Ashilla, seorang buruh pabrik, terpaksa menjadi tulang punggung keluarga demi menutupi utang judi ayahnya. Di balik penampilannya yang tangguh, ia menyimpan luka fisik dan batin akibat kekerasan di rumah. Setiap hari ia berjuang menembus shift pagi dan malam, panas maupun hujan, hanya untuk melihat gajinya habis tak bersisa.
Di tengah kelelahan, Ashilla menemukan sandaran pada Rifal, rekan kerjanya yang peduli. Namun, ia juga mencari pelarian di sebuah gudang kosong untuk merokok dan menyendiri—hal yang memicu konflik tajam dengan Reyhan, kakak laki-lakinya yang sudah mapan namun lepas tangan dari masalah keluarga.
Kisah ini mengikuti perjuangan Ashilla menentukan batas antara bakti dan harga diri. Ia harus memilih: terus menjadi korban demi kebahagiaan ibunya, atau berhenti menjadi "mesin uang" dan mencari kebebasannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MissSHalalalal, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 : SEPERTI PUTRI KANDUNG SENDIRI
"Shilla? Sayang, kamu di dalam?"
Itu suara Bu Martha, ibu Erlangga. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Bu Martha masuk bersama Pak Danu. Wajah mereka yang biasanya teduh kini dipenuhi guratan kecemasan yang mendalam. Melihat mereka, pertahananku nyaris runtuh.
"Ya Tuhan, Shilla... kenapa kamu pucat sekali?" Bu Martha langsung menghambur ke arahku, duduk di tepi ranjang dan merangkul bahuku.
Pak Danu berdiri di sampingnya, menatapku dengan tatapan kebapakan yang tulus. "Kenapa kamu lemas begini? Bi Sumi, tolong ambilkan air hangat yang baru."
Dengan telaten, Bu Martha mengambil alih nampan bubur dari tangan Bi Sumi. Beliau menyuapiku perlahan, seolah aku adalah putri kandungnya sendiri. "Makan sedikit ya, Sayang. Kamu harus sehat. Tiga hari lagi pernikahan kalian akan dilangsungkan. Semuanya sudah siap, Shilla."
Mendengar kata pernikahan, tenggorokanku terasa tercekat. Aku menelan bubur itu dengan susah payah. Di hadapan orang sebaik mereka, aku tidak bisa lagi menahan beban yang menghimpit dadaku.
"Bu... Pak... maafkan aku," lirihku. Air mata mulai mengalir. "Aku merasa tidak pantas berada di sini. Ayahku lumpuh, dan Ibu... Ibu masih terbaring lemah karena sakit jantungnya. Keluargaku hancur, dan aku merasa aku tak pantas untuk tuan Erlangga."
Pak Danu mendekat, memegang tanganku dengan mantap. "Shilla, dengarkan Bapak. Jangan pernah merasa begitu. Kami sudah menyukaimu sejak pertama kali Erlangga mengenalkanmu. Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati kami, kami lebih suka kamu yang mendampingi Erlangga daripada Sarah."
Aku tertegun, menatap mereka tidak percaya. "Tapi... Sarah adalah tunangan Erlangga. Mereka sudah lama bersama."
Bu Martha menghela napas panjang, wajahnya berubah serius. Beliau menoleh ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar.
"Ada sesuatu yang tidak diketahui Erlangga, Shilla," bisik Bu Martha. "Malam sebelum kecelakaan maut itu terjadi, Ibu dan Bapak melihat Sarah di sebuah restoran di pinggir kota. Dia tidak sendiri. Dia bersama pria lain, dan mereka terlihat sangat... mesra. Kami merasa kecelakaan itu sangat janggal. Seolah ada sesuatu yang sedang dikejar atau dihindari Sarah malam itu."
Duniaku seolah berputar. Selama ini Erlangga memujanya seolah Sarah adalah malaikat yang suci, dan aku disalahkan atas kematiannya.
"Kami tidak berani mengatakannya pada Erlangga karena dia sedang sangat tidak stabil," tambah Pak Danu. "Tapi kami ingin kamu tahu, Shilla. Kamu bukan pengganti. Bagi kami, kamu adalah awal yang baru untuk putra kami. Kami harap kamu bisa bertahan bersamanya."
