Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Jangan Memaksaku
"Tentu saja kek, aku setuju!"
Dengan nama apapun orang memanggilnya tak akan menjadi masalah, setidaknya untuk saat ini ia sudah menemukan orang yang tepat untuk bersandar. Ia tak bisa mengingat seperti apa masalalunya, bahkan ia juga tak mengingat seperti apa keluarganya, semua itu tiba-tiba sirna dari ingatannya, bahkan untuk sekedar mengingat kejadian yang membuatnya jatuh ke sungai saja pun tak bisa.
"Oh ya kek, berhubung aku sudah agak sehat, bolehkah aku membantu kakek, itung-itung buat meringankan pekerjaan kakek."
Rahmat terkekeh dengan menepuk pundaknya. "Jangan buru-buru beraktifitas, istirahat dulu dengan baik biar tenagamu lekas pulih. Obati saja lukamu itu biar lekas sembuh, minta Sari buat menyiapkan obat-obatan untukmu."
"Hah! Sari...?" Pria itu menyengir kuda dengan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Keberadaannya di tempat itu saja sudah membuat Sari tak nyaman, apalagi kalau dimintai pertolongan lagi, bukannya dibantu yang ada malah dicaci maki.
"Kenapa? Kamu takut sama dia?" Rahmat terkekeh dengan satu alisnya terangkat. Dia tahu apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu. Nampaknya Sari sudah membuatnya tak nyaman tinggal di kediamannya, tapi ia tak sepemikiran dengan cucunya, ia masih tak tega membiarkannya pergi tanpa tujuan.
"Udah, jangan merasa nggak enakan gitu. Kamu masih belum sembuh betul, lihat saja.., lukamu saja masih belum mengering. Mintalah dia untuk membantumu, jangan sungkan. Selama kalian bisa menjaga diri kakek nggak keberatan. Sari itu anak baik, dia pasti mau membantumu."
Jaka mengangguk perlahan,, ia ragu untuk menemui gadis itu, niatnya saja ingin membantu malah diusir, apalagi kalau sampai minta bantuan untuk mengobati lukanya, mungkin dia bakalan menendangnya.
Kriet,, suara pintu terbuka, nampaklah dari dalam seorang gadis melangkahkan kakinya keluar dengan membawa tas belanjaan. Rahmat dan Jaka refleks menoleh padanya. Pria tua itu melambaikan tangan memanggilnya. "Sari! Kemarilah!" Gadis itu mengangguk dan langsung menghampirinya.
"Iya kakek, ada perlu apa memanggil Sari kek?"
"Ini kamu mau ke mana?"
"Em..., ini kek, Sari mau ke warung, mau beli beras kek, berasnya tinggal sedikit," jawab gadis itu jujur. Dengan menggenggam uang seratus ribu ia berniat untuk membeli beberapa kilo beras dan juga kebutuhan lainnya.
"Kalau begitu kamu belikan Betadine untuk mengobati lukanya nak Jaka. Kalau nggak segera diobati nanti bisa infeksi," celetuk Rahmat.
'jaka? Oh..., jadi namanya Jaka? Katanya hilang ingatan, tapi kok tahu namanya? Dasar pembohong!'
Sari mendengus dengan mukanya ditekuk. "Aku nggak janji ya kek, soalnya uangnya pas-pasan, nanti kalau dibuat beli Betadine jatah berasnya berkurang. Dia kan sudah ingat namanya, berarti dia sudah sembuh, itu artinya dia bisa pulang ke tempat asalnya, nggak harus nebeng di rumah kita!"
"Hus! Kamu ini ngomong apaan sih! Nggak baik ngomong kayak gitu! Nak Jaka ini masih belum mengingat apapun, yang kasih nama Jaka itu kakek, biar enak dipanggil. Masa mau panggil hah ... heh.. hah... heh..., kan nggak sopan?"
Gadis itu menahan tawanya. Lagi-lagi dia sudah salah paham dan overthinking mengenai pria itu. "Maaf kek, aku pikir dia sudah mengingat kembali, jadi aku ngomong kayak gini. Tapi kakek..., uangku cuma segini." Sari menunjukkan selembar uang kertas bernilai seratus ribuan. Dia sungguh sedang tidak memiliki banyak uang.
"Em..., tunggu! Aku sepertinya masih ada uang di kantong jaketku. Kamu tunggu sebentar ya, biar kuambil dulu."
