NovelToon NovelToon
JANGAN MADU AKU GUS

JANGAN MADU AKU GUS

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Dijodohkan Orang Tua / Penyesalan Suami / Pihak Ketiga
Popularitas:1.1M
Nilai: 4.8
Nama Author: HANA ADACHI

🏆🏅 Juara Harapan Baru YAAW Season 10🥳

Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏

Hafsa tidak menyangka bahwa pernikahannya dengan Gus Sahil akan menjadi bencana.

Pada malam pertama, saat semua pengantin seharusnya bahagia karena bisa berdua dengan orang tercinta, Hafsa malah mendapatkan kenyataan pahit bahwa hati Sahil tidak untuknya.

Hafsa berusaha menjadi istri yang paling baik, tapi Sahil justru berniat menghadirkan wanita lain dalam bahtera rumah tangga mereka.

Bagaimana nasib pernikahan tanpa cinta mereka? Akankah Hafsa akan menyerah, atau terus berjuang untuk mendapatkan cinta dari suaminya?

Ikuti terus cerita ini untuk tahu bagaimana perjuangan Hafsa mencairkan hati beku Gus Sahil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5. Dua : Kosong

Kegiatan di Pesantren Darul Quran sudah dimulai sejak sebelum subuh. Pukul tiga pagi, para santri dibangunkan untuk sama-sama melaksanakan sholat tahajud berjamaah. Setelahnya mereka boleh tidur lagi sampai adzan subuh tiba. Barulah setelah subuh mereka akan mulai kegiatan mengaji Alquran bersama-sama.

Hafsa yang sudah terbiasa bangun pagi-pagi tentunya tidak bisa berpangku tangan begitu saja. Karena dirinya masih tergolong orang baru, belum ada kegiatan yang bisa ia lakukan untuk membantu kegiatan pesantren. Maka pagi ini Hafsa berinisiatif untuk pergi ke ndalem belakang, demi menyiapkan sarapan untuk suami dan mertua.

Tepat saat ia akan memasuki dapur yang masih kosong, Hafsa mendengar suara orang menyikat baju dari dalam kamar mandi. Ia pun menghampiri asal suara, melihat siapa gerangan orang yang sepagi buta sudah mencuci baju.

"Mbak Roha?" Hafsa memanggil memastikan. Gadis jangkung yang sedang berjongkok menyikat pakaian itu lantas menoleh, terkejut melihat kedatangan Hafsa.

"Eh, Ning?" Roha spontan menghentikan aktivitasnya, mendekati Hafsa.

"Mbak Roha nggak ngaji? Kok pagi-pagi sudah mencuci?"

"Iya Ning, kebetulan saya masih datang bulan. Makanya sekalian dicuci sekarang supaya nanti siang langsung bisa disetrika,"

Mata Hafsa lantas tertuju pada tumpukan pakaian yang menggunung. Sepertinya cucian hari ini begitu banyak setelah kemarin ada acara besar-besaran di pesantren. Terlihat beberapa baju dirinya dan Gus Sahil juga ikut bertumpuk di sana.

"Bagaimana kalau saya bantu mbak?" Hafsa menawarkan diri. "Baju sebanyak itu kapan selesainya kalau dikerjakan sendirian?"

"Tidak usah Ning," Roha cepat menjawab, merasa tidak enak hati. "Saya sudah biasa. Sudah jadi tugas saya sebagai abdi ndalem untuk melakukan ini semua,"

"Hmm, kalau begitu begini saja," Hafsa berpikir sejenak, kemudian memilah beberapa pakaiannya dan Gus Sahil. "Mulai sekarang baju saya dan Gus Sahil biar tak cuci sendiri ya mbak,"

"Eh, tapi Ning?"

"Nggak apa-apa mbak. Sebagai istri, saya punya kewajiban melayani suami saya. Biar saya yang bertanggungjawab mencuci baju Gus Sahil, ya?"

Mendengar jawaban Hafsa, Roha tentu tidak bisa membantahnya. Ia hanya mampu mengangguk sambil berkata lirih,

"Njeh Ning,"

Maka dari itulah kegiatan Hafsa bertambah pagi ini. Ia sibuk mencuci pakaian, sembari turut mempersiapkan sarapan. Beberapa santriwati yang sudah selesai mengaji turut membantu mempersiapkan bumbu, membuat masakan siap lebih cepat.

