Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 31~ Jampe-jampe
Sekar beranjak meninggalkan Amar, langkahnya itu bergegas. Mengambil jalanan tadi demi memutari pelataran dengan langkah-langkah besar setengah berlari.
Ada marah, ada kesal, terkejut, namun tidak sepenuhnya, lebih pada rasa kecewa. Terutama pada dirinya sendiri dan---takdir mungkin? Apa kali ini adalah kali pertamanya Sekar menyalahkan takdir. Oh tidak! Ia mulai terbawa arus dan tak bisa mengendalikan diri sehingga tenggelam dalam pesona den bagus Amar Kertawidjaja. Lagi-lagi ia tak bisa menjaga amanah mak.
Sekar mengumpati diri sendiri, sekalinya pertama kali jatuh cinta ia justru jatuh cinta pada seseorang yang tak ada di dunianya, pada seseorang yang akan sulit ia raih.
Sekar baru mengalami ini, tapi ia tak bodoh untuk mengenali gejala dan ciri-cirinya. Dirinya, tubuhnya, tentu ia yang paling tau. Rasa seperti demam, seperti ada kepakan sayap kupu-kupu dan rasa hangat menjalari wajah yang mendadak memerah, ia sedang jatuh cinta pada Raden bagus.
Setaunya jatuh cinta itu indah, menurut beberapa karya sastra yang pernah ia baca, tapi baginya hal itu justru terasa sesak, apa karena se-tidak layaknya kah ia untuk jatuh cinta?
Tanpa sadar, Sekar sudah menghapus lelehan air matanya di ekor mata sembari terus menekuri jalan menuju pendopo tamu, sebab hari sudah benar-benar siap menggelap, dan ia belum bersih-bersih.
*Amar*
Ia mendengus sumbang, apakah barusan artinya ia ditolak? Yang benar saja! Amar duduk sejenak demi mengatur ritme degupan jantungnya yang kian sesak. Lantas pandangannya melirik bunga cempaka yang masih ada di tangannya.
Lalu berdiri sejenak dan berlalu menuju kaputren dengan membawa kelopak bunga itu.
Sekar sudah mandi, namun ia tak memilih kemanapun lagi setelah itu, hanya duduk di dalam kamar saja.
Teh Sari cekikikan menghampiri, "Kar, kamu tau ngga...tadi aku papasan sama den Somantri, dia kasih aku ini..." Sari menunjukan beberapa batang coklat dengan gambar bungkus ayam jago dan beberapa coklat payung.
Hatinya teriris, namun Sekar tertawa kecil, meskipun kemudian matanya berkaca-kaca.
"Kenapa Kar, kamu mau? Ini---ini, tapi jangan nangis ya..." Sari memberikan satu coklat payung dan sebatang coklat jago.
Sekar menggeleng mengusap lelehan air mata yang tiba-tiba muncul ini, tubuhnya mulai berkhianat. Padahal otaknya meminta semua syarafff mata untuk tegar dan kuat, kenapa? Belum mekar tapi harus sudah layu.
"Keluar yuk, cari angin..." ajak Sari namun Sekar menggeleng, "saya mau istirahat aja di kamar, teh cape. Takut besok badan malah pegel-pegel masuk angin."
Sari mengangguk, "iya sih, bener juga."
"Teh, makasih ya!" Sekar mengangkat coklat payung dan jago di tangannya dan hanya menggenggamnya saja, akan ia simpan saja bersama walkman dan memberikan itu pada Jayadi dan Laksmi, serta Widuri, oh! Atau, sepulang dari sini, untuk oleh-oleh ke rumah ia akan membeli coklat payung untuk adik-adiknya.
Sari sudah keluar, tapi Sekar masih berada di dalam kamar, ia menarik kedua kakinya dan menekuk lututnya di atas kasur, mencoba meraih walkman pemberian Amar dan mendengarkan lagu dari kaset yang terputar. Iseng-iseng ia membuka tutup pemutar kaset saat merasa jika lagu yang diputar bukanlah album seorang penyanyi, melainkan kompilasi. Mulai dari sakura, lalu koesplus, dan lagu-lagu lainnya secara beruntut.
Lalu ia temukan kaset yang terpasang disana ditempeli kertas, lagu-lagu favorit Amar. Hatinya kembali teriris.
