Aliya harus menelan pil pahit saat tunangannya ingin membatalkan pernikahan lalu menikahi Lisa yang tak lain adalah adik kandung Aliya sendiri. Demi mengobati rasa sedih dan kecewa, Aliya memutuskan merantau ke Kota, namun siapa sangka dirinya malah terjerat dengan pernikahan kontrak dengan suami majikannya sendiri. “Lahirkan anak untuk suamiku, setelahnya kamu bebas.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shann29, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35-Sebuah Awal Baru
Suasana sore itu terasa berbeda di rumah sederhana milik Ayah Rudi. Hembusan angin yang masuk melalui jendela ruang tamu membawa aroma tanah basah selepas hujan tadi siang. Namun, bukan hanya udara yang berubah, melainkan juga perasaan Aliya yang sedang bergejolak. Ia ingin sekali membawa sang ayah pergi bersamanya ke villa yang sudah disiapkan Angkasa, suaminya.
“Ayah biar di rumah saja, Al. Ayah gak mau repotin kamu. Anggap saja kamu sedang berlibur,” ucap Ayah Rudi sambil tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya.
Aliya memegang tangan ayahnya erat-erat. “Tapi aku masih merindukan Ayah. Ayo Yah ikut ya sama Aliya. Kan ada Kak Bimo juga yang menemani Ayah.” Nada suaranya memohon, seperti seorang anak kecil yang tak ingin berpisah lagi dengan orang tuanya.
Bimo yang sejak tadi berdiri di samping mereka akhirnya angkat bicara. “Yah, ikut saja. Lagi pula, kesehatan Ayah perlu dijaga. Di villa nanti suasananya tenang, udaranya juga bagus. Ayah bisa lebih rileks.”
Ayah Rudi menatap wajah kedua anaknya. Ia tahu Aliya dan Bimo sungguh-sungguh ingin membuatnya bahagia. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya menghela napas panjang dan mengangguk. “Baiklah, kalau memang kalian mau, Ayah ikut.”
Senyum lega langsung merekah di wajah Aliya. “Terima kasih, Yah!” serunya sambil memeluk ayahnya erat.
Namun, Ibu Dini tetap bergeming. “Ibu tidak tega meninggalkan Lisa. Dia masih butuh perhatian. Kalau kalian mau pergi, pergilah. Ibu di sini saja,” ujarnya dingin.
Aliya mencoba lagi membujuk. “Bu, sekali saja ikut kami. Nanti Ibu bisa kembali. Anggap saja kita berkumpul lagi seperti dulu.”
Tapi Ibu Dini menggeleng tegas. “Tidak, Al. Jangan paksa Ibu.”
Aliya kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, hatinya terasa perih karena ibunya lebih memilih tetap tinggal bersama Lisa ketimbang berkumpul dengan keluarga besarnya.
Akhirnya, rombongan kecil itu berangkat. Aliya bersama Angkasa, Bimo, dan Ayah Rudi menuju villa yang tidak terlalu jauh dari rumah lama mereka. Di sisi lain, rumah itu menjadi saksi perpisahan sejenak, meninggalkan Ibu Dini bersama Lisa.
Ketika suasana rumah mulai hening, suara ribut justru terdengar dari kamar Lisa dan Haris.
Lisa menatap suaminya dengan wajah merah padam. “Jujur aja, Mas. Kamu masih ada rasa kan sama Kak Aliya?”
Haris terperangah. “Kamu ini ngomong apa sih, Lis? Aku cuma menyapa kakakmu. Dia kakak iparku sendiri.”
“Halah,” sindir Lisa. “Menyapa kakak ipar atau menyapa mantan kekasih?”
Haris menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. Ia menatap wajah istrinya yang penuh curiga. Dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa dirinya memang masih menyimpan sedikit rasa penyesalan atas keputusan masa lalu.
“Lis, kamu terlalu berlebihan. Aku sudah menikah sama kamu. Jangan terus bandingkan aku dengan masa lalu.”
Lisa mendengus. “Kalau kamu berani macam-macam, aku akan tuntut kamu ke polisi, Mas. Jangan lupa, aku tahu semua tentang kamu. Menggelapkan uang Ayah, bikin peternakan bangkrut, sampai setengah uang tanah yang kamu pakai diam-diam. Jangan coba-coba bohong sama aku.”
Wajah Haris langsung pucat. Ancaman Lisa seperti belati yang menusuk dadanya. Seharusnya ia yang memegang kendali, tapi justru istrinya yang kini berani menekan.
“Aku menyesal menikah denganmu, Lis. Harusnya dulu aku tidak membatalkan pernikahanku dengan Aliya,” desis Haris lirih namun penuh penyesalan. “Semenjak aku menikah denganmu, hidupku justru sial. Kontrak kerjaku habis, bisnis selalu gagal. Apa ini yang namanya beruntung?”
Lisa terdiam sejenak, lalu menatapnya tajam. “Kalau menyesal, silakan. Tapi ingat, kamu sudah terikat denganku. Jangan coba-coba berpaling lagi ke Kak Aliya.”
Haris hanya bisa merunduk. Rasa getir menguasai dadanya.
