Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga
Utari membuka matanya, bau disinfektan begitu menyengat. Dia menatap sekeliling dan mendapati Nisa putrinya terbaring lemah di sampingnya, di brankar yang berbeda.
Saat Utari masih memandangi Nisa, pintu ruang perawatannya terbuka. Bian masuk membawa kantong kresek dari minimarket.
"Kamu sudah sadar?" Bian meletakkan belanjaannya di meja dan menyentuh kening Utari. "Masih agak demam, kamu harus dirawat di sini sampai sembuh."
"Tapi aku ga punya uang, Bian."
"Aku sudah membayar semua tagihan rumah sakit ini. Jadi kamu tidak perlu memikirkan apapun, yang perlu kamu pikirkan sekarang adalah kesembuhan Nisa dan kesehatan kamu."
Utari tersenyum lemah, "Aku berhutang banyak sama kamu, Bi."
Bian tidak menjawab ucapan Utari, Dia justru berbalik dan melihat Nisa. Nisa juga membuka mata. Namun, ada yang berbeda dari gadis kecil itu. Dia hanya diam dengan mata berkedip.
"Nisa, Sayang." Utari menoleh ke arah Nisa. Namun, Nisa tidak merespon panggilan Utari. Merasa cemas, Utari berniat bangun dari brankarnya dengan tergesa-gesa, tetapi Bian menahan bahu Utari.
"Kamu tenang dulu, kamu jangan panik. Aku udah panggil dokter. Kamu tunggu. Jangan turun dari ranjang, kamu masih lemah."
"Tapi, Nisa ...."
"Dia akan baik-baik saja," kata Bian menenangkan.
Tak lama dokter datang diikuti oleh dua orang perawat. Bian segera menjelaskan pada Dokter tentang apa yang terjadi pada Nisa, Dokter pun segera memeriksa Nisa dengan seksama.
"Dokter, saya mohon, sembuhkan putri saya," kata Utari dengan lemah.
"Apakah sebelum sakit, pasien mengalami sesuatu hal yang membuat dia terkejut atau syok, seperti melihat kecelakaan atau sesuatu yang lainnya?"
Utari seketika tertegun. Mungkinkah karena melihat hal kemarin Nisa mengalami trauma. Utari sesaat tidak tahu harus berkata apa. Air matanya kembali mengalir tanpa diminta. Bian menghela napas. Dadanya seakan ikut sesak melihat air mata Utari yang berharga berjatuhan.
"Nyonya, kami perlu detail untuk memutuskan metode pengobatan pasien. Saya merasa putri anda mengalami syok, sehingga kondisinya ada di situasi sekarang."
"Ke_kemarin malam, saya membawa putri saya pergi untuk membeli bakso, tapi tanpa sengaja dia melihat suami saya ada di warung itu sedang bersama orang lain. Suami saya menggendong seorang anak laki-laki dan terlihat sangat bahagia. Selama ini Nisa selalu diabaikan oleh suami saya, Dok. Jangankan digendong, disapa atau ditanya kabar saja tidak pernah, tapi malam itu ...." Utari berhenti bicara, tiba-tiba pikirannya dipenuhi praduga buruk. "Apakah itu akan mempengaruhi psikologis-nya?"
Dokter mengangguk, meski pun apa yang diceritakan Utari merupakan aib rumah tangganya, tapi dokter perlu benar-benar mengetahui titik permasalahannya.
"Kita akan mengobservasi lagi. Yang terbaik coba untuk terus berkomunikasi dengannya. Siapa tahu itu bisa menarik kesadarannya secara perlahan."
Setelah dokter meninggalkan ruang perawatan Utari dan Nisa, Utari bergerak. Dia menarik jarum infusnya dengan kasar tanpa mempedulikan rasa sakit. Bian terkejut. Dia segera menahan Utari dengan memeluknya.
"Utari apa yang kamu lakukan?"
"Lepas, Bi. Aku mau peluk Nisa. Ini semua salahku. Aku ga becus merawat dia, sampai-sampai hal ini harus terjadi padanya. Aku seharusnya menceraikan suamiku sejak dulu sehingga Nisa tidak perlu menanggung hal seberat ini, ini salahku, Bi."
Pelukan Bian semakin erat. Dia tidak tahu harus berkata apa. Situasi yang Utari alami cukup mengejutkan Bian secara keseluruhan.
