Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35
Udara dingin malam menyelimuti bangunan tua itu, membawa aroma kayu lapuk dan debu yang menyesakkan. Jantung Amina berdebar kencang, tetapi wajahnya tetap tenang. Di belakang kepalanya, moncong pistol yang dingin terasa seperti pisau cukur yang siap memutus benang hidupnya kapan saja.
Matanya menyapu ruangan yang remang-remang, mencoba mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Napasnya tertahan, menunggu suara atau gerakan yang bisa memberinya kesempatan untuk melawan.
Lalu, sebuah suara akhirnya memecah keheningan.
"Aku tidak ingin ini berakhir seperti ini, Amina," suara berat itu terdengar pelan, tetapi tajam.
Amina menelan ludah. Dia mengenal suara itu. Sangat mengenalnya.
Dia memutar matanya ke arah bayangan di belakangnya, tapi dia tidak berani bergerak terlalu cepat. "Jangan bilang kau baru saja mengkhianatiku. Itu akan sangat klise."
Orang itu terkekeh pelan, tetapi tidak menurunkan senjatanya. "Kadang klise itu berbahaya, bukan?"
Amina menarik napas dalam-dalam. "Kalau kau memang ingin membunuhku, kau pasti sudah menarik pelatuknya sejak tadi."
"Aku hanya butuh dokumen itu."
"Oh, jadi ini bukan tentang aku? Aku merasa tersanjung," balas Amina dengan nada sarkastik, meskipun dalam pikirannya, dia terus mencari celah untuk bergerak.
Di dalam ruangan yang penuh bayangan, hanya suara derak kayu tua dan tarikan napas mereka yang terdengar.
Amina harus bertindak sekarang atau semuanya akan berakhir di sini.
Tanpa peringatan, dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai, membuat pistol meletus dan pelurunya mengenai rak kayu di belakangnya. Pecahan kayu beterbangan, dan dalam hitungan detik, Amina menyambar kaleng besi tua dari lantai dan menghantam tangan yang memegang senjata itu.
Pistol terlepas dari genggamannya dan jatuh ke lantai, berdenting nyaring.
Amina tidak membuang waktu. Dengan gerakan gesit, dia meraih dokumen yang berserakan dan berlari ke luar ruangan.
"Berhenti!" suara itu meneriakinya, tetapi Amina sudah melesat melewati lorong sempit.
Langkah kaki memburunya, bergema di dinding-dinding tua yang dingin. Bayangannya berkelebat di bawah cahaya bulan yang menembus jendela pecah. Dia hampir mencapai pintu keluar ketika sebuah suara tembakan kembali terdengar.
Rasa panas menjalar di lengannya. Peluru telah menggores kulitnya, membuat darah segar merembes di lengan bajunya.
"Ah, sial!" Amina menggigit bibirnya, menahan rasa sakit. Tapi dia tidak punya waktu untuk berhenti.
Dia terus berlari, menerobos pintu keluar dan melesat ke dalam kegelapan kota Paris. Jalanan sempit dipenuhi bayangan, lampu jalan berkedip lemah seperti saksi bisu dari pengejaran ini.
Di sisi lain kota, di markas mafia Alexander, suasana semakin tegang.
"Lorenzo, kau yakin dia belum kembali?" Michael bertanya, suaranya sedikit cemas.
Lorenzo menggeleng. "Aku sudah cek ke semua titik pertemuan. Tidak ada jejaknya."
Alexander, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Ada sesuatu yang salah."
Tatapan tajamnya menyapu ruangan. Dante yang duduk di sudut hanya menghela napas panjang. "Kalau ada sesuatu yang salah, pasti berhubungan dengan informasi yang dia dapatkan tadi."
Alexander mengepalkan tangan. "Kita harus menemukannya sebelum orang lain melakukannya."
Di gang sempit yang sepi, Amina terjatuh, lututnya menghantam tanah berbatu. Nafasnya terengah-engah, darah di lengannya masih mengalir.
"Ugh, aku benar-benar butuh liburan," gumamnya, mencoba menahan rasa nyeri.
Dia bersandar pada dinding bata yang dingin, memejamkan mata sejenak. Tapi dia tidak bisa diam di sini terlalu lama.
Rintik hujan mengguyur jalanan kota Paris, membuat aspal mengilap di bawah cahaya lampu jalan. Amina terseok-seok di antara gang sempit, napasnya pendek dan tersengal. Rasa perih di lengannya semakin menyiksa, tetapi dia tidak punya waktu untuk memeriksanya. Di belakangnya, langkah kaki berat terdengar mendekat.
"Aku harus terus bergerak."
Matanya liar mencari jalan keluar. Lorong ini buntu di ujung, hanya ada tumpukan peti kayu yang terbengkalai dan pagar besi yang terlalu tinggi untuk dipanjat dalam kondisinya sekarang. Dia menggigit bibir, otaknya berputar cepat.
Lalu, suara itu datang.
Klik.
Pelatuk pistol ditarik.
"Amina, kau tak akan bisa lari lebih jauh," suara dingin seorang pria menggema di belakangnya.
Dia mengenali suara itu. Itu yang membuat jantungnya lebih sakit daripada luka di lengannya.
Amina perlahan menoleh, mengabaikan derasnya hujan yang membasahi hijabnya. Di bawah cahaya lampu redup, wajah pengkhianat itu tampak jelas, mata tajam, rahang mengeras, ekspresi tanpa belas kasihan.
"Kau…" Amina berbisik, suaranya bergetar. "Kau benar-benar menjualku?"
