bertanya.

"Nak, sebentar lagi kamu kan lulus."

"Trus?" Ayu semakin serius menanggapi perkataan ibunya.

"Rencananya, setelah kamu lulus. Ayahmu sudah memilih calon suamimu Nak."

"Apa? Ih gak ah! Ayu gak mau di jodohkan! Apaan, masa keluar sekolah langsung nikah! Gak ah! Ayu gak mau!" Dengan tegas Ayu menolak, bahkan sendok yang tengah di pegangnya ia jatuhkan begitu saja.

"Yu, calon suamimu itu bukan orang sembarangan, pria itu punya masa depan yang sangat cerah, punya rumah sendiri, punya mobil. Pokoknya kalau kamu nikah sama dia, di jamin hidup kamu bakalan makmur kelak," bujuk ibunya.

"Terus kenapa kalau masa depannya cerah? Ayu gak mau nikah sama pria yang gak Ayu cinta!" Ayu memprotes.

"Ya ampun Nak, emangnya rumah tangga cukup makan cinta!" Balas ibunya sedikit emosi.

"Tapi Bu, kalau nikah sama orang yang tidak kita cinta. Pasti hidupnya tersiksa Bu, Ayu gak mau ah!" Lagi- lagi menolak keras.

"O. Pasti kamu suka sama si Devan bajingan itu ya? Yang masa depannya gak jelas! Yang kerjanya gonta- ganti cewek! Pantas saja kamu kemarin di antar pulang sama si bajingan itu, rupanya kalian diam- diam punya hubungan ya?" Tuduh ibunya, dan itu membuat Ayu geleng- geleng kepala.

"Yaelah Bu. Mending Ayu jadi perawan tua daripada harus nikah sama si Devan!" Secepatnya Ayu menghabiskan sarapan paginya. Setelah itu, Ayu menyambar sepatu sekolahnya dari rak sepatu.

"Terus, kenapa kamu menolak di jodohkan!" Bu Salma mengikuti putrinya.

"Bukannya Ayu menolak Bu. Tapi Ayu masih muda, lagi pula. Ayu belum mengenal pria itu!"

"Justru itu yang ingin ibu bicarakan sama kamu Yu, malam ini pria itu mau datang ke rumah kita."

"Hah? Malam ini?"

"Iya."

"Dih, Ayu gak mau ah! Lulus aja belum, main jodohkan saja!"

Bu Salma berdecak kesal.

"Aduh Yu. Dia datang kemari bukan untuk melamar, tapi sekedar ingin kenalan dulu sama kamu. Makanya pulang sekolah langsung pulang ya? Jangan kemana- mana," Bu Salma tidak henti- henti membujuk putri si mata wayangnya.

Ayu memutar bolanya malas. Kalau ibunya sudah memaksa begini, Ayu bisa apa? Dan dengan berat hati. Ayu terpaksa menyetujui permintaan ibunya.

"Baiklah Bu. Tapi sebatas kenalan dulu ya?"

"Iya, iya Nak." Wajah Bu Salma tampak senang.

*****

"A!" Rere mengguncang tubuh Devan yang masih ngeringkuk di kasur empuk.

"Deh! Apaan sih Ran ah! Aa masih ngantuk!" Devan lantas menarik selimutnya.

"Ih Aa, Rani minta uang!" Rani kemudian menyingkap selimut yang di pakai Devan, agar kakaknya bangun.

Devan tak bergeming, ia melanjutkan tidurnya.

"Aa! Bangun! Rani minta uang seratus ribu!" Rani kembali mengguncang tubuh sang kakak.

Devan mendengus kasar.

"Duh Ran, minta sana ke mamah!"

"Mamah udah pergi ke pasar! Cepetan A, Rani udah kesiangan nih!" Rani melirik jam di tangannya.

Dalam keadaan ngantuk, Devan turun dari kasur, lalu mengambil dompet yang biasa ia simpan di atas lemari.

"Nih!" Kemudian Devan berikan Rani seratus lima puluh ribu ke.

"Wah, makasih ya A!" Rani tersenyum riang.

"Untuk apa uang itu?' tanya Devan kemudian.

"Kepo!' Rani menjawab singkat, namun sedikit menyenggol bahu Devan.

"Jawab yang betul! Kalau tidak Aa ambil lagi uangnya!" Devan emosi.

"Iya deh. Nanti malam, Rani mau nonton sama teman Rani A. Namanya Windu, teman satu kelas Rani, orangnya cuantikk banget," ucap Rani sambil tersenyum nakal.

Mendengar pengakuan Rani, sontak netra mata Devan membuncah.

"Cantik?"

Rani mengangguk.

"Aa boleh gak ikut nonton," pinta Devan.

"Hahaha ..." Rani tertawa terbahak.

Kening Devan bertaut.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu, hah?"

