Nadira Elvarani yakin hidup pahitnya akan berakhir setelah menerima lamaran Galendra, lelaki mapan yang memberinya harapan baru.
Tapi segalanya berubah ketika ia terlibat skandal dengan Rakha Mahendra—anak bos yang diam-diam menginginkannya—menghancurkan semua rencana indah itu.
Di antara cinta, obsesi, dan rahasia, Nadira harus memilih: hati atau masa depan yang sudah dirancang rapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon itsclairbae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 — Rahasia yang Dibagikan, Hangat yang Dijaga
Nadira terbangun dan mendapati tempat di sampingnya kosong. Lelaki yang seharusnya memeluknya ternyata tidak ada. Perlahan, ia bangkit dan duduk di atas ranjang. Matanya menyapu setiap sudut kamar, berharap Rakha masih ada di sana.
“Jam berapa sekarang?” gumamnya sambil melirik jam di meja nakas. Baru pukul setengah tiga sore. Mungkin suaminya kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Tanpa banyak pikir, ia beranjak keluar kamar untuk mengambil air minum di dapur. Saat sedang meneguk air, suara orang berbicara dari arah ruang tamu membuatnya spontan melangkah ke sana.
"Rakha?" gumamnya saat mendengar suara suaminya. Ia menajamkan telinga dan terus berjalan mendekat. Lalu terdengar suara lain—suara seorang perempuan.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak. Semoga Ibu Nadira cepat sembuh," ucap suara itu.
Nadira langsung mengenali suara itu—Sekar, sekretaris pribadi suaminya. Tapi kenapa Sekar ada di sini? Kenapa dia menemui Rakha di apartemen ini? Sekar tahu ini apartemen Nadira. Dan kedatangannya bisa saja membuatnya tahu hubungan mereka—tentang pernikahan itu.
Nadira bersembunyi di balik tembok, diam-diam mengamati Rakha dan Sekar. Saat Sekar berpamitan, Rakha hanya mengangguk singkat. Tidak lama kemudian, Sekar melangkah pergi, meninggalkan apartemen.
Ketika Nadira masih bertanya-tanya alasan Rakha menyuruh Sekar datang ke apartemennya, suaminya itu lebih dulu menyadari keberadaannya dan langsung berjalan menghampirinya.
“Sayang, kamu sudah bangun?” tanya Rakha santai sambil mendekat.
Padahal Nadira sedang panik. Suaminya menyuruh seseorang yang bisa saja membongkar rahasia pernikahan mereka datang ke apartemen, tapi Rakha masih bisa bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Nadira menatapnya tajam. Wajahnya jelas menunjukkan ketidakmengertian atas apa yang suaminya lakukan.
“Kenapa kamu menyuruh Sekar ke sini? Bagaimana kalau dia tahu soal pernikahan kita dan membongkarnya?” tanyanya, menyuarakan keresahannya karena kedatangan Sekar.
Rakha mengusap lengan Nadira, berusaha menenangkan istrinya. Ia paham keresahan itu, tapi juga tahu apa yang dilakukannya tidak sembarangan.
“Sekar sudah tahu tentang kita, Sayang. Tapi tenang, aku sudah memintanya untuk merahasiakannya,” ucap Rakha lembut.
Dahi Nadira berkerut. Mereka sudah sepakat menyembunyikan pernikahan ini dari siapa pun, termasuk Sekar. Kenapa sekarang berubah?
“Aku butuh dia sebagai perantara saat kamu membutuhkan aku, sementara aku sedang rapat atau tidak bisa dihubungi,” jelas Rakha, tahu persis apa yang dibutuhkan istrinya.
Dengan kondisi Nadira yang sedang hamil—dan tadi sempat muntah-muntah—Rakha harus memastikan ada orang yang bisa menjembatani komunikasi di saat ia tidak bisa merespons langsung.
“Kamu yakin Sekar bisa jaga rahasia?” tanya Nadira. Ia menerima keputusan itu, tapi belum sepenuhnya yakin Sekar bisa dipercaya.
"Aku yakin. Dia orang kepercayaanku. Sama seperti kamu, yang jadi kepercayaan Papah," ucap Rakha, berharap kata-katanya cukup untuk menenangkan Nadira.
Sekar bukan tipe karyawan yang suka bergosip. Ia tahu bagaimana menjaga rahasia, dan Rakha sangat mempercayainya.
"Baiklah, kalau kamu sudah bilang begitu," ucap Nadira, memilih untuk tidak memperpanjangnya. Ia tahu suaminya tidak pernah mengambil keputusan gegabah, apalagi soal mereka.
"Tapi tadi... Sedang apa Sekar di sini? Ada urusan kantor?" Nadanya sudah tidak lagi gelisah, hanya penasaran sebagai seorang istri yang ingin tahu kegiatan suaminya.
"Aku minta Sekar membelikan ini," jawab Rakha sambil menunjukkan kantong plastik berisi obat, vitamin, dan susu ibu hamil.
