Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PILIHAN
Dering ponsel menyadarkan Alula dari lamunannya. Saat melihat kearah jendela bis, dia baru sadar jika sudah melewati halte dimana dia seharusnya turun. Dia menghela nafas berat sambil mengurut pangkal hidungnya. Masalah ini rasanya terlalu berat baginya.
Baru beberapa saat berhenti berdering, ponselnya kembali membuat suara yang membuat orang yang duduk disebelahnya melirik kearahnya. Segera dia membuka tas ransel yang sejak tadi dia pangku, lalu mengambil benda pipih tersebut karena tak mau suaranya mengganggu orang lain.
"Hallo, Al."
"Lo, dimana? Kenapa gak masuk sekolah? Sakit?" Suara pria diseberang sana terdengar cemas.
"Ini bukan jam istirahat, kok lo bisa nelfon gue?"
"Itu gak penting. Yang penting saat ini, kenapa lo gak masuk sekolah? Sakit?"
"Enggak."
"Lalu? Habis dimarahi lagi sama nyokap lo?"
"Enggak."
"Terus, kenapa gak masuk?"
Aku hamil, Al.
Alula hanya bisa mengatakan itu dalam hati sambil membekap mulutnya. Tak ingin Al mendengar suara isakannya.
"La, kok diam? Lo baik-baik aja kan?"
Karena masih menangis, Alula tak menjawab pertanyaan Al.
"La, please jangan diem kayak gini. Jangan bikin gue khawatir. Willy gak bikin ulah lagi kan?" Alula menggeleng, meski Al tak mungkin bisa melihatnya. Malam itu, Al termasuk salah satu orang yang menyelamatkannya saat hendak dilecehkan oleh Willy. "Lo dimana sekarang, gue susul?"
"Ga-gak usah, Al. Gue baik-baik aja kok. Gue dirumah. Udah dulu ya, Al." Alula segera mengakhiri panggilan dari Al. Tak mau cowok itu menyadari jika dia sedang menangis. Dia melihat banyak sekali chat masuk ke ponselnya dari Al dan Nifa. Berarti sejak tadi ponselnya mengeluarkan bunyi notifikasi, bisa-bisanya dia tak sadar sama sekali.
Alula menoleh saat seseorang disebelahnya mengangsurkan tisu. "Ambillah."
"Terimakasih," Alula meraih tisu tersebut sambil tersenyum pada wanita disebelahnya.
"Dari tadi saya lihat kamu melamun. Pulanglah, gak baik dalam kondisi seperti ini ada diluar sendirian. Takut ada yang manfaatin keadaan. Pencopet misalnya, bahayakan."
"Iya, Mbak," sahut Alula. Dia kemudian turun di halte berikutnya. Mau langsung pulang, takut ketahuan bolos, jadi duduk disana beberapa jam dan baru pulang disaat jam pulang sekolah.
Bugh
"Awww.." Pekik Alula saat bantal sofa melayang mengenai wajahnya. "Apa-apaan sih, Ma?" Dia mengusap kepalanya yang terasa pening. Baru masuk, sudah seperti ini sambutannya.
"Apa-apaan kamu bilang? Darimana kamu hah?" Mama Iren mendekati Alula lalu menjewer telinganya.
"Aduh Ma, sakit."
"Udah pinter bolos sekarang kamu ya? Mau jadi apa hah?" Mama Iren melepaskan jewerannya lalu ganti menjambak Alula. Tadi dia mendapatkan telepon dari wali kelas Alula. Menanyakan tentang gadis itu yang tak masuk tanpa pemberitahuan.
"Ampun, Ma, ampun. Sakit." Alula berusaha melepaskan rambutnya dari tangan sang Mama.
"Bandel banget kamu ini jadi anak. Gak bisa apa, kayak Kakak kamu yang selalu bikin Mama dan Papa bangga," bentaknya sambil melepaskan rambut Alula. "Mau jadi apa kamu setelah ini. Mama yakin, setelah kemarin gagal melalui jalur nilai, tes masuk fakultas kedokteran nanti, kamu juga akan gagal."
Alula menghela nafas berat. "Kata-kata itu doa, Mah. Kalau Mama udah yakin Lula bakal gagal, ya beneran gagal nantinya. Lagian, Lula emang gak pengen kok jadi dokter."
"Udah pinter ngejawab kamu ya. Ini nih, akibat kalau terlalu dimanjain sama Papa kamu. Begini jadinya anak, badung," makinya.