"Aa ini, tiap denger cewek cantik matanya langsung melotot! Itu si Ivo mau di kemanain?" Sindir Rani.

"Ah, itu mah gampang. Ivo gak bakalan tahu, kalau Aa pergi nonton, boleh ya, boleh Aa ikut!" Devan memaksa.

"Mmmm ...boleh, tapi ada syaratnya."

"Syarat? Syarat apa?"

"Tambahin lima puluh ribu hehehe ..."

"Uh, dasar tengil!"

Demi ingin kenal dengan teman adiknya yang bernama Windu, Devan terpaksa mengalah.

Satu lembar uang lima puluh ribu melayang lagi ke tangan adiknya.

"Ok. Makasih ya A! Jam tujuh malam kita berangkat."

Setelah mengatakan itu, Rani pergi dengan motor kesayangannya.

******

Tepat jam lima sore, pria yang hendak di jodohkan dengan Ayu datang berkunjung ke rumah Bu Salma dan Bapak Sugeng.

Keduanya menyambut ramah kedatangan pria yang di perkirakan berumur di atas empat puluh tahunan.

Pria itu bernama Herman seorang duda anak satu.

Wajahnya lumayan menarik meski tuaan dikit.

Herman datang mengendari mobil portuna keluaran terbaru.

Usut punya usut, Herman ini ternyata bandar besar sayuran dan beras, usahanya sukses di bidang pertanian. Sayang, kesuksesannya tidak di barengi dengan nasib kisah hidupnya.

Istrinya wafat enam tahun lalu meninggalkan seorang putri kecil yang berusia lima tahun, dan sekarang putrinya di jaga ibunya di desa.

"Ayo Mas masuk," sambut pak Sugeng ramah.

"Terima kasih," balas Hermansambil membungkuk hormat di depan Bu Salma dan Pak Sugeng.

Dengan sopan, Herman duduk berhadapan dengan Ibu Salma.

Di atas meja tamu, beraneka macam kue basah tersaji di sana, secangkir teh hangat juga sudah di sediakan.

"Maaf, Pak, Bu. Saya jadi merepotkan," ucap Herman sungkan.

"Tidak apa- apa Pak. Justru kami sekeluarga merasa malu menghidangkan kue yang mungkin saja kurang cocok di lidah bapak," ucap Bu Salma sedikit canggung.

Herman menampilkan senyum ramah menanggapinya ucapan Bu Salma.

"Ayo Pak, silahkan di icip kuenya. Saya mau panggil Ayu dulu, permisi."

Bu Salma pergi ke kamar putrinya.

Berjalan tergesa, Bu Salma langsung masuk ke kamar putrinya.

Tampak Ayu sedang duduk mematut wajahnya di cermin. Malam itu, Ayu mengenakan rok panjang bermotif bunga warna merah jambu, dengan atasan blouse sepinggang, rambutnya di biarkan tergerai panjang, di setiap sisi rambutnya ada jepit berbentuk kupu- kupu. Malam itu, Ayu terlihat cantik menawan.

"Yu, kamu udah siap belum? Ayo sana temui calon suamimu di depan," ucap Bu Salma sambil merapihkan rambut putrinya.

"Bu. Ayu takut." Ayu menggenggam erat jemari ibunya.

"Jangan takut sayang, Pak Herman hanya mampir sebentar untuk melihat mu."

"Tapi Ayu takut Bu." Wajah Ayu mendadak pucat.

"Kenapa takut? Kan ada ayah sama ibu, ayo." Bu Salma kemudian memeluk pundak putrinya membawanya ke depan, di mana Herman dan ayahnya sedang menunggunya.

Sebenarnya Ayu tidak mengetahui, kalau pria yang akan di jodohkan dengannya seorang duda anak satu.

Di ruang tamu, tampak Herman sedang berbincang dengan ayahnya.

Melihat kedatangan Ayu, sigap Herman berdiri.

"Ini putri saya Pak, namanya Lintang Ayu Puspa Dewi, biasa di panggil Ayu." Bu Salma langsung mendudukkan Ayu tepat di depan Herman.

Ayu menunduk sungkan, enggan menatap wajah pria yang akan di jodohkan dengannya.

"Ayo Pak, silahkan ngobrol berdua dengan putriku. Ayo!" Bu Salma memberi kode pada suaminya agar pergi meninggalkan mereka berdua, memberi ruang agar keduanya bisa lebih dekat.

"Ehem!" Herman berdehem Kecil guna mencairkan suasana kaku yang sedang terjadi, Ayu selalu menunduk, tak sedikitpun menatap wajahnya yang sedang duduk mengagumi kecantikan Ayu yang begitu mempesona.

"Dek Ayu katanya tahun ini lulus ya?" Tanya Herman membuka percakapan."