Pria itu, seseorang yang dulu ia percaya sepenuh hati—hanya menatap tanpa ekspresi. "Bukan personal, Amina. Ini hanya urusan bisnis."
Amina tertawa miris, meskipun dadanya terasa seperti diremas. "Lucu sekali. Aku pikir kau lebih dari sekadar bayaran."
Pengkhianat itu mengangkat bahu. "Aku juga berpikir begitu. Tapi, ternyata tidak."
Amina menelan ludah. Dia bisa merasakan dinginnya laras pistol masih mengarah padanya. Dia butuh cara keluar. Cepat.
"Apa kau benar-benar akan menarik pelatuknya?" Dia mencoba membeli waktu. "Kau tahu aku bisa bicara, kan? Aku bisa menawarkan sesuatu yang lebih baik."
Pria itu mendengus. "Omong kosong."
Lalu, Amina bergerak.
Dalam hitungan detik, dia menjatuhkan tubuhnya ke belakang, menendang peti kayu di sampingnya hingga berhamburan. Kejutannya cukup untuk membuat pria itu kehilangan keseimbangan. Pistol meletus, peluru melesat hanya beberapa inci dari kepalanya.
Amina tidak menunggu. Dengan sisa tenaga, dia meraih besi tua di dekatnya dan menghantam pergelangan tangan pria itu. Pistolnya terlepas, jatuh dengan suara nyaring ke tanah.
Pengkhianat itu mengumpat, tetapi Amina sudah lebih dulu berlari.
Jalanan terasa lebih panjang, lebih sempit, lebih sesak. Dia terus berlari melewati gang-gang, berusaha mengabaikan sakit yang semakin menjalar ke seluruh lengannya.
"Bertahan, Amina. Kau hanya perlu bertahan."
Tapi dia tahu, dia tak bisa sendirian dalam perang ini.
Sementara itu, di sisi lain kota…
Alexander berdiri di bawah temaram lampu neon, wajahnya tegang. Dia meremas ponselnya, matanya menatap layar kosong yang sejak tadi tak menampilkan satu pun pesan dari Amina.
"Ini tidak benar," gumamnya.
Lorenzo yang berdiri di sampingnya, memasukkan tangan ke saku jasnya. "Dia bisa menjaga dirinya sendiri."
"Tapi dia sudah terlalu lama menghilang," kata Alexander, suaranya dingin. "Amina bukan orang yang sembarangan."
Dante, yang berdiri sedikit lebih jauh, menguap bosan. "Kita benar-benar akan mengejarnya? Aku pikir kita lebih baik menunggu—"
Michael meninju lengan Dante, membuat pria itu meringis. "Dia sedang dalam bahaya. Dan kau tahu itu."
Dante mendengus, tetapi tak membalas.
"Tempat terakhir dia terlihat adalah distrik utara," kata Lorenzo akhirnya. "Tempat itu berbahaya."
"Justru itu," gumam Alexander, matanya menyipit. "Kita harus segera menemukannya."
Tanpa perlu perintah lagi, mereka langsung bergerak.
Di sebuah gudang terbengkalai…
Amina berjongkok di balik tumpukan peti, mencoba mengatur napasnya. Dia gemetar, bukan hanya karena dinginnya hujan, tetapi juga karena kehilangan banyak darah.
Matanya menatap dokumen yang masih erat di genggamannya. Kertas itu basah, beberapa tinta mulai luntur. Tapi dia sudah mengingat isi pentingnya.
Nama-nama. Lokasi. Kesepakatan.
Ini adalah kunci segalanya.
Suara langkah kaki terdengar. Amina menegang.
Lalu, sebuah suara familiar berbisik.
"Amina."
Dia hampir saja menyerang sebelum menyadari siapa yang berbicara. Alexander berdiri di sana, wajahnya setengah basah oleh hujan, ekspresinya tajam namun penuh kekhawatiran.
"Apa yang kau lakukan di sini?" gumam Amina, masih berusaha bernapas dengan normal.
Alexander melangkah mendekat, lalu mengernyit ketika melihat darah di lengannya. "Kau terluka."
"Terima kasih atas pengamatan jeniusmu," balas Amina dengan lemah, matanya melirik pria itu. "Aku hampir mati, kalau kau mau tahu."
Alexander menghela napas panjang. "Kita harus pergi."
Lorenzo dan Michael muncul tak lama setelahnya, keduanya tampak sama cemasnya.
"Kau membuat kami hampir terkena serangan jantung," kata Michael, melipat tangan di dada.
"Bagus, berarti aku masih berguna," gumam Amina sambil berusaha berdiri.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh…
BANG!
Ledakan mengguncang bangunan.
Jendela-jendela pecah, serpihan kayu berhamburan. Amina dan yang lainnya terlempar ke belakang, suara berdengung di telinga mereka.
Alexander dengan cepat menarik Amina ke belakang peti, tubuhnya melindungi gadis itu. Lorenzo dan Michael bergegas mencari perlindungan.
"Asal suara tembakan itu dari mana?" seru Lorenzo.
Amina menutup matanya sejenak, berusaha fokus. "Mereka tahu kita di sini."
"Siapa ‘mereka’?" tanya Dante yang baru saja bergabung.
Sebelum Amina sempat menjawab, suara derap kaki terdengar mendekat.
Musuh mereka akhirnya menunjukkan diri.
Amina menatap Alexander. "Kau siap?"
Pria itu menajamkan tatapannya. "Kau masih sempat bertanya?"
Amina tersenyum kecil, meski tubuhnya masih gemetar.
"Baiklah. Jika musuh ingin perang, maka perang yang akan mereka dapatkan."
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.