Elina adalah seorang pengacara muda handal. Di usianya yang terbilang masih muda, dia sudah berhasil menyelesaikan banyak kasus penting di karirnya yang baru seumur jagung.
Demi dedikasinya sebagai seorang pengacara yang membela kebenaran, tak jarang wanita itu menghadapi bahaya ketika menyingkap sebuah kasus.
Namun kehidupan percintaannya tidak berbanding lurus dengan karirnya. Wanita itu cukup sulit melabuhkan hati pada dua pria yang mendekatinya. Seorang Jaksa muda dan juga mentor sekaligus atasannya di kantor.
Siapakah yang menjadi pilihan hati Elina?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyelidikan Lebih Lanjut
“Dia Jaksa pindahan di sini. Namanya Jihan.”
Sontak Zahran mengangkat kepalanya. Apa yang dikatakan Elina menjadi kabar bahagia untuknya. Itu berarti Jihan masih mengingat semua tentang dirinya. Pria itu yakin sekali kalau Jihan masih mencintainya. Zahran semakin yakin untuk kembali pada Jihan.
“El.. malam ini apa kita bisa bertemu? Soal yang mau kukatakan padamu, aku akan mengatakannya malam ini.”
“Ehm.. nanti aku kabarin lagi ya, Bang.”
“Oke. Soal yang kubilang padamu, aku harus segera mengatakannya padamu.”
“Oke. Aku pergi dulu.”
Elina segera keluar dari ruangan Zahran. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada kasus baru yang tengah dikerjakannya. Sebelum Gerald pulang, dia harus sudah mengumpulkan banyak informasi yang bisa digunakannya untuk memenangkan persidangan ulang Barata. Wanita itu segera mengemudikan kendaraannya menuju kantor.
Sepeninggal Elina, Zahran keluar dari ruangannya. Pria itu segera menuju ruangan Jihan. Selesai mengetuk, Zahran langsung membuka pintu, mengejutkan Jihan yang ada di dalam ruangan. Tanpa mengatakan apapun, Zahran langsung menarik Jihan keluar. Tidak mungkin kalau dia mengajak bicara di dalam ruangan, karena bukan hanya Jihan yang ada di sana. Pria itu membawa Jihan ke sudut yang sepi.
“Lepas!” Jihan menarik lengannya yang dipegang Zahran.
“Apa mau mu?” tanya Jihan.
“Jawab aku dengan jujur, kamu masih mencintaiku kan?”
“Sudah kubilang, aku sudah melupakan mu. Apa waktu tiga tahun tidak cukup membuatmu yakin kalau aku sudah melupakan mu?”
“Tidak. Karena aku masih mencintaimu dan aku tahu kamu masih punya perasaan yang sama dengan ku.”
“Kamu bilang mencintaiku, tapi kamu sudah melamar perempuan lain. Apa yang kamu ucapkan berbanding terbalik dengan sikap mu.”
Mulut Zahran langsung terbungkam. Pria itu seakan kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Jihan. Semua memang kesalahannya, di saat dirinya belum usai dengan masa lalunya, Zahran sudah berani mengejar wanita lain bahkan mengajaknya menikah.
“Soal Elina, aku bisa jelaskan.”
“Tidak perlu. Kamu dengan siapa saja, bukan urusan ku. Kalau kamu serius dengan Elina, tolong jangan ganggu aku lagi. Dia perempuan yang baik , tolong jangan sakiti hatinya.”
“Jihan, tolong dengar dulu.”
“Ini di kantor. Tidak seharusnya kita membicarakan masalah pribadi.”
“Oke. Kapan kita bisa bicara banyak? Aku ingin menyelesaikan masalah kita.”
“Kalau kita bicara, apa kamu akan berhenti mengganggu ku?”
“Asalkan kamu mau bicara jujur, aku tidak akan mengganggu mu.”
“Baiklah. Nanti aku kabari kapan kita bertemu.”
Setelah mengatakan itu, Jihan segera meninggalkan Zahran. Namun pertanyaan pria itu menghentikan langkahnya sebentar.
“Kamu masih menyimpan nomor ku?”
“Aku sengaja tidak pernah mengganti nomorku, supaya kamu bisa menghubungiku kapan saja,” lanjut Zahran.
Tidak ada jawaban dari Jihan, wanita itu melanjutkan langkahnya. Sementara Zahran masih bergeming di tempatnya. Memandangi punggung Jihan yang semakin menjauh.