Ayu mengangguk samar.

"Nama saya Herman, panggil saja Mas, atau Pak. Terserah Dek Ayu saja." Herman mengulurkan tangan.

Ayu spontan mendongak menatap pria yang tangannya tengah menjulur ke arahnya.

"A-Ayu, namaku Ayu" ucap Ayu sambil membalas uluran tangan Herman.

Ayu menunduk lagi, setelah ia menatap sekilas wajah pria itu. Dari wajahnya pria itu terlihat dewasa.

"Maaf, apa kedatanganku ini tidak mengganggu Dek Ayu?"

“Ayu minta tolong, tolong hentikan perjodohan ini sebelum semuanya berjalan semakin jauh," mohon Ayu tiba- tiba.

Ayu pun sedikit menyerongkan duduknya agar dapat lebih mengarah pada Herman.

Ayu memberanikan diri bicara seperti itu, ia tidak ingin menyerah dan terus mendesak pria itu agar mereka tidak jadi dijodohkan.

Namun Herman malah semakin tertarik dengan sikap berani Ayu, tidak basa basi dan apa adanya.

"Tolong Pak, ini tuh perjodohan yang sangat konyol! Mana ada sih orang kaya seperti

Bapak mau dijodohi sama aku yang jelas-jelas kehidupan ekonomi keluargaku pas-pasan. Dan, Bapak tahu kan kalau aku masih sekolah!"

Herman masih membisu, tenggelam dengan kecantikan wajah si gadis yang sedikit arogan.

"Bapak harus hentikan kekonyolan ini!" Setelah mengakhiri ucapannya, Ayu segera menyenderkan pundaknya pada sofa. Helaan napasnya pun terdengar berat.

"Kalau saja saya bisa ngelakuin semua itu. Bapak suka gaya bicaramu Dek. Tegas tidak basa basi!" balas Herman.

"Terus sekarang gimana?" tanya Ayu frustrasi.

"Terima aja perjodohan ini, saya janji, saya akan bahagiain Dek Ayu."

"Ya, ampun Pak! Orang mana sih yang mau dijodohi sama orang yang baru kenal, umurku saja baru delapan belas tahun." Ayu menjambak rambutnya sendiri. Ia tak peduli dengan pandangan Herman akan tingkahnya. Ayu terlanjur emosi oleh kedua orang tuanya, yang menjodohkan dirinya dengan pria dewasa seperti Herman.

Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya, jika ia akan terjebak dalam sebuah perjodohan ini. Bahkan Ayu tidak pernah membayangkan jika nantinya ia akan menikah dengan pria yang di lihat dari wajahnya bisa di tapsirkan umurnya di atas kepala empat, persis umur guru matematika nya di sekolah.

Yang ada dalam rencana Ayu adalah menggapai mimpinya lalu menemukan cintanya, hingga membuat sebuah keluarga kecil penuh cinta dan penuh bahagia. Bukan seperti saat ini, yang bahkan tak ada cinta sedikit pun!

“Aku gak mau di jodohkan!" Tegas Ayu jujur.

Herman yang mendengar ucapan jujur dari Ayu pun memalingkan wajahnya. Saya harus dapatkan gadis ini, batinnya.

"Perjodohan ini harus tetap berjalan. Sekalipun kita nggak pernah mengharapkan semua ini," ucap Herman semakin gemas dengan sikap kekanakan Ayu.

Mendengar pengakuan Herman, Ayu semakin bingung.

"Bapak kok ngomongnya gitu? Kan Bapak yang berhak memutuskan perjodohan ini!" Ayu memprotes.

"Bukan Bapak Dek, tapi ayahmu. Karena_" Herman tiba- tiba menjeda ucapannya.

"Katakan Pak? Karena apa?" Ayu semakin bingung.

"Dek, sebaiknya kita bicaranya sambil jalan- jalan ke luar, saya gak enak kalau harus bicara di sini. Bagaimana, Adek mau kan?"

Ayu lalu melihat ke arah kamar kedua orang tuanya.

"Baiklah Pak."

Demi ingin mengetahui apa yang telah kedua orang tuanya rencanakan di balik perjodohan dadakan ini, Ayu terpaksa mengikuti saran Herman.

Akan lebih baik bicara empat mata. Ayu penasaran dengan kata- kata yang di ucapkan Herman barusan.

Setelah pamit pada ayah dan ibunya. Ayu dan Herman pun pergi.

"Kita bicara di mana Pak?" Tanya Ayu setelah Herman mengendarai mobilnya cukup jauh.

"Bagaimana kalau kita ngobrolnya sambil nonton, malam ini ada film horor!" Herman memberi saran.

"Ke bioskop?"

1
Abel_alone
tetap semangat 🌹🌹🌹🌹
Luna Sani: Terima kasih kak ..🙏😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!