NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:398
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35 - Darah Yang Tidak Kupilih

Yarun’ru Beta menghela napas panjang sebelum berbicara.

“Raka, Yuna,” ucapnya sambil menoleh perlahan.

“Mulai sekarang… jangan panggil aku Yarun’ru lagi.”

Raka berkedip bingung, Yuna memiringkan kepala seperti biasa.

Beta menatap Yuna sangat lama lebih lama dari biasanya.

Ada sesuatu yang ia tahan sejak pergi bersama Yuna karena kegelisahan, rasa bersalah, dan ketakutan akan masa lalu yang akan terus mengejar.

“Yuna,” ucap Beta perlahan, suaranya berat.

“Mulai sekarang… panggil aku Beta saja. Jangan lagi panggil nama lamaku.”

Raka dan Yuna saling pandang, bingung.

Beta melanjutkan, “Nama itu… selalu mengingatkanku pada ayahku.

Pada Lakantara.

Aku sudah melepaskan semuanya. Kalau kau butuh menyebut asal-usulku… katakan saja aku dari Gunung Asalga.”

Yuna menunduk sedikit, tidak berkomentar.

Beta menghela napas panjang, lalu berkata dengan getir,

“Begitu mudahnya kau mengikuti perjalanan kami, Yuna… tapi aku tidak tahu apa yang ada di hatimu. Apakah kau benar-benar jujur?

Atau kau hanya menyembunyikan sesuatu?”

Yuna tersentak kaget.

“A-apa maksudmu…?”

Beta menatap lurus ke matanya tajam, penuh ketegasan.

“Aku harus tahu isi hatimu yang sebenarnya.

Aku… anak dari Penguasa Lakantara. Darah dari orang yang menyebabkan tragedi Api Hijau.”

Ia menundukkan kepala.

“Banyak nyawa hilang… karena ayahku.”

Raka menegang.

Yuna, yang biasanya lincah, kini diam seperti patung.

Beta memberi mereka waktu sejenak sebelum melanjutkan.

“Aku perlu tahu… apakah kau benar-benar yakin berjalan bersamaku?

Dengan darah seperti ini mengalir di tubuhku?”

Tanpa peringatan, Beta mulai membuka seluruh jirah perunggunya melepas pelindung dada, bahu, dan lengan hingga hanya tersisa pelindung kaki.

Raka maju satu langkah.

“Beta… apa yang kau lakukan?”

Beta tidak menjawab.

Ia justru mencabut belati perunggu kecilnya dan meletakkan gagangnya ke arah Yuna.

“Kalau benar kau menyimpan dendam… kalau kau ingin membalas tragedi itu…”

Beta menarik napas dalam-dalam.

“…lakukan sekarang. Tusuk jantungku.”

Raka terperanjat, suaranya naik karena panik.

“Beta! Apa maksudmu!? Ini sudah keterlaluan!”

Namun Beta tidak bergerak.

Tidak juga mengalihkan pandangan dari Yuna.

Ia hanya berdiri di sana tanpa pelindung membuka dadanya seolah siap menerima apapun keputusan Yuna.

Yuna menggenggam belati perunggu itu.

Dingin logamnya merambat ke kulit, kaku dan tegas seperti batu yang tak bisa dibantah.

Ia menatap Beta yang berdiri tanpa jirah, hanya menyisakan pelindung kaki membiarkan dirinya terbuka dan rentan di hadapannya.

Tidak ada ancaman, tidak ada perlawanan. Hanya pasrah… dan kejujuran yang telanjang.

Yuna menelan napas gugup.

Bayangan dirinya di masa lalu muncul sekilas:

hari-hari tersesat di ruang bawah tanah gelap, kesepian yang membungkam, tubuhnya gemetar menahan dingin, dan napas yang hampir putus ketika suara tragedi api hijau menghantui setiap detik.

Semuanya seakan kembali hadir di ruangan hening itu.

Namun di hadapannya sekarang bukan seorang musuh.

Melainkan seorang pemuda yang menanggalkan kebanggaannya, melepaskan nama yang selama ini membebaninya, dan berdiri bukan sebagai anak Penguasa Lakantara…

tapi sebagai Beta, seseorang yang ingin berjalan bersama mereka.

Belati itu terasa lebih berat di tangan Yuna.

Bukan karena logamnya… tapi karena pilihan yang menyertainya.