Jaka langsung bergegas masuk ke dalam rumah untuk mengambil uang yang dimilikinya. Ia bersyukur, setidaknya masih ada rupiah yang tersisa di jaketnya, dengan begitu ia bisa membantu perekonomian keluarga orang yang ditampunginya.
Sembari menunggu Jaka kembali sang kakek memberikan sedikit nasehat kepada cucu perempuannya. Tidak banyak yang ingin dia sampaikan, dia hanya ingin cucunya menjaga sikap agar tak melukai perasaan orang lain.
"Sari, bersikaplah yang baik kepada Jaka, dia sama sepertimu, di sini tidak memiliki orang tua. Bahkan dia tidak tahu apakah orang tuanya masih hidup atau tidak. Mungkin dengan cara ini Tuhan mempertemukan kalian."
Gadis itu berdecak. "Ck, kakek! Maksudnya apa sih? Jangan bilang kakek berniat untuk menjodohkan Sari dengannya! Enggak kek, Sari nggak mau dijodoh-jodohin, Sari nggak mau menikah, Sari ingin di sini saja merawat kakek!"
Bagaimana ia tega meninggalkan kakeknya sebatang kara? Sejak kecil hanya kakeknya yang memiliki kepedulian terhadapnya, bahkan anak kandung kakeknya yang lain tak memiliki kepedulian sama sekali.
"Sari, siapa yang memintamu untuk pergi dari sini? Kalaupun nanti kamu menikah, tetaplah tinggal di sini menemani kakek. Jaka itu anak yang baik loh Sar, dia bahkan menawarkan dirinya untuk membantu kakek, padahal dia sendiri masih kurang sehat. Kamu harus bersikap baik padanya, jangan buat dia tak nyaman, kasihan dia nak, kalau dia pergi dari sini, siapa yang bakalan peduli padanya!"
Obrolan mereka terhenti saat Jaka keluar dan bergabung kembali dengan mereka. Dia menyerahkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan kepada Sari.
"Em... Sari, ini aku ada sedikit uang buat tambah-tambah belanja untuk keperluan rumah. Maaf ya..., aku nggak bisa kasih banyak. Aku janji setelah sembuh bakalan cari kerjaan agar bisa kasih uang buat kamu. Ayo terima!"
Sari melambaikan tangannya menolak. "Em..., nggak usah mas Jaka! Aku masih ada uang, simpan saja uangnya, siapa tahu saja nanti mas Jaka butuh buat beli keperluan sendiri."
Jaka terkekeh kecil. "Nggak papa Sari, uang segini nggak berarti apa-apa dibandingkan dengan nyawaku. Aku sangat berterimakasih karena kamu sudah membantuku. Kalau nggak ketemu kamu terus nggak dibawa pulang entah apa yang terjadi padaku, mungkin saja aku bakalan terbawa arus sungai atau bahkan mati kedinginan. Ayo terima uang ini, jangan ditolak ya?"
Sari menoleh pada Rahmat untuk meminta izin darinya. Dari kecil ia sudah diajari untuk tidak merepotkan orang lain. Jika saja ia menerima uang pemberian pria itu tanpa mendapatkan izin dari kakeknya, tentu kakeknya bakalan marah.
"Kek..,"
"Yaudah, kamu ambil saja, kan nak Jaka iklas memberikannya padamu!"
Asila mengangguk. Akhirnya ia bisa menerima pemberian Jaka setelah mendapatkan izin dari kakeknya.
"Yaudah, kalau gitu aku terima ya mas? Mas Jaka iklas kan?"
Jaka mengangguk sopan. "Ya, tentu saja aku iklas lahir batin."
Uang sebesar lima ratus ribu rupiah kini sudah ada di tangannya. Ia agak lega karena dengan uang sebanyak itu bisa membeli kebutuhan dapur.
"Kalau begitu aku izin dulu ke warung, nanti aku akan belikan mas Jaka obat-obatan warung. Mas Jaka istirahat saja di dalam."
Sari langsung bergegas melangkahkan kakinya menuju warung yang tidak seberapa jauh dari rumahnya. Hatinya kini berbunga-bunga, bukan karena ia sudah menyukai Jaka, tapi uang pemberian Jaka begitu berguna baginya.
Setelah kepergian Sari tinggalah Rahmat berduaan saja dengan Jaka. Sepanjang perjalanan Jaka tak berhenti menatap punggung Sari yang kini menghilang di ujung jalan.
"Nak Jaka, bagaimana menurutmu tentang Sari? Tidakkah kamu tertarik padanya?"