Sekar menjatuhkan badannya di kasur, menatap langit-langit kamar bersama lelehan air mata yang kembali mengalir di ekor mata. Cukup lama ia begitu sampai akhirnya bunyi kresek mengganggu moment merananya saat ini. Dan suara orang berdehem ada di akhir putaran pita kaset.
Udah nyala kan, Dib? Oke...
Sekar, saya sengaja masuk ruang studio fakultas penyiaran. Hanya untuk merekam suara saya..jika kamu mendengar ini, itu artinya kamu sudah ada di penghujung rekaman, dan kamu sudah mendengarkan lagu-lagu kompilasi yang saya tambahkan.
Kamu tau, itu semua rentetan lagu yang bisa menggambarkan perasaan saya untuk kamu. Saya cuma mau kasih pengakuan itu saja sih. Oh ya! Jika kamu mendengar kabar berita seorang putra sultan yang menentang aturan aristokrat mati-matian, itu adalah saya...saya tidak pernah punya niatan memiliki istri banyak atau hidup bak di dalam sangkar emas. Jujur saja itu memusingkan dan memuakan.
Tidak ada manusia yang bisa adil, Sekar...apalagi saya. Untuk apa saya menikah tapi hanya untuk menyakiti orang yang sudah mati-matian saya kejar. Saya....
Ada helaan nafas yang diambil Amar disana, dan air mata Sekar kini semurah itu, sudah benar-benar diobral.
Saya mengajak kamu untuk menjadi satu-satunya. Saya serius, apakah kita bisa menjadi partner yang cocok untuk mendiskusikan masalah keluarga? Bukan hanya tentang orangtua, adik atau kaka, tapi untuk aku...kamu, kita dan anak-anak kita nanti.
Tangannya bergetar meraih headset yang menyumpal telinganya, bersamaan dengan suara di walkman yang terhenti.
Pintu kamar tiba-tiba diketuk membuat Sekar segera menyeka air matanya dan setengah beranjak.
"Punten,"
"Iya?" Sekar memaksa tubuhnya untuk bangkit dan membuka pintu, seorang biyung datang sembari membawa minyak, air hangat dalam baskom totol-totol hijau dan handuk kecil.
"Maaf, ini neng Sekar?" tanya nya diangguki Sekar, "iya."
Biyung itu tersenyum lalu masuk, gerakan majunya membuat Sekar refleks menggeser posisi memberikan celah untuk biyung itu masuk.
"Kenapa ya?" tanya nya terheran-heran.
"Neng, bisa tolong duduk disini?" pintanya sudah duduk melipat lutut di depan kasur Sekar.
"Untuk apa biyung?" tanya Sekar namun tak urung menurut dan duduk.
Gerakan selanjutnya adalah sikap yang tidak terduga, biyung meraih kakinya, mengompres kaki Sekar dengan air hangat, Sekar sempat menolak namun, "den Amar minta saya buat obatin luka lecet di kaki neng Sekar, biar besok bisa ngibing."
Sekar diam mematung, menatap biyung itu dengan getir, sementara kini luka lecet di kaki Sekar sudah diolesi salep, lalu membubuhkan minyak zaitun, memijit betis hingga engkel Sekar.
"Biyung..." suaranya hampir tenggelam, wanita bercepol satu itu mendongak menatap Sekar, "saya sering mijit juga neng, jadi tenang saja."
Sekar menggeleng, "bukan maksud saya, ini semua yang nyuruh----"
"Iya neng. Den Amar..."
Sekar mere mas seprei di kasurnya, bukan karena pijatan biyung itu sakit. Melainkan ia yang sudah merasakan denyut sakit di hatinya saat ini.
Amar benar-benar menggempur pertahanannya, Amar benar-benar gencar mengejarnya.
Sepagi ini, Sekar dan yang lain sudah bersiap dan mengantre untuk mendapatkan riasan. Mereka tersebar, ada yang berada di pendopo tamu, ada pula yang di kamar. Amih Mahiswar sampai dua kali sudah mengecek ke pendopo tamu demi melihat kesiapan para pengisi acara.
Sekar sudah ditarik nyai Mirah untuk dirias. "Sini, mumpung yang lain masih siap-siap. Kamu dulu nanti habis ini ganti baju, dihias kepalanya.