Yuna memegang belati perunggu itu dengan kedua tangan.

Bilahnya terasa dingin, keras seperti batu yang disimpan lama di bawah tanah.

Ia menatap kembali Beta yang berdiri tanpa perlindungan, menerima apa pun yang mungkin terjadi.

Dalam diam singkat itu, kenangan Yuna muncul kesendiriannya hanya bisa bersembunyi tanpa daya.

Namun saat menatap Beta… ia justru melihat seseorang yang sama terluka, bukan musuh.

Perlahan Yuna tersenyum kecil.

Ia mengembalikan belati itu ke tangan Beta dengan kedua tangannya, penuh hormat.

“Kau tidak bersalah,” ucapnya lembut.

Raka mengangguk cepat dari samping, ikut menguatkan.

“Benar. Kau bahkan belum lahir saat tragedi itu terjadi.

Tidak ada dosa yang diwariskan dari ayahmu.”

Yuna menunduk sedikit, suaranya pelan tapi pasti.

“Kata ibuku… setiap bayi lahir dalam keadaan suci.

Dosa hanya dipikul oleh diri sendiri.

Tidak ada dosa waris.”

Beta yang mendengar kata-kata itu terdiam.

Beban yang ia bawa bertahun-tahun terasa sedikit terangkat.

Beta berkata "kini aku lega" dan mengambil belati miliknya ke sarung belati di kaki, kini pasang kembali jirah dan sambil berbicara ke Raka.

Kenapa kau bisa menghindari anak panah yg melesat maju, apakah kau bener bener berlatih bertarung untuk menghindari serangan anak panah.

Raka tidak langsung menjawab.

Ia menatap Beta beberapa detik, seolah mempertimbangkan apakah ia perlu jujur… atau menyembunyikan sebagian.

Akhirnya ia menghela napas.

“Aku tidak pernah dilatih bertarung,” jawab Raka pelan.

“Aku bukan prajurit, bukan pemburu… aku cuma anak dari lereng gunung salak.”

Beta memicingkan mata, jelas tidak percaya.

“Lalu bagaimana kau bisa menghindar secepat itu?” desaknya.

“Panah itu melesat seperti kilat. Bahkan prajurit Lakantara pun sulit menghindarinya.”

Raka mengusap tengkuknya.

“Entahlah… itu cuma terjadi begitu saja.

Tubuhku bergerak lebih cepat dari pikiranku.”

Beta menatapnya lebih lama matanya tajam seperti sedang membaca isi dada Raka.

“Tidak ada gerakan ‘begitu saja’,” ujar Beta datar.

“Entah itu insting… atau ada sesuatu yang diwariskan padamu.”

Raka membuka mulut, tapi menutupnya kembali.

Ia sendiri bingung.

Ia tidak punya jawaban yang jelas.

Di sebelahnya, Yuna memegang kedua tangannya di depan dada, ekspresi serius untuk pertama kali sejak pagi.

“Aku melihatnya,” katanya pelan.

“Tubuh Raka bergerak… seperti dia tahu dari mana panah datang.

Seolah angin bilang duluan.”

Raka terdiam.

Kalimat Yuna membuat Beta mengerutkan dahi.

“Angin… berbicara?” gumam Beta.

“Menarik.”

Ia mendekat setengah langkah, menatap Raka dari ujung rambut hingga ujung kaki bukan meremehkan, tapi mengamati.

“Aku tidak tahu apa yang sedang tumbuh dalam dirimu, Raka,”

ucap Beta dengan suara rendah.

“Tapi jika refleksmu seperti itu tanpa latihan… kau bukan orang biasa.”

Raka menelan ludah.

“Aku cuma menghindarinya.”

Beta tersenyum tipis senyum.

"Dan justru itu,” katanya, “yang membuatku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh".

Yuna tersenyum lebar, bangga.

“Raka itu hebat,” katanya sambil menepuk bahu Raka.

“Cuma dia yang bisa begini” sambil meragakan menghindar anak panah.

Raka mendecak malu.

“Yuna… itu kebetulan.”

Beta mengibaskan tangan.

“Tidak ada kebetulan semacam itu,” katanya.

“Kita lihat nanti. Jika kau memang punya kecepatan seperti itu…

perjalanan ke suku Yaka mungkin tidak seberbahaya yang kupikirkan.”

Beta lalu masih sibuk memasang jirah untuk di ikat.

