Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 31: Dionysus Rajagukguk
Debrong, Indra, Farel, Mora, dan Bagas, lima remaja ini sedang nongkrong santai-santai di sebuah cafe, asik dengan dunia masing, ada yang main game, ada yang makan, belajar, dan lain-lain.
"Eh! Liat deh," ujar Indra heboh, memecah keheningan diantara mereka.
Farel yang sedang main game langsung mengalihkan pandangannya ke ponsel Indra yang duduk disampingnya, lalu Debrong yang sedang makan ikut menghentikan aktivitasnya dan menengok juga.
Mora dan Bagas, dua siswa yang terkenal sebagai kulkasnya SMA Adiguna Bangsa itu memberhentikan pertandingan basketnya diluar cafe, mereka yang penasaran ikut nimbrung.
Terlihat di ponsel Indra, terpampang Andra yang mengirim foto babak belurnya. "Lah!" Farel kaget. "Baik banget mas Varo, cuma bikin dia babak belur gini."
Indra memasang wajah bingung. "Bukannya yang dialami Andra terbilang cukup parah?"
"Itu mah gak apa-apa dibanding gua," Farel mengadu nasib. "Pas kecil, gua dijedotin gara-gara lupa matiin keran wastafel."
"Itu mah mending, la—"
Belum sempat Debrong ikut mengadu nasib, Indra sudah memotong dan melerai. "Udah-udah, didikan orang tua jangan dibanding-bandingkan, ayah ibu kalian semua pasti punya caranya masing-masing."
"Jangan gitu lu dra," Bagas tak melanjutkan ucapannya dan hanya menunjuk Mora disampingnya.
Mora menatap Bagas dingin. "Emak gua emang ninggalin gua, dan bapak gua bundir sih, tapi seenggaknya gua digedein sama ortu asli, bukan tiri."
"Wah tai lu mor," Indra tak terima. "Sebagai saudara tiri Bagas yang juga digedein sama bapak tiri, gua tersinggung."
"Eh tir, kau kok ikut kesal sih? Udahlah," lerai Debrong tampak frustasi, kok bisa mereka sahabatan lebih dari 10 tahun?
"Bener juga," Indra tersadar, ia terdiam, berpikir sejenak. "Cafe lu amankan kalo ditinggal, mor?"
Mora mengangguk pelan. "Iyalah! Selama ada bahan sama pelanggan, aman mereka."
"Ini ide gua aja nih, gimana kalau kita ke rumah Andra," usul Indra. "Ngasih dukungan, sekalian main."
"Nggak kemaleman tir? Kan kita lagi di Bogor sekarang, bisa nyampe jam satu," celetuk Farel, membuat Indra terdiam, memutar otak.
"Tenang, gua tau jalan potong, selain motong jalan, jalan ini juga jarang dilewatin, jadinya kita bisa ngebut, gimana?" usul Mora. "Tapi ya, jalan itu dihimpit hutan, jadinya minim lampu."
"Oke sih," Farel setuju, disusul oleh yang lain, kecuali Bagas
Indra menyikut pelan Bagas yang sedang menatap tajam kearah lain. "Gas, gimana? Lu setuju nggak?"
Bagas menengok. "Hah? Iya, iya, gua setuju."
Yang lain tampak tak curiga, mereka mengambil tasnya masing-masing dan mengaikatnya dipundak. "Kalian ke parkiran duluan aja," ujar Bagas. "Ada yang mau gua urusin."
"Sama gua juga, gua mau kordinasiin anak-anak, ketemu di parkiran ya, bye," Mora berjalan meninggalkan sahabat-sahabatnya.
Yang tersisa pun hanya mengangguk, lalu berjalan keluar dari cafe menuju parkiran. Setelah mengobrol tidak terlalu lama, Bagas dan Mora datang. "Ayo."
Mereka menaiki motornya masing-masing dan menjalankannya dengan Mora yang memimpin. Setelah melalui jalan raya, mereka berbelok ke jalan yang dijelaskan Mora tadi.
Benar apa kata Mora, jalan disana sepi, mungkin hanya satu-dua pengendara lain, namun mereka langsung mengebut meninggalkan Mora dkk.
"Keren juga mereka, kecil-kecil cabe rawit," ucap Mora yang disetujui yang lain. "Balapan yuk, yang pertama keluar dari hutan, dapet sepuluh juta dari gua."
Baru saja Mora mengusulkan, Debrong langsung menancap gas meninggalkan sahabat-sahabatnya. "Wah anjing, giliran duit aja, langsung ngibrit," Indra menancap gas juga, disusul oleh yang lain.
Bruk!
Saat sedang asik-asiknya balapan, mobil van tiba-tiba keluar dari hutan dan menutup jalan, membuat Mora dkk mengerem.
Farel menatap kesal, masih duduk dimotor, ia pun berteriak. "Woi! Jangan ngalangin jalan!"
Pintu belakang van terbuka, keluarlah beberapa pria yang membawa senjata tumpul, mereka tersenyum senang, melihat Farel dan lain-lain yang terlihat panik.
"Cabut!" titah Mora, membuat yang lain langsung putar balik untuk kabur.