Usai menempatkan hasil masakannya di atas meja, Hafsa tersenyum puas. Pagi ini ia memasak tumis kangkung, ayam lengkuas goreng, sambal terasi dan terong hijau sebagai lalapan. Hafsa yakin masakannya pasti akan disukai semua orang. Ia memang bukan seseorang yang pintar dalam urusan memasak, tapi setidaknya Umi dan Abah sering memuji kalau masakannya enak.

"Semoga Abah, Umi, dan Gus Sahil suka," Hafsa berharap sungguh-sungguh.

...----------------...

"Kenapa sayur bening Umi nggak ada?!" seruan protes Gus Sahil dari arah ruang makan sukses membuat Hafsa datang tergopoh-gopoh.

"Mbak, ini tadi yang tugas masak siapa ya? Kok sayur buat Umi nggak disiapkan sekalian?" Gus Sahil bertanya dengan nada tinggi pada seorang santri yang sedang mencuci piring di dapur.

"Saya yang masak Gus," Hafsa menjawab lirih. "Maaf, saya tadi nggak tanya dulu sama mbak ndalem yang biasa masak,"

Gus Sahil berdecak. Sepertinya dia sudah mau melampiaskan amarahnya pada Hafsa, tapi sentuhan lembut Umi Zahra membuatnya kembali melunak.

"Sudah Hil, nggak papa. Toh ini masih ada sayuran juga. Kamu juga kenapa nggak kasih tahu Hafsa tadi?"

"Aku ndak tahu kalau Hafsa mau masak Mi,"

"Loh, kok bisa ndak tahu? Kamu itu gimana sih? Makanya jadi suami itu yang perhatian dong sama istrinya," Abah Baharuddin beralih pandangan pada Hafsa. "Sudah nggak papa Nduk, sini kamu duduk saja. Umi masih bisa kok makan sayur kangkung. Duh, kayanya enak deh masakan menantu kita ya Mi,"

Hafsa tersenyum kecut. Ia menempatkan diri duduk di sebelah Gus Sahil. Gus Sahil masih menberikan tatapan menyeramkan, seolah hendak menerkamnya saat itu juga.

"Assalamu'alaikum Umi," suara lembut Roha lantas mencuri perhatian semua orang di ruangan itu.

"Ini sayur beningnya Umi,"

Hafsa terdiam. Roha datang sembari membawa mangkuk berisi sayur bening. Lengkap dengan brokoli yang sudah direbus.

"Ealah, ndak usah repot-repot Ha," ucap Gus Sahil. "Sini, ikut sarapan sama kita,"

Hafsa serta merta menoleh pada Gus Sahil. Memperhatikan sorot mata suaminya yang terlihat melembut.

"Tidak usah Gus, saya mau sarapan sama kawan-kawan di belakang," Roha menolak halus, lantas dengan langkah kecil segera ke luar dari ruangan.

Hafsa jelas sudah tidak ingat makanan pagi itu masuk lewat mulut atau hidung. Pujian Umi Zahra dan Abah Baharuddin pada masakannya juga hanya ia tanggapi dengan senyuman. Ayam goreng yang melewati tenggorokannya juga terasa pahit, padahal ia ingat tidak pernah memasukkan temulawak sebagai bumbunya.

Satu kosong, poin untuk Roha atas Hafsa di mata Gus Sahil.

...----------------...

Rupa-rupanya, kemarahan Gus Sahil pada sang istri tidak berhenti di pagi hari saja. Siangnya, saat akan berangkat pengajian ke pondok pesantren lain, Gus Sahil keluar dari kamar sembari menenteng sebuah sarung.

"Ini siapa tadi yang cuci sarungku?!"

Hafsa yang sedang menonton televisi bersama Umi Zahra di ruang tengah sontak menjawab. "Saya Gus,"

"Tadi kamu cuci sarung ini gimana caranya?"

"Ee.. saya cuci biasa saja Gus, pakai mesin cuci,"

"Pakai mesin cuci?!" suara Gus Sahil meninggi. Umi Zahra sampai terlonjak kaget dibuatnya.

"Kenapa teriak-teriak sih Hil?" Umi Zahra mengusap-usap dadanya, jantungnya langsung berdegup cepat.

Gus Sahil merasa bersalah, lantas ia memberikan kode pada Hafsa. "Sini kamu," begitu katanya.