"Kamu tadi mual-mual. Jadi aku langsung minta dia membelikan semuanya, supaya kamu tidak perlu repot," jelasnya.
Nadira tersenyum. Tidak menyangka suaminya begitu perhatian, sampai rela menyuruh orang membelikannya segala macam kebutuhan hanya karena ia sempat merasa tidak enak badan.
"Padahal aku udah baik-baik aja sekarang," gumamnya pelan, lalu menggandeng tangan Rakha dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Terima kasih, ya," lanjutnya tulus.
Ia merasa sangat bersyukur. Ayahnya boleh saja tukang selingkuh, bahkan tidak segan melakukan kekerasan fisik dan verbal. Tapi suaminya? Rakha begitu berbeda—penyayang, penuh perhatian, bahkan saat sifat cemburunya kadang membuat Nadira geleng-geleng kepala.
"Sama-sama, Sayang," balas Rakha, lalu mengecup kening Nadira dengan lembut.
Nadira merasa seperti mendapatkan hadiah dari Tuhan—suami seperti Rakha yang penuh perhatian dan kasih sayang. Ia berharap kebahagiaan mereka akan terus berlanjut, hingga anak yang tengah ia kandung lahir ke dunia.
***
Malam ini, hujan mengguyur kota tempat Nadira dan Rakha tinggal. Hawa dingin menelusup masuk ke kamar mereka, apalagi dengan AC yang masih menyala. Biasanya, AC di kamar Nadira jarang digunakan—apalagi saat hujan seperti ini. Tapi malam ini berbeda, karena Rakha terbiasa tidur dalam suhu dingin.
Tubuh Nadira yang tak begitu tahan dingin hanya bisa berlindung di balik selimut, sambil memeluk tubuh suaminya, mencari kehangatan.
"Sayang..." panggil Nadira pelan, lalu mendongak menatap Rakha yang tengah berbaring sambil memeluknya.
Rakha tidak pernah tahu bahwa istrinya tidak kuat dingin. Ia mengira Nadira terbiasa, mengingat wanita itu pernah bekerja di Mahendra Grup—gedung besar yang selalu bersuhu rendah karena AC. Ia juga tidak menyadari bahwa pelukan di ranjang malam ini terasa lebih erat dari biasanya.
"Kenapa, hm?" Rakha menunduk sedikit, matanya bertemu dengan mata Nadira.
"Bisa lepas baju kamu?" tanya Nadira pelan, tapi tangannya sudah bersiap membuka kancing piyama suaminya.
Rakha tersenyum. Tidak ada godaan, tidak ada pertanyaan. Ia hanya mengangguk kecil.
"Iya, boleh."
Tanpa menunggu lagi, Nadira melepas satu per satu kancing piyama Rakha. Lalu ia kembali menyandarkan diri dalam pelukan suaminya—kali ini dengan tubuh yang lebih hangat menyelimuti.
Awalnya, Nadira merasa tubuhnya mulai hangat setelah melepaskan piyama atas Rakha. Tapi rasa itu tidak bertahan lama. Hawa dingin masih menyelinap masuk ke pori-porinya, membuat tubuhnya kembali menggigil halus. Tanpa banyak pikir, ia pun melepaskan piyama atasnya sendiri dan segera kembali memeluk suaminya erat-erat.
Rakha mulai merasa heran. Ada yang berbeda malam ini. Nadira bukan hanya lebih diam, tapi juga lebih bergantung padanya. Ia merasakan tubuh istrinya yang lebih dekat dari biasanya, kulit mereka bersentuhan tanpa lapisan kain.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Rakha akhirnya. Meski bingung, ia tetap memeluk Nadira erat, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling bertukar.
"Dingin..." jawab Nadira lirih, pelukannya semakin mengerat.
Rakha terdiam sejenak, lalu menghela napas pendek—penuh penyesalan. Ia merasa bersalah, tidak cukup peka terhadap keadaan istrinya. Apalagi Nadira sedang hamil, dan seharusnya ia lebih memperhatikan.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" ucapnya lembut. "Kalau gitu, aku matikan AC-nya sekarang."
Ia meraih remote yang terletak di meja kecil di samping tempat tidur. Untungnya letaknya tidak terlalu jauh, sehingga Rakha bisa mematikannya tanpa harus melepaskan pelukannya terlalu lama.
Begitu suara dengung AC berhenti, Rakha menarik tubuh Nadira lebih dekat lagi. Ia membungkus tubuh istrinya dengan selimut, lalu memeluknya erat, seolah ingin memindahkan seluruh kehangatan tubuhnya ke tubuh perempuan yang ia cintai.
"Maaf, ya... aku kurang peka," bisiknya lembut.
Nadira hanya tersenyum. Bukan Rakha yang kurang peka, melainkan dirinya yang sengaja tidak menunjukkan bahwa ia kedinginan, demi menyesuaikan diri dengan suhu dingin yang disukai suaminya. Namun, ternyata tubuhnya tidak cukup kuat untuk menahannya.