/
Sekar menatap pantulan diri di cermin, seperti biasa...selalu manglingin ketika ia sudah dalam balutan baju ronggeng sepaket wajah cantiknya.
"Amih, aku belum dipasangin kembang goyang sama ronce..." Ujar Sekar.
"Sama nyai, Kar...ambil dulu bagian punya kamu!" jawab amih Mayang agak sedikit sibuk merias diri dan orang lain.
"Nyai ..tolongin..." pinta Sekar. Mengambil beberapa ronce melati dan kembang goyang dari kotak perintilan.
"Sebentar, Kar...ini tanggung!" jawab Nyai Mirah yang tengah merias Ros.
Namun sejurus kemudian, Sekar terkesiap ketika badannya dibalikan dan ditarik oleh seseorang, "biar saya yang bantu."
Sekar membeliak kaget, "ya ampun nyai ayu..."
Mahiswar tersenyum, "kalau sudah jadi ronggeng profesional, nanti harus bisa pasang sendiri, ya Sekar..." tutur katanya lembut dan santun, menenangkan dan hangat. Wanita secantik ini hanya berakhir di status selir, *sangat disayangkan*.
"Maaf nyai ayu ..biar nanti dipasang---"
Mahiswar sudah membawa Sekar sedikit menjauh dan memintanya menunduk duduk, "Biar saya bantu, kamu perhatikan ya..."
Sekar mengangguk. Tusukan konde kembang goyang mulai menyelinap diantara sanggul kecil dan kepala, tak lupa penjepit demi menahan itu, Sekar sedikit dilanda gugup.
"Nah, cantik." selir sultan itu kini meraih dan merapikan sejenak ronce melati yang siap dipasang di kepala Sekar, "nambah cantik pakai ini. tapi aslinya tanpa riasan pun kamu cantik sekali, Sekar..." ujarnya lagi memasang itu di tepian membuat Sekar merasa salah tingkah dipuji-puji begitu oleh orang cantik.
"Amih dicari ayahanda," Bukan Andayani yang biasa ngintilin, melainkan-----Amar Kertawidjaja yang sudah siap dengan pakaian kebesaran dan sedang memasang arloji di tangannya.
Tatapan keduanya bertemu.
"Oh iya, bisa bantu amih sebentar...kamu bisa tolong ambil jepitan hitam disitu?" pinta amih, semakin membuat jarak Amar mendekat.
"Kenapa tidak menyuruh tim yang merias?" tanya Amar memandang Sekar, seraya meraih jepitan tipis hitam yang tergeletak di tembok pembatas yang tadi amih bawa.
"Pada sibuk semua, si neng satu ini heboh sendiri ngga bisa, ngga ada yang bantu..." tawa kecil amih Mahiswar membuat Sekar menunduk.
Amar tersenyum, memberikan jepit, bukannya pergi ia justru masih berdiri disana memperhatikan membuat Sekar salah tingkah dibuatnya.
"Cantik pisan." puji amih Mahiswar, "pantes saja anak-anak amih kepincut."
Sekar mendongak membeliak menatap Mahiswar. *Apa tuh maksudnya*?
Amar menyunggingkan senyumnya.
"Sudah selesai." Tepuk Mahiswar yang kemudian berbalik dan melengos, bersamaan dengan Sekar yang sudah balik kanan. Namun tangannya tiba-tiba ditarik untuk berbalik.
Kali ini, badannya sampai terhuyung dan hampir menabrak badan Amar.
"Den." Lirih Sekar.
Amar tersenyum begitu tampan, "biar ngga lemes pas tampil, biar ada tenaga tambahan. Kemaren udah dapet jampe dari Abah Lilih kan? Sekarang jampean restu bumi, dari anak sultan..." ujar Amar.
Ia meraih kepala Sekar, mendekatkan bibirnya ke kening Sekar, "*jagjag waringkas tur endah salaras*..." ada tiupan angin segar dari mulutnya tepat di kening Sekar, yang menatap lurus ke arah dada Amar untuk kemudian ia mendongak kecil melihat Amar.
"Jampean apa itu?"
"Pelet." kekehnya berhasil membuat Sekar menggeplak dada Amar.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