Raka dan Yuna saling pandang.

Yuna menepuk lengannya pelan sambil tersenyum nakal.

“Hmmm… ternyata kau punya rahasia juga ya, Raka.”

Raka hanya menghela napas panjang.

Ia tidak tahu rahasia apa yang dimaksud Yuna.

Ia bahkan belum mengerti tubuhnya sendiri.

Tapi satu hal pasti.

Perkataan Beta barusan membuat perjalanan mereka berubah makna.

Kini bukan hanya perjalanan menuju suku Yaka.

Ini juga perjalanan menemukan siapa sebenarnya Raka itu.

Raka tiba-tiba terdiam.

Raka menatap tanah sejenak, lalu tiba-tiba tubuhnya menegang.

Ada sesuatu yang muncul dari kedalaman ingatannya sesuatu yang ia pikir tak pernah penting.

“Beta…” Raka akhirnya berkata pelan, “aku… baru ingat sesuatu.”

Beta dan Yuna menoleh serentak.

Raka menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.

“Sejak kecil, Guru Rasi Laka selalu melempari aku dengan kerikil,” katanya.

Yuna memiringkan kepala bingung.

Beta hanya mengangkat alis.

Raka melanjutkan, “Guru selalu bilang: jangan ditangkap, jangan dilihat. Hanya dengarkan. Rasakan dari mana datangnya.”

Ia menelan ludah.

“Dulu aku tidak mengerti. Untuk apa aku menghindari kerikil kecil?

Setiap kali aku bertanya… guru cuma bilang: kau akan tahu nanti.”

Beta menunduk sedikit, tertarik.

Raka menutup matanya sekejap, merasakan kembali deru udara yang memotong telinganya ketika panah tadi melesat.

Kemudian ia membuka mata.

“Dan sekarang… aku baru tahu jawabannya,” ujar Raka hampir berbisik.

“Itu bukan latihan kerikil. Itu latihan untuk menghindari panah.”

Yuna tercengang.

Beta menatap Raka lama sekali, nyaris tanpa berkedip.

“Jadi,” katanya perlahan, “setiap hari kau dilatih… tanpa kau sadar… untuk membaca arah serangan hanya dengan suara dan angin?”

Raka mengangguk pelan.

“Sepertinya begitu. Tubuhku bergerak sendiri. Seolah… kerikil guru itu kembali dilempar hari ini.”

Beta mengembuskan napas panjang, kagum sekaligus khawatir.

“Kalau benar begitu,” ujarnya, “maka kemampuanmu bukan kebetulan.

Itu… pelatihan seorang ahli. Pelatihan yang tidak sembarang orang dapat.”

Yuna mendekati Raka, matanya berbinar bangga.

“Aku tahu!” katanya sambil menepuk bahu Raka.

“Makanya kau bergerak cepat! Seperti sedang bicara dengan angin!”

Raka tersenyum kecut.

“Aku hanya… mengikuti apa yang pernah diajarkan.”

Beta tersenyum tipis, bukan meremehkan tapi menghargai.

“Raka,” katanya seraya memasang kembali jirahnya, “kau bukan hanya anak gunung.

Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirimu.

Dan aku ingin melihat sejauh apa itu bisa berkembang.”

Ia melangkah mendahului.

Perjalanan mereka kini berubah sedikit arahnya.

Bukan sekadar menuju suku Yaka tapi juga menuju masa lalu Raka sendiri.

Melewati hutan lebat, suasana berubah gelap.

Cahaya matahari hanya tersaring sedikit lewat sela-sela daun raksasa di atas mereka, membuat udara terasa lembap dan berbau tanah basah.

Beta berjalan paling depan sambil menyingkap ranting.

“Minyak anti serangga itu hanya menipu indra penciuman,” ujarnya pelan.

“Tapi di hutan seperti ini, masih banyak mahluk lain yang tidak peduli pada bau-bauan kita.

Kita harus tetap waspada.”

Raka dan Yuna mengangguk.

Dentuman kecil terdengar di atas, seperti sesuatu yang mematahkan ranting tipis.

Beta langsung menoleh ke samping, mengambil posisi siaga.

Namun Yuna justru lebih cepat.

Dalam sekejap sebelum Beta sempat bicara Yuna mengangkat busurnya dan melesatkan satu anak panah ke atas.

THWIP!

Anak panahnya menancap tepat di atas kepala mereka, mengenai sesuatu yang berwarna gelap.