Hafsa mengikuti Gus Sahil takut-takut. Gus Sahil mengajak Hafsa masuk ke dalam kamar, memastikan Umi Zahra tidak mendengar ucapan mereka.

Di sisi lain, Hafsa menebak-nebak apa yang akan dikatakan suaminya itu. Gus Sahil bahkan sampai mengunci pintu kamar, membuat jantung Hafsa semakin berdebar-debar.

"Ada apa Gus?" Hafsa bertanya lirih. Duh, apa lagi salahnya kali ini?

"Kamu tahu nggak ini sarung apa?"

Hafsa menggeleng, dia tidak tahu jenis-jenis sarung. "Tidak tahu Gus,"

"Ini tuh sarung mahal Hafsa, harganya hampir dua jutaan. Pembuatannya saja dengan cara ditenun pakai benang sutra asli. Kamu ngawur banget nyucinya di mesin cuci. Coba lihat ini, kainnya jadi nggak halus lagi, warnanya juga kelunturan!"

Hafsa menggigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu kalau sarung ada yang harganya begitu mahal.

"Maaf Gus, saya beneran tidak tahu,"

"Makanya," Gus Sahil menuding Hafsa dengan telunjuknya. "Kalau ndak tahu, nggak usah sok tahu. Biarkan orang yang lebih tahu yang mengerjakan ini, ndak usah kamu repot-repot nyuci sendiri!"

"Tapi saya kan istri njenengan Gus, saya ingin jadi istri yang bisa melayani suami saya sebaik mungkin,"

"Terus memangnya ini baik? Coba lihat, sekarang sarung ini sudah nggak bisa dipakai lagi. Padahal ini sarung kesayangan yang selalu aku pakai kalau lagi ngisi pengajian!"

Hafsa hanya mampu terdiam. Kali ini memang benar-benar salahnya.

"Kamu itu—"

"Hil? Belum siap toh? Kok lama banget? Sudah ditunggu sama para jamaah," suara Abah Baharuddin dari arah luar memotong Perkataan Gus Sahil.

"Sudah Bah!" Gus Sahil buru-buru menjawab, menghempaskan begitu saja sarung mahal itu ke atas kasur.

"Sudah ya. Aku nggak mau berdebat lagi sama kamu. Mulai sekarang biarkan bajuku tetap diurus sama Mbak Roha. Kalau kamu mau mencuci, cuci bajumu sendiri,"

Tentu saja Gus Sahil tidak mau repot-repot mendengarkan penjelasan Hafsa.Dia pergi begitu saja meninggalkan Hafsa yang masih tertunduk dalam diam.

Sepeninggal Gus Sahil, Hafsa memungut kembali sarung yang dilemparkan suaminya. Menahan air matanya agar tidak jatuh.

Sabar Hafsa, sabar. Semuanya pasti akan segera berlalu. Hafsa sebisa mungkin menenangkan hatinya sendiri.

Dua kosong, nilai Roha atas Hafsa di mata Gus Sahil.

1
Murci Sukmana
Luar biasa
Arin
/Heart/
Anita Candra Dewi
klo ak lgsg tak ganti yg serupa😅
bibuk duo nan
😭😭😭😭
ALNAZTRA ILMU
sini aku tak tahan🥺🥺🥺
ALNAZTRA ILMU
knp tidak dari dulu buat program hamil.. tapi terburu2 carikan suaminya isteri baru sok kuat
ALNAZTRA ILMU
ini agak biadab ya.. sepatutnya, jangan suka ganggu
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣wahhh
ALNAZTRA ILMU
🤣🤣🤣
ALNAZTRA ILMU
berat ya ujian nya
ALNAZTRA ILMU
mundur saja
Izza Nabila
Luar biasa
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hafsa kasian bnget😭
PURPLEDEE ( ig: _deepurple )
hai kak maaf bru mampir🤗
May Keisya
kamu nikah lagi karna nafsu dan mendzolimi istri...paham agama yg ky gmn Gus???
May Keisya
dia tambah setress gesrek egois😂
May Keisya
dia udah mulai ketar ketir...tapi maaf ya Gus aku udah kesel bin kurang suka km dr awal cerita🙄
May Keisya
😂😂😂...bagus ih jujurnya
May Keisya
km knp Gus? kepanasan...syukurin
May Keisya
😭...si Agus emg sableng,dia berilmu tapi tidak beradab...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!