Di dunia yang hanya mengenal terang dan gelap, Laras adalah satu-satunya cahaya yang lahir di tengah warna abu-abu.
Arka, seorang lelaki dengan masa lalu yang terkubur dalam darah dan kesepian, hidup di balik bayang-bayang sistem dunia bawah tanah yang tak pernah bisa disentuh hukum. Ia tidak percaya pada cinta. Tidak percaya pada harapan. Hingga satu pertemuan di masa kecil mengubah jalan hidupnya—ketika seorang gadis kecil memberinya sepotong roti di tengah hujan, dan tanpa sadar... memberinya alasan untuk tetap hidup.
Bertahun-tahun kemudian, mereka bertemu kembali—bukan sebagai anak-anak, melainkan sebagai dua jiwa yang telah terluka oleh dunia. Laras tak tahu bahwa lelaki yang kini terus hadir dalam hidupnya menyimpan rahasia gelap yang mampu menghancurkan segalanya. Rahasia yang menyangkut organisasi tersembunyi: Star Nine—kekuatan yang tak tercatat dalam sejarah, namun mengendalikan arah zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keluarga Lim Menuntut!
Langit malam di atas rumah keluarga Wijaya tampak pekat. Tidak ada bintang. Angin berembus pelan melewati barisan pohon cemara di halaman, tapi udara malam itu terasa berat, seolah tahu badai akan datang.
Dari kejauhan, deru mesin terdengar. Lima mobil hitam berhenti bersamaan di depan gerbang utama. Lampu-lampu depan menyala seperti sorotan panggung. Beberapa pelayan di dalam rumah tersentak kaget.
"Siapa yang datang malam-malam begini?!"
"Cepat, laporkan ke Tuan!" seru pelayan lainnya yang berdiri pucat di balik tirai jendela.
Di dalam ruang tengah, Tuan Wijaya duduk sendirian. Kursi kayu jati besar menopang tubuh renta tapi tegap itu. Di tangannya ada cangkir teh yang kini berhenti mengepul. Sorot matanya tajam mengarah pada jendela.
Seorang pelayan masuk dengan terburu-buru.
"Tuan... tamu dari keluarga Lim datang. Mereka... tidak memberi kabar sebelumnya."
Cangkir itu diletakkan perlahan di atas meja kecil.
"Berapa orang?"
"Lima mobil. Masing-masing penuh. Termasuk... Paman Damian sendiri."
Hening. Tapi hening yang bergetar. Tuan Wijaya berdiri. Napasnya pelan namun berat.
"Siapkan ruang tamu utama. Jangan beri mereka teh."
"T-Tidak diberi teh, Tuan?" Pelayan itu bertanya, ragu.
"Kalau kita menjamu serigala dengan anggur, mereka akan mengira kita domba."
Pelayan itu langsung mengangguk dan berlari.
Tak lama, pintu utama terbuka. Suara hak sepatu dan sepatu kulit bergema menyusuri lorong rumah. Aroma parfum mahal bercampur dengan arogansi.
Masuklah Paman Damian, lelaki tua bertubuh besar dengan jas putih gading yang mencolok. Di belakangnya, empat pria berbadan kekar berdiri tegak, masing-masing membawa aura tekanan.
Paman Damian.
Pria yang dikenal sebagai Darius Lim.
Kepala cabang bisnis luar negeri keluarga Lim. Seorang penyihir finansial dengan reputasi menghancurkan lawan bisnis tanpa menyentuhnya langsung. Dan kini... dia datang ke rumah keluarga Wijaya.
Senyap.
Para pelayan mundur ketakutan. Bahkan udara terasa sulit ditelan.
Darius langsung duduk tanpa menunggu dipersilakan.
"Wah... rumah ini masih seperti dulu. Hangat, tenang. Sayang, suasananya terganggu karena seseorang kehilangan kendali."
Tuan Wijaya melangkah masuk. Tidak ada salam, tidak ada senyum. Hanya tatapan yang lebih dingin dari malam di luar.
"Saya harap kamu datang untuk minta maaf. Karena kalau tidak, malam ini bisa berubah menjadi malam yang sangat menyebalkan untukmu."
Paman Damian tertawa kecil. "Sayangnya, saya datang untuk menuntut keadilan. Keponakan saya, Damian Lim, dipukuli, kakinya patah. Oleh seorang pria asing yang entah dari mana asalnya."
"Damian Lim? Pria yang mencoba memperkosa cucu saya?" balas Tuan Wijaya tajam. "Kalau bukan karena Arka, Laras mungkin sudah—"
"Jangan percaya sepenuhnya pada cerita sepihak seorang perempuan," potong Paman Damian cepat. "Kita semua tahu, kadang emosi membuat cerita terdengar lebih dramatis."
Tuan Wijaya tertawa pelan. Tapi tidak ada humor di matanya.
"Kamu salah rumah, Darius. Di rumah ini, setiap air mata cucu saya adalah bukti. Dan pria yang berani menyakitinya, pantas kehilangan lebih dari sekadar kaki."
"Kami menuntut kompensasi. Serahkan Arka. Atau... bersiaplah melihat bisnis keluarga Wijaya perlahan dicabik-cabik oleh satu demi satu jaringan kami."
