NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:852
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 33

Felix tetap diam setelah ucapannya, tetapi Amina bisa merasakan napasnya yang sedikit lebih berat. Dalam gelap, tatapannya sulit ditebak. Langkah kaki musuh terdengar di kejauhan, bergema di antara lorong-lorong sempit yang dipenuhi bayangan.

Lorenzo menyandarkan punggungnya ke dinding bata yang lembap, menatap mereka dengan alis terangkat. “Baiklah, aku suka momen dramatis seperti ini, tapi mungkin kita bisa menundanya sampai kita tidak dalam bahaya?”

Felix mengembuskan napas pelan, kembali ke wajah tanpa ekspresinya. “Kita harus keluar sebelum patroli berikutnya.”

Amina mengangguk, mencoba mengabaikan debaran aneh di dadanya. Ia tidak bisa membiarkan pikirannya bercabang sekarang.

Mereka mengendap-endap melewati gang sempit, menghindari genangan air kotor yang memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Di kejauhan, suara kendaraan berat bergerak perlahan.

“Jaga langkahmu,” bisik Felix saat Amina hampir tersandung pecahan botol.

Amina mendengus. “Aku tahu caranya berjalan.”

Lorenzo terkikik pelan. “Tapi tetap saja, kau nyaris jatuh.”

Amina hanya menatap tajam sebelum kembali fokus pada jalan di depan. Setelah beberapa menit mengendap-endap, mereka akhirnya mencapai kendaraan yang diparkir jauh dari area berbahaya.

Lorenzo masuk ke kursi pengemudi, sementara Felix duduk di sampingnya. Amina masuk ke kursi belakang, menghela napas saat akhirnya mereka bisa merasa sedikit lebih aman.

Lorenzo menyalakan mesin dengan senyum lebar. “Baiklah, misi bodoh ini akhirnya selesai. Siap pulang, teman-teman?”

Felix hanya mengangguk, sementara Amina menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap kota yang berlalu dalam kecepatan sedang.

Apa maksud Felix tadi? Aku mengingatkannya pada seseorang?

Pikirannya masih bergelut dengan kata-kata itu, tetapi sebelum ia bisa menggali lebih dalam, suara Alexander menyambut mereka di markas.

Alexander berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya gelap. “Apa yang kalian lakukan?”

Lorenzo mengangkat kedua tangan, seolah menyerah. “Oh, kau tahu, hanya jalan-jalan sore yang sedikit berbahaya.”

Amina menghela napas. “Misi berjalan tidak sesuai rencana.”

Alexander menatapnya tajam, lalu beralih ke Felix, yang tetap diam. “Kau seharusnya tidak membiarkan ini terjadi.”

Felix bertemu pandangannya, matanya dingin. “Kami kembali hidup-hidup.”

Amina bisa merasakan ketegangan di antara keduanya. Ia melangkah maju, mencoba memecah suasana. “Alexander, ini bukan salah Felix atau Lorenzo. Situasi di lapangan berubah. Kita perlu lebih banyak informasi sebelum bergerak lagi.”

Alexander menghela napas panjang. Tangannya mengepal di sisinya. “Kau terlalu ceroboh, Amina. Kau bukan orang biasa. Kau target mereka.”

Amina membeku. “Apa maksudmu?”

Alexander ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Ada seseorang yang menginginkan kepalamu. Bukan hanya karena kau ikut campur dalam penyelidikan ini, tapi karena siapa kau sebenarnya.”

Amina merasakan gelombang ketidaknyamanan merayapi punggungnya. “Siapa aku sebenarnya?”

Alexander menatapnya, ekspresinya sulit dibaca. “Itulah yang sedang kucari tahu.”

Malam semakin larut, tetapi Amina tidak bisa tidur. Ia duduk di kamarnya, menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya.

Felix. Michael. Alexander. Lorenzo. Semuanya memiliki sesuatu yang mereka sembunyikan.

Dan sekarang, ternyata ada seseorang yang menginginkannya mati bukan hanya karena misinya, tapi karena identitasnya.

Sebelum ia bisa mencerna semuanya, ledakan mengguncang markas.

Amina tersentak dari kursinya, tubuhnya refleks bergerak menuju pintu. Dari luar, suara tembakan menggema.

Lorenzo sudah ada di lorong, menarik pistolnya. “Aku tahu ini akan terjadi cepat atau lambat.”

Felix muncul dari arah lain, wajahnya tetap tenang, tetapi matanya penuh kewaspadaan. “Kita harus keluar dari sini.”

Alexander datang dengan langkah cepat. “Semua orang, bersiap. Ini bukan serangan biasa.”

Amina mengangguk, mengambil senjatanya. Adrenalin mulai mengalir deras di tubuhnya.