***
Dalam waktu empat puluh menit, Elina sudah tiba di kantornya. Sebelum menuju ruangannya, lebih dulu dia mencari Andin. Tentu saja dia membutuhkan paralegal tersebut untuk membantunya. Fathir juga sedang dalam perjalanan menuju kantor Elina.
“Apa saja yang kamu dapatkan tentang Mada dan Lingga?” tanya Elina begitu sudah berada di kantornya.
“Lingga saat ini bekerja di perusahaan ayahnya. Dia menjabat sebagai direktur keuangan. Lingga sudah bertunangan dengan Selvi, anak rekan bisnis ayahnya. Putri bungsu pemilik Medical Farma. Aktivitasnya sejauh ini tidak ada yang mencurigakan. Sebentar lagi Dewangga akan menyerahkan tampuk kepemimpinannya. Tapi sepertinya akan ada perebutan kekuasaan, semua anak Dewangga laki-laki. Dan dari rumor yang beredar, dia berencana menyerahkan tahtanya pada Lingga. Dia dinilai lebih kompeten dibanding kedua kakaknya.”
“Aku yakin kalau kedua Kakaknya tidak akan menerima begitu saja keputusan ayahnya.”
“Sudah pasti. Sebenarnya hubungan ketiganya sudah seperti api dalam sekam.”
“Kalau kedua orang itu tahu Lingga terlibat kasus pembunuhan, apa mereka akan diam saja?”
“Sepertinya tidak,” jawab Andin seraya tersenyum.
Elina cukup senang mendengar keluarga Lingga yang tak akur. Itu artinya dia bisa menggunakan hal tersebut sebagai senjata. Cukup mendekati salah satunya, maka orang itu akan membongkar hal buruk yang disembunyikan Lingga.
Tak lama kemudian Fathir datang bergabung. Pria itu tidak datang dengan tangan kosong. Dia sudah menyiapkan kopi kesukaan Andin sebagai buah tangan. Tak lupa membeli beberapa camilan untuk mereka.
“Thank you,” ujar Andin seraya menerima kopi dari Fathir.
“Ucapan terima kasihnya ganti aja sama jawaban lamaran,” balas Fathir seraya mengedipkan matanya.
“Kamu masih perlu membuktikan diri.”
“Bukti apalagi yang kamu mau? Apa pun yang kamu minta, akan kuberikan.”
“Oh ya ampun, pusing kepalaku. Sepertinya ada masalah dengan telingaku,” celetuk Elina sambil mengorek telinganya.
“Ayolah, El. Kamu kan sudah menerima Zahran. Sekarang giliran ku mendapatkan belahan jiwa.”
Andin melempar pulpen pada Fathir. Wanita itu tahu kalau ucapan Fathir ditujukan padanya. Elina hanya tertawa saja melihat tingkah dua orang di dekatnya. Tiba-tiba saja di pikirannya berkelebat bayangan Gerald. Entah mengapa ketika Fathir menyebut kata belahan jiwa, yang terbayang di kepalanya justru sosok Gerald. Sejenak wanita itu nampak melamun.
“El, kamu lagi mikirin apa?” tegur Andin.
“Bang Ge.”
“Hah? Kamu kangen sama Pak Gerald?”
“Eh ngga. Maksudku apa kira-kira yang akan dilakukan Bang Ge untuk kasus ini,” elak Elina dengan wajah memerah.
“Yang pasti, Pak Ge akan terus mengejar pelaku sampai dia mengaku dan mempertanggung jawabkan perbuatannya,” jawab Andin.
“Seandainya kasus ini selesai dan mereka berdua terbukti bersalah, lalu bagaimana dengan Barata?” tanya Fathir.
“Sudah pasti dia akan dibebaskan.”
“Itu sudah pasti, tapi maksudku bagaimana dengan kehidupan selanjutnya? Dia sudah kehilangan waktu selama lima tahun, keluarganya juga sudah berantakan, pendidikannya berhenti begitu saja. Dia sudah kehilangan banyak hal.”
“Ya kamu benar. Kita juga harus memikirkan hal tersebut,” gumam Elina.
Dari kasus Barata, Elina mendapat pelajaran bahwa sebuah fitnah bisa menghancurkan segalanya. Kerugian yang dialami Barata, bukan hanya fisik tapi yang lebih utama, mentalnya terpukul. Banyak hal yang direnggut paksa darinya. Wajar saja kalau Barata membenci Roni, pria yang sudah membuatnya mendekam di penjara. Saat bertemu dengan Barata, dapat Elina lihat kemarahan di mata pria itu.