Hening. Tapi bukan hening yang takut. Melainkan hening sebelum ledakan.
Tuan Wijaya melangkah lebih dekat. Ia tidak besar. Tidak berotot. Tapi wibawanya memenuhi ruangan.
"Kamu datang ke rumah saya. Membela keponakanmu yang bejat. Menuntut kami menyerahkan satu-satunya alasan cucu saya masih bisa tidur malam ini. Dan kamu pikir... saya akan tunduk?"
Damian berdiri. "Ini bukan soal tunduk. Ini soal bertahan. Keluarga Lim bukan keluarga yang bisa kamu hadapi, Tuan Wijaya. Kami punya lebih dari kekuasaan."
"Kekuasaan yang dibangun di atas ketakutan, akan runtuh saat bertemu keberanian."
"Jangan sok bijak!"
"Dan jangan anggap saya sudah mati!"
Suasana menegang. Para pelayan menahan napas dari balik dinding.
Tuan Wijaya menatap tajam mata Darius.
"Arka adalah keluarga saya sekarang. Siapa pun yang menyentuhnya, menyentuh saya. Dan kalau kalian pikir keluarga Wijaya akan diam... kalian salah besar."
Paman Damian tersenyum sinis. "Saya harap Anda tidak menyesal berkata begitu."
"Saya hanya menyesal tidak mematahkan kaki keponakanmu sendiri."
Suasana meledak. Para pengawal Damian hampir maju, tapi isyarat tangan membuat mereka menahan diri.
Darius membalik badan.
"Saya pikir kamu adalah orang yang cerdas. Tapi sepertinya saya salah. Kita lihat saja nanti siapa yang tersisa berdiri."
Ia melangkah keluar, diiringi suara sepatu yang menggema. Deretan mobil kembali menyala, perlahan menjauh dari halaman rumah Wijaya.
Begitu suara mesin terakhir menghilang, Tuan Wijaya akhirnya duduk kembali. Ia menatap kosong ke depan.
Lalu berbisik pada pelayan.
"Panggil semua keluarga. Malam ini... kita rapat. Keluarga Lim telah mendeklarasikan perang."
______
Tuan Wijaya belum beranjak dari kursinya ketika langkah seseorang terdengar dari arah lorong.
Arka masuk. Bayangan tubuhnya memanjang karena cahaya temaram dari langit-langit. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana, tapi tiap langkahnya seperti punya bobot.
“Kau mendengarnya?” tanya Tuan Wijaya tanpa menoleh.
“Dari awal,” jawab Arka. Suaranya tenang. Dalam. Tapi tidak bisa dianggap biasa.
Tuan Wijaya mengangguk. “Duduklah.”
Arka tidak langsung patuh. Ia berdiri sejenak, menatap kursi yang kosong di seberang. Baru setelah itu ia duduk perlahan—dengan punggung tegak dan tangan terlipat di pangkuannya.
Beberapa detik terasa hening.
Tuan Wijaya akhirnya bicara, pelan namun berat.
“Aku berterimakasih, Cucu saya… selamat. Karena kau.”
Arka tak menjawab. Hanya menatap lurus ke arah pria tua itu.
“Aku sudah lama hidup. Terlalu lama. Dan aku tahu, tak ada yang datang menolong seseorang… tanpa alasan.”
“Saya tidak menolongnya,” sahut Arka datar. “Saya hanya menghentikan binatang.”
Tuan Wijaya menyipitkan mata. Lalu tersenyum tipis. “Kata-kata yang dingin. Tapi niatmu tak pernah dingin.”
Arka diam.
“Aku berutang padamu. Keluarga ini... berutang padamu,” lanjut Tuan Wijaya.
Arka mengangkat alis tipis. “Saya tidak butuh hutang. Saya hanya butuh satu hal.”
“Apa itu?”
“Saya ingin anda mengerti, aku tidak akan tunduk pada permainan politis keluarga. Aku tidak mencari posisi. Tidak butuh warisan. Aku hanya ingin satu hal.”
Tuan Wijaya menatapnya tajam. “Laras.”
Arka mengangguk. “Dan semua yang menyentuhnya—dengan niat kotor—akan berhadapan dengan saya. Tanpa kompromi.”
Tuan Wijaya terdiam. Lalu... untuk pertama kalinya dalam malam itu, ia berdiri dan melangkah mendekat.
Ia menatap Arka dari dekat. “Kau tidak seperti pria-pria lain yang pernah aku lihat.”
“Memang bukan,” jawab Arka pelan.
Tuan Wijaya menatap Arka lama, sebelum akhirnya mengangguk kecil.
“Kalau begitu... mulai malam ini, kau bukan hanya pelindung Laras.”
Ia menepuk bahu Arka satu kali. Berat, tapi bukan paksaan.
“Kau bagian dari rumah ini. Suka atau tidak.”
Arka tak menjawab. Tapi matanya tidak sekeras tadi.
Mereka tak bicara lagi. Tak perlu.
Di luar, angin malam kembali berembus pelan. Tapi langit tetap gelap.
Karena perang baru saja dimulai.