Sementara itu, Aliya terpesona begitu mobil mereka memasuki halaman villa. Bangunan besar bergaya modern itu berdiri anggun di tengah hamparan kebun teh hijau yang membentang sejauh mata memandang. Kolam renang berkilau terkena cahaya matahari sore, jendela-jendela besar memperlihatkan panorama luar biasa.
“Mas, kok bisa nemu villa sebagus ini sih?” tanya Aliya penuh kagum. Dulu, ketika masih tinggal di desa ini, ia sama sekali tak tahu ada bangunan seindah ini.
Angkasa tersenyum sambil merangkul bahu istrinya. “Itu Vino yang nemuin. Villa ini masih baru. Aku malah kepikiran mau beli kalau memang dijual.”
Aliya menyenggol lengannya sambil terkekeh. “Beli villa kayak beli kacang aja sih, gampang banget.”
“Tentu gampang, kalau untuk kamu.” Angkasa menatap Aliya dengan penuh cinta. “Apa pun akan aku usahakan.”
Melihat kebahagiaan putrinya, Ayah Rudi merasa lega. Hatinya terharu karena Aliya diperlakukan begitu baik oleh suaminya.
Mereka akhirnya beristirahat di kamar masing-masing. Ayah Rudi ditemani Bimo, sementara Aliya berada satu kamar dengan Angkasa.
Selesai membersihkan diri, Angkasa bersandar di kasur sambil menatap langit-langit kamar. “Aku serius loh mau beli villa ini. Aku beli atas nama kamu.”
Aliya terperangah. “Mas, kamu berlebihan. Jangan begitu. Aku gak enak.”
Angkasa menggeleng mantap. “Aku akan tetap membelinya. Lagipula, Vino juga sudah mengurus peternakan sapi yang dulu dijual Haris. Semua itu atas namamu. Dan aku berencana menyerahkan kepengurusannya pada Bimo.”
Aliya menatap suaminya dengan campuran terkejut dan haru. “Mas… aku gak nyangka kamu sejauh itu memikirkan keluarga aku.”
“Karena mereka keluargamu, berarti keluargaku juga,” jawab Angkasa lembut.
Keesokan harinya, mereka sarapan bersama di teras villa. Pemandangan kebun teh yang membentang luas menjadi latar sempurna bagi pembicaraan penting.
“Yah, aku ingin membeli kembali peternakan sapi yang dulu,” ujar Angkasa serius.
Ayah Rudi tersentak. “Tidak usah, Nak. Itu terlalu merepotkan. Ayah tidak mau membebanimu.”
Tapi Angkasa menatapnya dengan tulus. “Bukan beban, Yah. Aku ingin keluarga ini punya usaha yang bisa diwariskan. Bimo juga bisa mengelola. Aku hanya menambah modal agar peternakan itu semakin besar.”
Awalnya, Ayah Rudi menolak. Namun, setelah mendengar penjelasan Angkasa yang penuh keyakinan, akhirnya ia luluh. “Kalau begitu… Ayah serahkan pada kalian.”
Bimo yang sejak tadi terdiam langsung tersenyum lega. “Terima kasih, Kasa. Ini lebih dari cukup. Aku janji akan menjaga semuanya. Ibu tidak akan berani lagi membela Haris karena peternakan ini memang punya Aliya.”
Angkasa tersenyum. “Maaf karena dengan begini kamu gak jadi kerja di kantorku.”
“Jangan merasa gak enak, Sa. Justru aku bersyukur. Aku bisa mengurus sesuatu yang berarti untuk keluarga,” balas Bimo penuh semangat.
Aliya menimpali, “Bimo dan Ayah tinggal di sini saja. Nanti ada pelayan yang membantu. Kalau Ibu mau, bisa ikut pindah. Tapi kalau tidak, jangan dipaksa. Biar Ibu sadar dengan sendirinya.”
Ayah Rudi menggelengkan kepala pelan. “Tapi Al, bagaimana kalau Lisa dan Haris mau ikut tinggal di sini?”
Sebelum Aliya sempat menjawab, Bimo sudah angkat suara. “Tentu saja tidak. Enak saja mereka mau hidup enak. Dan aku tidak mau memperkerjakan Haris di peternakan kita. Setuju, Al?”
Aliya menatap kakaknya dan mengangguk mantap. “Ya, jangan biarkan Haris ikut campur. Aku tidak ingin hal-hal buruk terjadi lagi.”
Bimo tersenyum lega. “Tenang saja, Al. Kali ini Kakak akan menjaga semuanya untukmu.” Ia lalu menoleh pada Angkasa. “Terima kasih sudah mempercayakan semua ini padaku.”
Angkasa mengangguk tulus. “Sama-sama, Bim. Ini semua demi kalian.”
Suasana hangat menyelimuti teras villa pagi itu. Sebuah awal baru seakan terbentang di depan mereka.
Cemen...blom apa2 udah parno duluan
Jangan keburu lari klo masalahnya aja blom tentu pasti..
hadapi bersama sama
kurang kek nya hukuman kemaren
karena Darel tau Elera kelemahan mu
yang dulu sempat mau culik mommy mu