Sesuatu itu jatuh, membentur tanah lembap di dekat kaki Beta.

Raka mundur satu langkah refleks. “Ap—apa itu!?”

Laba-laba sebesar kepalan tangan tergeletak di tanah.

Tubuhnya hitam kecokelatan, kaki-kakinya panjang dan kurus seperti ranting kering…

dan di belakang tubuhnya menggantung ekor tebal dengan gigi duri runcing menggeliat.

Ekor itu masih bergerak-gerak.

Beta langsung menahan lengan Raka. “Jangan sentuh!”

Yuna menurunkan busurnya, wajahnya sedikit pucat.

“Gigitan jenis ini… bisa membuat tubuh mati rasa dalam hitungan napas,” kata Yuna pelan.

“Ayahku selalu bilang: hutan yang gelap menyembunyikan makhluk yang tidak suka cahaya.”

Beta menunduk, melihat ekor itu dengan waspada.

“Jika Yuna terlambat sedikit saja…”

Ia melirik ke arah Raka.

“Laba-laba ini bisa jatuh tepat di belakang lehermu.”

Raka menelan ludah, merinding.

Yuna menarik napas dalam, mencoba tersenyum walau jelas gugup.

“Hehe… aku cuma spontan tadi. Anginnya berubah.

Jadi aku tahu ada sesuatu di atas.”

Beta menghela napas panjang, ada rasa kagum dan waspada bercampur jadi satu.

“Kemampuanmu memanah memang luar biasa, Yuna,” katanya.

“Tetaplah seperti itu.

Di hutan ini… hewan seperti ini hanyalah permulaan.”

Raka melihat ke arah pepohonan gelap di atas mereka.

“Kalau ini permulaan… apa yang ada lebih dalam?” gumamnya.

Angin kecil berhembus, membawa suara-suara samar dari kedalaman hutan.

Beta menatap jauh ke depan.

“Itulah yang akan kita hadapi.”

Mereka kembali melangkah.

Namun tiba-tiba Beta mengangkat tangannya memberi tanda berhenti.

“Jangan bergerak,” ucapnya pelan.

“Kalian… jangan serang ular itu.”

Raka dan Yuna menengadah.

Di atas dahan setinggi bahu, seekor ular sebesar kaki orang dewasa melingkar malas.

Perutnya menggembung besar, seperti baru saja menelan mangsa utuh.

Raka menelan ludah. “Itu… besar sekali.”

“Dan sangat kenyang,” jawab Beta datar.

“Artinya ia tidak akan menyerang. Ular yang baru makan malas bergerak.”

Ia menoleh dengan tatapan serius.

“Jangan ganggu. Jangan beri suara tiba-tiba. Kita hanya lewat.”

Mereka melangkah perlahan, menahan napas.

Setelah cukup jauh, Beta melanjutkan:

“Di sini, bahaya bukan hanya dari atas. Tanah lembab… banyak serangga penyengat dan binatang kecil yang bisa menggigit kaki kalian.”

Ia kemudian menunjuk posisi masing-masing:

“Aku fokus ke depan.”

“Raka, kau fokus ke bawah.”

“Yuna, kau awasi langit-langit hutan.”

Raka berkedip. “Kenapa aku bagian bawah?”

“Karena instingmu paling cepat di antara kami,” jawab Beta tanpa menoleh.

“Jika sesuatu melompat dari tanah… kau yang paling mungkin bereaksi.”

Yuna menyeringai sambil melompat ringan.

“Aku bagian atas! Itu bagus. Aku sudah dendam sama makhluk-makhluk gelayut ini.”

Beta menghela napas, tetapi ada sedikit senyum di bibirnya.

“Mari lanjut. Kita masih jauh dari batas Suku Yaka.”

Berhasil keluar dari bayang-bayang hutan lebat, ketiganya berdiri di batas pepohonan napas mereka terembus lega setelah melewati ancaman senyap dari makhluk-makhluk yang tak terlihat.

Tapi rasa lega itu hanya bertahan sekejap.

Begitu telapak kaki mereka menyentuh tanah lapang, Raka otomatis menghentikan langkahnya.

Yuna juga menegang, tangan refleks meraih busur namun Beta segera mengangkat tangan, memberi isyarat agar keduanya tetap tenang.

Pemandangan di depan mereka… bukan yang mereka harapkan.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!