Aku terpaku. Di satu sisi, ada kenyataan pahit tentang pengkhianatan Sarah yang tersembunyi. Di sisi lain, ada rahasia besar di dalam perutku—seorang janin yang bahkan belum diketahui oleh kakek dan neneknya ini. Aku melirik Bi Sumi yang berdiri di sudut ruangan; dia menempelkan telunjuk di bibir, mengingatkanku pada sumpah rahasia kami.
"Terima kasih, Bu, Pak..." jawabku lemah. Aku tidak sanggup menceritakan tentang kehamilanku sekarang. Suasana terlalu rumit.
Bu Martha mengusap punggung tanganku, mencoba menyalurkan ketenangan yang ia punya. Ia menghela napas panjang, matanya menerawang seolah sedang memutar kembali memori masa lalu tentang putra tunggalnya.
"Shilla, Erlangga itu sebenarnya anak yang sangat lembut," mulainya dengan suara parau. "Tapi sejak kecil, dia selalu merasa harus memegang kendali atas segalanya. Sarah dan Erlangga adalah teman SMA, saat mereka lulus mereka kuliah bersama. Mereka menjalin hubungan, Sarah memang wanita cantik, baik, dan lembut. ketika Erlangga mengenal Sarah, dia memberikan seluruh dunianya." bu Martha diam sejenak.
"Saat pertama kali kami mengenal Sarah, kami merasa dia wanita yang sempurna. Sarah tinggal di rumah ini, selama bertahun-tahun. Hingga saat itu ibu tau, sisi balik sarah. dia sering keluar menemui seseorang, di luar sepengetahuan erlangga. Erlangga buta, Shilla. Dia tidak melihat apa yang kami lihat."
Bu Martha menatapku dalam-dalam, ada gurat penyesalan di wajahnya.
"Dia tumbuh menjadi pria yang keras karena dia merasa dikhianati oleh keadaan. Sejak kecelakaan itu, dia kehilangan arah. Dia menyalahkan dirinya sendiri. "
Pak Danu menyela pelan, "Erlangga sering pulang ke rumah kami dalam keadaan kacau. Dia tidak pernah bercerita, tapi kami tahu dia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Dia terobsesi pada bayang-bayang Sarah bukan karena dia benar-benar bahagia dulu, tapi karena dia merasa gagal menjaga 'miliknya'."
"Tiga hari lagi pernikahan itu akan sah secara hukum dan agama," lanjut Bu Martha sambil menggenggam tanganku lebih erat. "Ibu mohon, bersabarlah sedikit lagi. Ibu dan Bapak akan selalu ada di belakangmu. Jika Erlangga keterlaluan, bicaralah pada kami. Jangan menanggungnya sendiri."
Mendengar perhatian tulus itu, perutku kembali bergejolak. Bukan karena mual seperti tadi, tapi karena rasa bersalah yang luar biasa. Di sini, di hadapanku, ada dua orang tua yang sangat mengharapkan kebahagiaan putranya dan diriku, sementara aku menyimpan rahasia besar tentang benih Erlangga yang kini mulai tumbuh di rahimku.
Aku ingin berteriak dan memberitahu mereka bahwa aku sedang mengandung cucu mereka. Tapi bayangan wajah dingin Erlangga saat menyebutku pembunuh seketika membungkam mulutku.
"Terima kasih, Bu, Pak. Cerita kalian... sangat berarti bagiku," hanya itu yang sanggup kuucapkan.
Setelah mereka berpamitan dan meninggalkan kamar, suasana kembali sunyi. Bi Sumi mendekat, membantuku berbaring kembali.
"Non harus kuat," bisik Bi Sumi. "Keluarga Tuan Erlangga orang baik. Mungkin bayi ini memang benar-benar akan menjadi pembawa damai, seperti kata Bu Martha tadi."
Aku menatap langit-langit kamar. Tiga hari lagi. Aku akan resmi menjadi istri dari pria yang mencintaiku dengan cara yang salah.
***
Bersambung...
wah ga mati ini cuma pergi ma lelaki lain ,,