Namun, van lain tiba-tiba muncul menutup jalan menuju cafe Mora. Beberapa orang juga keluar dari dalam van, membuat Farel berdecak kesal, ia mematikan motornya lalu turun sembari menenteng helmnya.
Farel menghampiri salah satunya, pria dihadapannya tersenyum licik, memperlihatkan giginya yang kekuningan. Tanpa basa-basi, pria itu melayangkan tongkat baseballnya, namun Farel berhasil menangkapnya.
Brak!
Farel membalas dengan menghantamkan helmnya ke kepala pria itu. "Ribut aja lah!"
Dua penyerang yang didekat Farel hendak menyerang, namun berhasil ditahan oleh Bagas dan Indra, tanpa menunggu reaksi dari sang penyerang, dua saudara tiri itu langsung membalas dengan memukulnya di ulu hati.
Indra menatap Bagas kagum. "Keren juga lu, masih inget teknik kita di karate."
Bagas menatap Indra serius. "Jangan becanda dulu, Indra!"
Terjadilah pertarungan sengit, Farel, Indra, dan Bagas mengurus van belakang, sedangkan Mora dan Debrong mengurus van depan. Dan hasilnya? Mereka menang, walaupun mendapat luka yang tidak ringan.
Kelima sahabat ini berkumpul, mengatur napas dan mengumpulkan tenaga yang habis. "Keren juga lu brong," Indra menepuk pundak Debrong. "Gak sia-sia badan kayak gini, bisa jadi tanker."
"Kimak," Debrong mengelap hidungnya yang mengeluarkan darah. “Ayo cepat, kita pindahin badan-badan dan van—"
Farel, Mora, Indra, dan Bagas membulatkan matanya, melihat seorang penyerang yang masih kuat untuk menusuk Debrong dari belakang, remaja berketurunan batak itu memuntahkan darah.
“Debrong!”
…….
Andra dan Irma, kedua insan ini tidur-tiduran diranjang Andra sembari menonton film di tv yang berads diseberang ranjang. “Dra,” panggil Irma yang dibalas Andra dengan menaikkan alisnya. “Aku bingung deh, kok Debrong nggak marah ya kalian katain?”
Andra terkekeh. “Nggak bakal lah.”
Irma mengerutkan dahi. “Kok bisa?”
Andra menghela napas, meraih remote tv dan menghentikan film. “Kakak mau dengerin? Ini bakal panjang banget,” ucap Andra yang dijawab anggukkan oleh Irma.
Andra menghela napas. “Jadi gini kak…”
…..
Flashback on
Seorang anak laki-laki bertubuh gempal terduduk, menyandar pada pohon besar dipinggir lapangan, papan nama ‘Dionysus Rajagukguk’ terjahit di seragam SD lusuhnya, tangannya menggenggam buku pelajaran.
Saat sedang asik-asiknya membaca, sebuah bola sepak berhenti tepat dikakinya. “Eh Dion, sendirian bae, mau ikut main bola nggak?” Dion mendongak, matanya menajam melihat anak didepannya, Bagas.
Wajah Dion tampak kesal, ia mengingat kembali apa yang terjadi saat jam pelajaran tadi, anak ini selalu mengobrol dengan teman-temannya dan tak pernah memperhatikan penjelasan guru. Namun, entah kenapa bisa menyelesaikan soal di papan tulis, yang bahkan Dion tidak mengerti.
“Nggak ah,” tolak Dion. “Udah mau ulangan, mau belajar aku, mau dapat ranking satu.”
“Oh, oke,” Bagas menendang bola jauh, kemudian ia berlari kembali kedalam lapangan.
Dion tersenyum percaya diri. “Lihat aja kau, kukalahkan kau, aku pasti dapat ranking satu.”
Dua minggu kemudian
Dion berjalan menuju sekolahnya, terlihat plester menempel di wajah dan kakinya, tangannya menempel di perutnya yang keroncongan, tanpa ia sadari, air mata mulai turun, membasahi pipi tembamnya.
Dion teringat kembali ucapan seorang wanita yang ia panggil emak saat sebelum berangkat sekolah. “Nggak usah sarapan kau, nggak ada uang jajan, percuma, tetap rangking juga kaunya.”
“Kalau aku lapar disekolah gimana mak,” ucap Dion ragu-ragu.
“Tahanlah!” nada ‘emak’ meninggi. “Lagian kau nggak akan ikut classmeting, badan kau macam babi, lambat.”
Dion menendang sampah botol didekatnya, mengingat makian ‘emak’ nya. “Pantek kau Bagas, kau contek teman-teman kau.”
Kini Dion sudah sampai disekolah, ia menaruh tasnya didekat pohon. Napas Dion tersengal ketika melihat Bagas tertawa di pinggir lapangan. Tawa itu menekan dadanya lebih keras daripada tangan emak pagi tadi.
Dion berlari kecil menghampiri Bagas. “Gas.”
Bagas menengok, kemudian tersenyum. “Eh Dion, kenapa? Mau ikut classmet?”
Dion menggeleng, ia melayangkan pukulannya. “Anjing kau!”
to be continue