***
Suara ketukan pintu yang keras berulang membuat tetangga di sekitar rumah Utari merasa terganggu. Seseorang keluar dari balik pintu, sementara yang lainnya memilih untuk mengintip dari balik pintu rumah mereka masing-masing.
"Hei, Akmal! Gila kau ya? Ketuk pintu rumah sendiri dah macam tukang kredit nagih angsuran."
"Bu Lilis ga usah berisik. Ini urusan saya."
"Bah! Kau yang lebih berisik, Akmal. Mau kau, ku panggilkan pak RT biar kena tegur kau?"
Akmal mendengus. Dia kembali menghadap pintu dan mengetuknya. Namun, sampai tangannya memerah, pintu itu tak kunjung terbuka. Tidak biasanya Utari mengabaikannya seperti ini.
Bu Lilis menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Akmal. Dasar paok.
Akmal hendak bertanya pada Bu Lilis tentang Utari, tapi dia urung karena pintu rumah bu Lilis sudah tertutup. Akmal menoleh di sekitar, tapi tidak ada satu pun tetangga yang keluar. Benar-benar menyebalkan.
Akmal akhirnya memutuskan untuk berangkat kerja terlebih dulu, dia pergi meninggalkan rumahnya. Tak lama kemudian, beberapa ibu-ibu keluar dari rumah dan menatap ujung gang dengan hati-hati.
"Udah pergi rupanya si Akmal itu. Kok, Utari mau sama laki mokondo kek dia, ga habis pikir aku."
"Bu Lilis kaya ga tahu Utari aja, hatinya udah kaya tahu sutra, lembut banget. Saya sebenarnya mau bilang ke Utari, kalau saya sering lihat suaminya boncengan sama perempuan lain. Mereka berdua kaya perangko, tapi saya takut kalau cerita, nanti bikin masalah buat Utari."
"Dah, kita ga usah ikut campur masalah keluarga Utari. Sebagai tetangga yang baik, kita do'akan saja, semoga Utari bisa menemukan kebahagiaannya."
"Halo, Mah. Mah, Bian kayaknya ga bisa pulang. Kemarin aku ga sengaja ketemu Utari, tapi kayaknya dia lagi ga baik-baik aja."
("Apa? Kamu ketemu Utari? Dimana?")
"Aku lagi ada di kota B, Mah."
("Mama susul kamu, ya, Bi?")
"Jangan dulu, Ma. Situasinya lagi ga bagus. Nanti kalau ada waktu, kapan-kapan aku akan pertemukan mama sama Utari.
Bian berbicara panjang lebar pada ibunya. Setelah Bian mematikan ponselnya, Dia menghela napas.
"Andai dulu keluargaku ga pindah, Tari. Mungkin kamu ga akan mengalami hal hal seperti ini. Aku pasti jaga kamu, seperti dulu kamu menjagaku," gumam Bian.
Saat ini Bian ada di luar ruangan. Dia sedikit tenang karena Utari diberi obat oleh dokter dan sekarang dia tertidur.
Bian keluar dari rumah sakit dan menyeberang ke toko mainan yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Bian membeli sebuah boneka Barbie. Tadi Bian sempat berdiskusi dengan dokter dan dokter menyarankan biar akan melakukan terapi bonding dengan Nisa secara perlahan.
Meski bukan ayah kandung Nisa, Bian merasa ingin dekat dengan Nisa dan bisa mencurahkan segala kasih sayang yang tidak pernah Nisa dapatkan dari ayahnya.
Bian dengan semangat membawa boneka Barbie masuk ke ruang perawatan Nisa dan Utari. Utari masih memejamkan matanya sedangkan Nisa terbaring dengan mata terbuka dan tatapannya kosong.
Bian duduk di dekat brankar Nisa. Dia memanggil Nisa dengan lembut. Namun, gadis yang ceria itu kini tidak memberikan respon apapun. Bian mengusap pipi Nisa dengan lembut. Bian mengatur Brankar Nisa agar posisi Nisa setengah duduk.
"Nisa, lihat ini, Om punya apa untuk Nisa." Bian menyodorkan kotak boneka Barbie di perut Nisa. Kelopak mata Nisa bergetar dan dia berkedip lambat.
utari pokoknya untuk Bian gak boleh sm yang lain 😁
ni karena mau merasakan kekayaan utari makanya di bujuk utari buat rujuk sm si akmal ...
Bagus utari jawaban yang bagus biar kapok tuh si ibu