Semua ini tentang Lucyana Putri Chandra yang pernah disakiti, dihancurkan, dan ditinggalkan.
Tapi muncul seseorang dengan segala spontanitas dan ketulusannya.
Apakah Lucyana berani jatuh cinta lagi?
Kali ini pada seorang Sadewa Nugraha Abimanyu yang jauh lebih muda darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerai Aja
Ruang meeting sore itu terasa sedikit redup, ditemani suara AC yang konstan. Karyawan-karyawan duduk melingkar, sebagian sudah tampak lelah setelah seharian bekerja. Di antara mereka, Detri menopang dagu sambil menggoyang-goyang pulpen, sedangkan Lucy memperhatikan slide di layar sambil merapikan anak rambut yang jatuh ke wajahnya.
Jeffry berdiri di depan, kedua tangannya bertumpu di meja.
“Secara garis besar kurang lebih seperti itu ya, teman-teman. Ada tambahan?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan.
Beberapa karyawan hanya saling pandang; ada yang berdeham kecil, ada yang menggeleng pelan. Jeffry mengangguk sekali. “Baiklah, saya rasa cukupkan untuk meeting kali ini. Saya tunggu feedback-nya segera, ya.”
Begitu ia menutup laptopnya, kursi-kursi berderak. Satu per satu karyawan berkemas dan keluar ruangan, menyisakan Detri dan Lucy yang masih merapikan berkas-berkas di meja. Detri menutup map lalu memasukkannya ke tote bag. Ia melirik Lucy yang masih beres-beres.
Dengan nada ringan, ia berkata sambil sedikit mengangkat alis,
“Pulangnya ke Uniqlo PVJ yuk. Ada dress baru, gue pengen liat.”
Lucy berhenti sejenak, memandangi berkas di tangannya. Mungkin jalan sebentar bisa mengalihkan pikirannya dari Dewa.
“Yaudah… ayok deh.”
“Oke, tunggu di depan ya. Gue ke atas dulu,” kata Detri sambil melambaikan tangan kecil sebelum berlalu.
Lucy mengangguk, lalu keluar ruangan. Langkahnya melewati Jeffry yang sedang berbincang dengan dua karyawan lain.
“Lucy, tunggu,” panggil Jeffry.
Ia menghentikan langkah dan menoleh. Jeffry menyusul, lalu berjalan sejajar dengannya.
“Nanti hasil diskusi tim kamu laporkan ke saya, ya,” ucapnya.
“Baik, Pak. Setelah selesai nanti saya langsung lapor.”
Beberapa detik hening. Jeffry menggaruk tengkuknya, tampak ragu sejenak.
“Oh iya, saya baru ingat. Kemarin kamu ke rumah sakit?”
Lucy tertegun, matanya berkedip cepat. Wajahnya yang semula datar berubah sedikit tegang.
“I-iya, Pak… betul,” jawabnya, agak gelagapan.
Jeffry mengangguk sambil mengerutkan alis tipis, seperti ada detail yang baru teringat.
“Berarti saya nggak salah lihat. Tapi saya juga sempat ngelihat mahasiswa Unpas yang pernah ikut event itu bareng kamu. Kalian Kenal?” tanyanya dengan nada hati-hati, namun jelas penuh rasa ingin tahu.
Lucy menelan ludah, napasnya sedikit Tercekat seolah pasukan oksigen disekitar itu menipis. Dengan terbata ia menjawab
“D-dia sepupu saya pak”
Alis pria itu menukik mencerna jawaban Lucy, namun akhirnya ia mengangguk percaya.
“Ohh… gitu.”
Lucy hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Kali ini sedikit lebih cepat namun sial nya ujung sepatunya tersangkut kakinya sendiri.
“Eh—!” tubuhnya terhuyung ke depan.
Dengan cepat Jeffry menangkapnya, satu tangan mencengkeram lengan Lucy, tangan lain otomatis menahan di pinggangnya—membentuk posisi seolah memeluk.
Tepat saat itu suara berat terdengar menggema dari sisi kanan. Suara itu membuat keduanya refleks menoleh. Mata Lucy membelalak. Dewa berdiri beberapa langkah dari mereka, rahangnya mengeras, tatapannya menusuk.
Lucy buru-buru melepaskan diri dari pegangan Jeffry. Namun Dewa lebih cepat. Ia langsung meraih lengan Lucy, genggamannya kuat—seolah takut istrinya akan menghilang.
“Ikut gue!” desisnya, tanpa ingin dibantah
Pria itu spontan menahan lengannya.
“Hei, nggak perlu kasar, bisa?”
Dewa menghempaskan tangan Jeffry tanpa ragu. Ia maju selangkah, telunjuknya terarah tepat ke wajah pria itu.
“Bukan urusan lo!”
Jeffry terpaku, tak sempat menahan lagi ketika pria itu menarik Lucy menjauh. Lucy hanya bisa menoleh sekilas ke belakang, melihat Jeffry berdiri kaku sementara langkah Dewa menghentak lantai lorong.