“Aku ingin lihat lagi video yang diberikan Pak Roni.”
Andin segera memutar video yang diberikan oleh Roni. Video tersebut berasal dari cctv yang terdapat di dalam café. Di rekaman nampak Barata sedang berbicara dengan seorang pria. Dari pakaian yang dikenakan diketahui kalau pria itu pegawai di café tersebut. Waktu yang tercatat di rekaman sama dengan waktu kematian Ursula.
“Video ini tidak pernah muncul sebelumnya di persidangan. Menurut polisi yang menyelidiki, mereka tidak mendapat video tersebut,” jelas Fathir.
“Laki-laki yang sedang berbicara dengan Barata, apa Abang sudah menemukannya?”
“Dia sedang berada di luar kota. Mungkin seminggu lagi kembali ke sini.”
Elina kembali melihat rekaman tersebut. Di dalam rekaman hanya terlihat Barata dan temannya saja. Namun kemudian muncul sesosok perempuan yang jaraknya tidak terlalu jauh namun wajahnya tidak tertangkap jelas di kamera karena kurangnya cahaya atau gelap. Di rekaman terlihat perempuan tersebut tengah memperhatikan Barata.
“Videonya apa bisa diperbesar? Di sini ada perempuan yang sedang memperhatikan Barata.”
“Ya kamu benar. Aku tidak memperhatikan itu sebelumnya. Kalau diperbesar, mungkin akan pecah. Aku akan minta Darren memperjelasnya. Atau kamu mau minta bantuan Adit?”
“Jangan, mending ke Bang Darren aja. Bang Adit lagi sibuk mengurus kasus lain.”
“Oke.”
Tanpa menunggu perintah dua kali, Fathir langsung mengirimkan video tersebut pada Darren. Meminta ahli IT itu untuk memperjelas rekaman video yang dimaksud.
“Sekarang bagaimana kalau kita menemui saksi yang lain?”
“Maksudmu Ruri dan Tirta?”
“Iya. Apa kita bisa menemui mereka sekarang?”
“Tentu saja.”
“Andin, terus gali soal Lingga dan Mada. Siapa tahu ada yang bisa kita gunakan untuk menekan mereka.”
“Oke.”
Elina segera bangun dari duduknya disusul oleh Fathir. Mereka akan menemui saksi yang dihadirkan di persidangan Barata. Sedangkan Andin kembali ke ruangannya. Dia akan menggali informasi lebih banyak tentang Lingga dan Mada.
***
Fathir memarkirkan mobil yang dikendarainya di pelataran parkir sebuah kantor telekomunikasi. Bersama dengan Elina, keduanya keluar dari mobil lalu masuk ke dalam gedung. Sebelumnya Fathir sudah menghubungi Tirta, meminta pria itu untuk bertemu. Ketika memasuki lobi kantor, Tirta sudah menunggu kedatangan mereka.
“Dengan Tirta?” tanya Fathir.
“Iya,” jawab pria berkacamata itu.
“Kenalkan saya Fathir, yang menghubungi anda. Dan ini Elina.”
“Saya pengacara Barata,” sambung Elina.
“Pengacara? Bukankah Barata sudah di penjara?”
“Iya. Aku akan mengajukan PK untuk kasusnya.
Keterkejutan nampak di wajah Tirta. Namun pria itu buru-buru menghilangkan keterkejutannya. Dia segara mengajak Elina dan Fathir menuju sofa yang ada di lobi.
“Jadi, apa yang bisa saya bantu?”
“Dulu anda pernah menjadi saksi di persidangan Barata?”
“Iya.”
“Bisa anda ulangi apa yang anda katakan waktu itu?”
“Saya melihat Bara dan Ursula di taman. Mereka sedang bertengkar, atau lebih tepatnya Bara yang tengah bersikap emosi pada Ursula.”
“Anda kenal dekat dengan Bara?”
“Ya, dia teman saya sejak di SMA.”
“Bagaimana dengan Ursula?”
“Saya tidak terlalu mengenalnya. Saya kenal dia sejak orang tua mereka menikah.”
“Apa yang anda lakukan waktu itu? Maksud saya, kenapa anda bisa ada di taman?”
“Saya kebetulan sedang berada di sana. Sedang nongkrong saja.”
“Barata sedang bertengkar dengan Ursula di Taman Maluku pada pukul sembilan malam. Pembunuhan terhadap Ursula pukul sepuluh malam. Itu artinya satu jam pembunuhan Barata bertengkar dengan adik tirinya.”