Jika biasanya dia akan meladeni Mamanya debat, tidak untuk hari ini. Dia sudah pusing dengan masalahnya, tak mau lagi berantem yang akan dua kali membuatnya pusing.
"Lula capek, Mah. Lula masuk kamar dulu." Alula pergi begitu saja meninggalkan Mamanya yang masih teriak-teriak. Dia bahkan bisa mendengar Mamanya mengatainya anak gak tahu diuntung.
Alula masuk kedalam kamar lalu menguncinya dari dalam. Menjatuhkan tubuhnya dengan sedikit kasar keatas ranjang. Menatap langit-langit sambil menyeka air mata.
"Apa salah Lula, Mah? Kenapa Mama benci banget sama Lula. Lula selalu salah dimata Mama."
....
Aydin yang baru memasuki kamar setelah makan malam, mengambil ponselnya yang ada diatas nakas. Ada puluhan panggilan tak terjawab. Meski tak ada namanya, dia tahu siapa yang memanggil. Gadis yang menemuinya di rumah sakit pagi tadi. Gadis yang bahkan sampai saat ini, dia tak tahu namanya. Entah malam itu maupun tadi pagi, mereka memang belum sempat berkenalan.
Sekali lagi, ponselnya berdering, masih dari nomor yang sama. Namun Aydin masih ragu untuk menjawab. Dia belum menemukan solusi untuk masalah ini. Sebenarnya bukan belum menemukan, karena solusinya hanya ada 1 tak ada pilihan lain lagi seperti soal pilihan ganda. Menikah, hanya itu solusinya, karena tidak mungkin menggugurkan kandungan yang sudah berusia sekitar 3 bulan, terlalu beresiko. Selain itu, dia juga tak sampai hati jika harus menyuruh gadis kecil itu menggugurkan kandungannya. Tapi masalahnya, gadis itu masih sekolah. Harus seperti apa dia mengatakan pada kedua orang tuanya jika benihnya telah tumbuh dirahim seorang gadis SMA.
Ting
Sebuah pesan masuk keponselnya.
[ Mas Dokter, kenapa panggilanku gak dijawab? Mas Dokter gak mau lari dari tanggung jawabkan? ]
Aydin makin stress lagi setelah membaca pesan itu. Dia memejamkan mata sambil menyandarkan punggung dikursi. Bisa dibilang, ini ujian terberat selama hidupnya.
Ting
Sebuah pesan kembali masuk.
[ Kenapa hanya diread? Mas Dokter beneran gak mau tanggung jawab? ]
Ponsel ditangan Aydin kembali berbunyi. Sepertinya gadis itu tidak akan berhenti menghubunginya. Tak ada pilihan lagi, terpaksa dia menjawab daripada terus diteror seperti ini.
"Akhirnya." Itulah kata yang pertama kali didengan Aydin. "Mas Dokter, kenapa gak diangkat dari tadi panggilanku?"
"Aku sibuk," sahut Aydin singkat.
"Gimana, udah nemu solusi buat masalah kita?"
"Belum."
"Terus kapan nemunya? Nunggu perut aku besar?" Alula sedikit berteriak sampai Aydin menjauhkan ponsel dari telinganya. "Cepet nyari solusi. Malu sama jas putihnya kalau masalah gini aja gak bisa nyari solusi."
Gadis ini, tekan Aydin dalam hati. Ternyata selain bodoh, pelupa, juga tempramen, batinnya.
"Mas Dokter, kenapa diam?" tanya Alula yang panik.
"Aku lagi mikir."
"Jangan lama-lama mikirnya."
"Astaga, iya bawel." Aydin memijat pelipisnya. Kepalanya benar-benar pusing. Cukup lama keduanya saling diam, sampai Alula benar-benar sudah tak bisa sabar.
"Kelamaan nunggu Mas Dokter mikir. Gini aja, aku kasih 2 pilihan, nikahin aku, atau bantu aku melakukan aborsi." Mata Aydin langsung melotot mendengar Alula menyebut kata aborsi. "Aku yakin sebagai dokter, Mas punya banyak kenalan yang bisa melakukan itu. Atau carikan aku obat penggugur kandungan. Dokter tak akan sulitkan, mendapatkan obat itu."
"Besok kita ketemu, aku share tempatnya." Aydin segera mematikan sambungan telepon. Dia tak menyangka jika anak SMA, sudah berani mau melakukan abortus. "Apa gadis itu tidak takut mati?" gumamnya.