Pria yang berstatus suami Lucy itu terus menarik lengan istrinya menjauh dari lobi, langkahnya cepat dan tergesa menuju area basement. Genggamannya terlalu kuat; Lucy meringis, berusaha mengimbangi langkahnya.
“L–lepas, Sadewa… sakit!” desis Lucy, napasnya tersengal oleh tarikan itu.
Dewa tak menjawab. Rahangnya mengeras, matanya gelap oleh emosi yang ia tahan. Aura marahnya terasa jelas. Begitu mereka tiba di depan mobil, Lucy menghentikan langkahnya. Dengan sekali sentakan, ia menghempaskan tangan suaminya dari lengannya, napasnya memburu karena campuran sakit dan kesal.
Dewa menunjuk pintu mobil. “Masuk!” katanya pendek, suaranya berat dan tegas.
Lucy menatap suaminya dengan sorot mata yang tidak kalah tajam.
“Nggak! Gue bawa mobil sendiri,” jawabnya, berbalik hendak pergi.
Namun baru satu langkah, Dewa sudah menahan pergelangan tangannya. Ia mendorong istrinya hingga punggungnya menempel pada pintu mobil—membuat tubuhnya terhimpit antara pintu mobil dan tubuh kekar sang suami. Jarak wajah mereka sangat dekat—hampir tidak ada celah.
“Bisa nurut sekali aja nggak?" ucap Dewa pelan tapi penuh tekanan, napasnya hangat di wajah Lucy.
Lucy memalingkan wajah, bibirnya terkatup rapat. Ia memilih diam, menggulung emosinya sendiri. Dewa membuka pintu mobil dengan kasar, lalu wanita itu masuk tanpa berkata apa-apa. Dewa menutup pintu dengan satu hentakan sebelum masuk ke sisi pengemudi. Mobil pun melaju keluar basement.
Tidak ada percakapan. Hanya bunyi mesin yang mengisi ruang di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk mereka tiba di rumah. Begitu mobil berhenti, wanita itu langsung membuka pintu dan keluar dengan cepat.
BLAM!
Pintu mobil dibanting keras, suaranya memantul di pekarangan yang sepi.
Dewa turun tak jauh di belakangnya.
Lucy berjalan cepat melewati ruang tamu, wajahnya datar tapi langkahnya meninggi oleh emosi. Ia meraih kenop pintu kamar, baru membuka setengah, namun pintu itu tiba-tiba tertahan—Dewa menutupnya kembali dari belakang.
“Ada hubungan apa lo sama atasan lo itu?”
Tatapannya menusuk. “Uang dari gue kurang? Sampe lo godain atasan lo?!”
Lucy membelalak, tubuhnya refleks mundur setengah langkah. Matanya langsung berembun.
“Maksud lo apa ngomong begitu…?”
Pria itu maju satu langkah, wajahnya menegang. “Kalau lo bukan cewek murahan apa? Pantes lo gak mau pakai cincin nikah biar bisa bebas pelukan di tempat umum?!”
Napas Lucy tersengal pendek. Ia menggenggam pinggir pintu, mencoba menahan diri.
“Gue… bukan cewek murahan,” ucapnya rendah, sedikit menekan, suaranya bergetar oleh marah dan sakit sekaligus.
Lucy mengepalkan tangan.
“Lo kalau nggak tau apa-apa, mending diem!” bentaknya, akhirnya meledak. Ia memutar badan, hendak masuk kamar, namun pergelangan tangannya ditarik keras oleh Dewa.
“Gue belum selesai ngomong!”
Tarikannya membuat tubuh wanita itu tersentak. Rasa nyeri menusuk membuatnya meringis kecil, bahunya terangkat menahan sakit. Ia menoleh perlahan, matanya berkaca-kaca, suaranya parau.
“Udah.” Lucy menarik tangannya pelan tapi tegas dari genggaman suaminya. “Gak ada lagi yang perlu diomongin.”
Ia menelan ludah, mencoba menstabilkan napas yang bergetar.
“Lebih baik lo urus aja cewek lo itu…”
Dewa mengerutkan kening. “Apa—”
“…dan cerain gue.”
Kali ini ucapan Lucy jatuh seperti palu.
Ia menatap pria itu lurus-lurus, air mata akhirnya jatuh, satu tetes, tapi nadanya tetap tegas.
“Gue mau kita cerai.”
Hening menguasai ruangan. Dewa terpaku, sementara Lucy berdiri dengan bahu naik turun, memegang lengannya sendiri—seakan berusaha menahan diri agar tak runtuh di tempat.
...----------------...
Waduh nasib pasutri kita diujung tanduk gini 😭
Apa Dewa akan meng-iyakan permintaan Lucy?
Staytune terus disini ya untuk setiap kelanjutan ceritanya 😍
Jangan lupa untuk selalu tinggalkan jejak berupa vote like dan komentar nya yaa 🤗
Sehat dan bahagia selalu readers💓
Terimakasih! 💕
apapun kondisi anaknya,hati seorang ibu tetaplah tulus pada anaknya....