“Iya, benar.”
“Apa kamu tahu apa yang membuat mereka bertengkar?”
“Bara mencintai Ursula, maksudnya sebagai pria pada wanita. Dia meminta Ursula menjalin hubungan dengannya secara diam-diam dan Ursula menolaknya. Bara marah karena Ursula menolaknya, dan akhirnya mereka bertengkar.”
“Anda berada di mana sampai bisa mendengar dengan jelas pertengkaran Barata dan Ursula?”
“Ketika melihat mereka berada di taman, saya pun mendekat dan mencuri dengar pembicaraannya.”
“Rumah anda berada di daerah Soekarno Hatta, benar?”
“Benar.”
“Kenapa jauh sekali tempat anda nongkrong. Jarak dari Soekrano Hatta ke Taman Maluku lumayan jauh.”
“Eh.. ehm.. aku.. aku memang sering berjalan-jalan ke daerah kota buat refreshing,” jawab Tirta gugup.
“Kalau sekedar refreshing, bukankah di Soekarno Hatta juga ada taman yang cukup bagus? Lagi pula Taman Maluku bukan tempat yang banyak didatangi pengunjung saat malam hari karena penerangan di sana tidak terlalu terang. Benar begitu?” desak Elina. Dia curiga kalau Tirta sengaja membuntuti Ursula atau Barata.
“Ya suka-suka saya dong, mau nongkrong di mana saja,” sewot Tirta. Pria itu segera bangun dari duduknya.
“Saya harus kembali kerja. Apa yang saya tahu sudah saya katakan pada polisi waktu itu dan saya juga sudah mengatakannya saat di persidangan. Permisi.”
Dengan cepat Tirta meninggalkan lobi. Pria itu terlihat tidak nyaman setelah bertemu dengan Elina dan Fathir. Dengan langkah tergesa dia menuju lift untuk kembali ke ruangannya.
“Sikapnya nampak mencurigakan. Coba Abang cari tahu soal dia lebih banyak.”
“Oke.”
“Sekarang kita ketemu siapa?”
“Ruri. Dia teman dekatnya Ursula.”
Hanya anggukan kepala yang diberikan Elina. Keduanya segera kembali ke kendaraan roda empat yang berada di area parkir. Fathir menjalankan kendaraan menuju destinasi kedua, tempat kerja Ruri.
***
Dua puluh lima menit kemudian Elina dan Fathir sudah sampai di Salon Hegar, tempat Ruri bekerja. Agar tidak mengganggu pekerjaan Ruri, Elina melakukan perawatan rambut. Wanita itu minta dilayani oleh Ruri. Elina diminta mengikutinya untuk dikeramas rambutnya.
“Aku Elina, pengacara Barata,” ujar Elina ketika Ruri mulai mencuci rambutnya. Wanita itu cukup terkejut. Setelah lima tahun, baru sekarang ada yang datang menemuinya lagi.
“Apa terjadi sesuatu pada A Bara?” tanya Ruri sambil terus mencuci rambut Elina.
“Tidak. Saat ini aku akan mengajukan PK untuk kasusnya.”
“Benarkah?” nada suara Ruri terdengar senang.
“Ya. Aku sedang menyelidiki lagi kasus ini. Mencari bukti atau saksi yang bisa membuktikan kalau dia tidak bersalah.”
“Syukurlah.”
“Dulu kamu diminta menjadi saksi?”
“Iya.”
“Apa yang kamu katakan waktu itu?”
“Mereka hanya menanyakan apakah aku mengenal Ursula dan A Bara. Menanyakan hubungan mereka seperti apa karena aku teman dekat Ursula.”
“Bagaimana hubungan mereka?”
“Walau mereka bukan saudara kandung, tapi mereka saling menyayangi.”
“Apa kamu mengenal Tirta?”
“Aku tahu tapi tidak terlalu mengenalnya.”
“Tirta bilang kalau Barata mencintai Ursula.”
Hanya suara tawa saja yang terdengar dari mulut Ruri. Apa yang dikatakan Elina terdengar menggelikan di telinganya.
“Aku tahu bagaimana hubungan Ursula dan A Bara karena aku teman dekat Ursula. A Bara menyayangi Ursula seperti adiknya sendiri. Saat itu A Bara sudah punya pacar. Tapi sayang saat dia dipidanakan, pacarnya tiba-tiba menghilang.”
***
Curiga sama Tirta🤔
Besok aku libur🤗
dan aku yakin Zahran tak akan sanggup untuk memenuhinya .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