Ledakan lain mengguncang markas, mengguncang lantai di bawah kaki Amina. Asap tebal memenuhi udara, bercampur dengan bau mesiu dan sesuatu yang lebih mengerikan—bau darah. Jeritan dan suara tembakan bersahutan, menciptakan simfoni chaos yang memekakkan telinga.

Amina berlari melewati lorong-lorong yang kini dipenuhi kepanikan, napasnya tersengal. Ia mengabaikan denyutan sakit di kakinya akibat pecahan kaca yang berhamburan. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok Alexander, Felix, atau Lorenzo.

Di tengah kepulan asap, siluet Alexander berdiri tegap di ruang utama, tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Tatapan tajamnya menelusuri ruangan seperti elang mencari mangsa. Felix dan Lorenzo berada tidak jauh darinya, mengatur pertahanan bersama Michael dan anak buah yang tersisa.

Lorenzo menembakkan beberapa peluru ke arah jendela yang sudah hancur, lalu berteriak, “Sial, siapa pun mereka, mereka tidak main-main! Aku hampir terkena bom tadi! Aku tampan, tapi bukan berarti aku kebal ledakan!”

Felix mengangkat alis sambil tetap fokus mengamati musuh dari balik meja terbalik. “Kau yakin kau tampan?”

“Bukan waktu yang tepat untuk membahas ego kalian!” bentak Amina, bergabung dengan mereka. “Kita harus keluar dari sini sebelum tempat ini jadi kuburan massal!”

Michael menendang mayat seorang penyerang yang sudah tak bernyawa. “Mereka datang dengan rencana. Ini bukan serangan spontan.”

Alexander mengangguk. “Mereka menginginkan sesuatu… atau seseorang.”

Amina merinding. Ia tahu persis siapa yang mereka incar.

Aku.

Saat dia bergerak ke sudut ruangan untuk menyusun strategi, sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah amplop lusuh tertempel di dinding yang setengah hancur. Tulisan di atasnya membuat dadanya sesak.

Amina.

Tangannya gemetar saat meraih amplop itu dan merobek segelnya dengan gerakan cepat. Sepotong kertas terlipat di dalamnya, dan begitu dia membukanya, jantungnya seakan berhenti berdetak.

Sebuah daftar nama.

Mata Amina bergerak cepat menelusuri daftar itu. Napasnya tercekat ketika menemukan namanya ada di sana. Tapi bukan hanya dia.

Felix. Lorenzo. Michael. Bahkan Alexander.

Ini bukan hanya serangan. Ini eksekusi yang sudah direncanakan.

Kengerian menjalar di dadanya seperti ular berbisa. Ia meremas kertas itu, merasakan adrenalin mengalir deras di tubuhnya.

"Siapa yang membuat daftar ini? Kenapa mereka mengincarku?"

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Amina langsung berbalik, tangannya otomatis meraba pistol di pinggangnya.

Theodore.

Sosok yang biasanya lebih suka berada di balik layar, kini berdiri di hadapannya. Mata cokelatnya yang tajam menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan.

“Tutup mulut dan ikut aku,” katanya pelan, tapi tegas.

Amina sempat ragu. “Kenapa aku harus percaya padamu?”

Theodore mendekat, matanya penuh kewaspadaan. “Karena kalau kau tidak ikut aku sekarang, kau mungkin tidak akan bertahan sampai lima menit ke depan.”

Amina mengepalkan tangan. Matanya melirik daftar yang masih ada di tangannya.

Jika aku tetap di sini, aku bisa saja menjadi target selanjutnya.

“Aku akan ikut, tapi kalau ini jebakan—”

“Aku tahu kau akan menembakku tanpa ragu,” potong Theodore, matanya penuh keyakinan. “Sekarang cepat.”

Mereka bergerak cepat melewati lorong yang sudah porak-poranda. Mayat berserakan di mana-mana, beberapa dari anak buah Alexander, beberapa dari musuh yang tidak dikenal.

“Siapa yang menyerang kita?” tanya Amina, menahan napas saat melewati tubuh seseorang yang jelas baru saja tewas.

Theodore tidak menjawab seketika. Wajahnya mengeras. “Ada seseorang di dalam kelompok kita yang membocorkan informasi. Ini pengkhianatan.”

Amina menatapnya tajam. “Kau mencurigai siapa?”

Theodore berhenti sejenak, menatapnya. “Itu yang sedang kucari tahu.”

“Kau bilang ini bukan serangan biasa. Apa kau tahu apa yang mereka inginkan?”

Theodore melirik ke arah daftar yang Amina genggam. “Jawaban ada di sana.”

Amina menggigit bibir. “Mereka mengincar kita semua.”

Theodore mengangguk. “Dan jika kita tidak bertindak cepat, mereka akan berhasil.”

Suara ledakan lain menggema, membuat dinding di dekat mereka retak. Debu dan pecahan batu jatuh dari langit-langit.

“Kita harus keluar dari sini!” seru Theodore, menarik Amina ke arah pintu belakang.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!