Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
“Kau sudah tahu, tapi masih minum sebanyak itu?!” serunya, nada suaranya meninggi karena marah dan kecewa. “Kalau kau seperti ini lagi, mungkin saja kau akan mati, Mia!”
Ucapan itu menggantung di udara seperti kutukan yang tak bisa diambil kembali. Mia tidak menjawabnya. Ia hanya menunduk dalam diam, lalu perlahan mengangkat kepalanya. Tatapannya menembus kaca jendela, melihat ke luar seolah dunia di balik sana lebih layak untuk didengar ketimbang amarahnya Daniel.
“Lalu kenapa memangnya?” ucapnya terdengar getir. “Tidak ada yang mencintaiku di dunia ini... Jika aku mati, tidak akan ada yang peduli denganku.”
Kata-katanya bagaikan jarum dingin yang menusuk di dada Daniel. Lelaki itu telah kehilangan kata-kata.
“Christopher mungkin akan senang saat itu, setidaknya dia berhasil menyingkirkan orang asing sepertiku.” bisiknya lirih.
Mendengar nama itu, wajah Daniel seketika memucat. Ia tidak tahan lagi melihat ekspresi kehilangan di wajah gadis yang begitu ia cintai. Dalam satu gerakan cepat, ia maju dan menggenggam kedua bahu Mia dengan tegas.
“Berhenti berbicara seperti itu!” suaranya bergetar, penuh luka. “Aku... aku mencintaimu, Mia! Kau masih memilikiku di dunia ini! Aku di sini!”
Napas Daniel memburu, dan matanya mulai memerah. “Kau itu sempurna... bagaimana mungkin tidak ada yang mencintaimu?”
Mia terkejut. Tatapannya perlahan berubah saat melihat mata Daniel yang kini berkaca-kaca, tampak rapuh, dan penuh perasaan. Kemudian tangan kecilnya terangkat, menyeka setetes air mata yang jatuh di pipi pria itu.
“...Daniel,” gumamnya lirih.
Ia menghela napas perlahan, menarik kekuatan dari pengakuan tulus di hadapannya.
“Baiklah...” katanya, suaranya kini lebih lembut. “Mulai hari ini... aku akan berusaha melindungi diriku sendiri. Aku akan hidup dengan baik.”
Tubuh Daniel akhirnya runtuh. Ia berlutut di hadapan Mia, lalu memeluk pahanya sambil menangis seperti anak kecil yang telah kehilangan arah.
“Aku hanya ingin melihatmu seperti dulu…” ucapnya di sela isak tangisnya. “Kamu yang lembut... yang penuh semangat... yang percaya diri... Kenapa kamu menyiksa dirimu sendiri seperti ini?”
Mia tampak kaku, tubuhnya belum terbiasa menerima pelukan seperti itu lagi. Tetapi kemudian, perlahan-lahan, tangannya bergerak. Dengan sedikit ragu, ia menepuk kepala Daniel dengan lembut.
“Sudahlah… jangan menangis seperti ini,” bisiknya. “Aku belum mati, Daniel. Simpan kembali air matamu itu..."
Tangisan Daniel belum berhenti. “Kenapa...” suaranya lirih dan gemetar. “Kenapa kau begitu mencintai Christopher? Apa dia lebih baik dariku? Dia bahkan... bahkan tidak pantas mendapatkan cintamu, Mia…”
Mia terdiam cukup lama. Ia hanya menunduk, menatap cincin pernikahan yang masih melingkar di jari manisnya, bekas dari ikatan yang dulu ia anggap suci.
“Benar juga...” gumamnya dalam suara penuh luka. “Kenapa aku begitu menyukainya…?”
Sebuah air mata jatuh diam-diam ke punggung tangannya. Hening kembali menguasai ruangan, hingga suara pintu terbuka perlahan memecahnya.
Seorang pria masuk, dengan membawa sebuah map berwarna cokelat di tangannya, tatapannya tampak serius.
“Daniel,” panggilnya.
Daniel menoleh dengan cepat, lalu buru-buru menghapus air matanya. Ia berdiri dengan gerakan kikuk, ia tidak ingin terlihat rapuh di hadapan orang lain.
Felix melangkah mendekat, “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan denganmu. Tolong ikut aku keluar sebentar.” ujarnya tenang namun mengandung ketegasan.
Daniel menoleh sekilas ke arah Mia, tatapan matanya berat seakan enggan untuk pergi, ia takut kehilangan momen yang baru saja lahir di antara mereka.
Mia tersenyum tipis. “Aku tidak akan ke mana-mana… Pergilah.”
Setelah ragu sesaat, akhirnya Daniel mengangguk. Ia mengikuti Felix keluar dari ruangan, meninggalkan Mia yang kini duduk seorang diri di ranjang, bersama keheningan dan luka-luka yang mulai dicoba untuk ia jahit kembali.
Daniel berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit, matanya liar mencari sosok Felix. Saat menemukan pria itu berdiri di depan ruang dokter dengan map cokelat di tangannya, Daniel segera menghampiri dengan napas memburu.
“Ada apa? Apa hasilnya sudah keluar?” tanyanya dengan penuh kecemasan. “Apa ada yang salah dengan Mia?”
Felix menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, lalu ia membuka map yang ada di tangannya perlahan, kemudian ia menarik napas yang dalam sebelum ia menjawab.
“Daniel… kondisi fisiknya jauh lebih buruk daripada yang aku perkirakan.”
Daniel mengernyit, nadanya berubah gelisah. “Maksudmu... seberapa buruknya itu?”
Felix menutup mapnya, lalu menatap mata Daniel dengan tatapan keseriusan yang tidak bisa terbantahkan. “Dia tampaknya mengalami sejumlah penyiksaan yang tidak manusiawi.”
Dunia Daniel seolah runtuh seketika.
“Apa?!” serunya terbelalak. “Penyiksaan? Kau... kau tidak bercanda, kan?”
Felix menggeleng. “Aku tidak sedang main-main, Daniel. Mia mengalami keretakan dan patah tulang di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian besar luka itu jelas disebabkan oleh pukulan berat yang disengaja. Dan yang lebih mengejutkan... luka-luka itu bukanlah luka baru. Mereka sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu.”
Seketika, tubuh Daniel melemah. Kakinya seolah kehilangan kekuatannya untuk berdiri.
“Siapa... siapa yang tega melakukan ini padanya?” tanyanya dengan suara yang tercekat.
Felix menatapnya dalam, lalu berkata lirih, “Yang lebih buruknya lagi, dia tidak pernah mendapatkan perawatan medis yang layak untuk semua luka-luka itu. Itulah mengapa tubuhnya sangat rapuh dan rentan saat ini.”
Daniel berdiri terpaku. Tangannya mengepal, lalu tanpa bisa mengendalikan emosi, ia menghantamkan tinjunya ke dinding di sebelahnya. Dentuman keras menggema di lorong yang sunyi. Hingga beberapa perawat dan pengunjung rumah sakit mulai menoleh kearahnya.
“Kenapa... kenapa aku tidak pernah tahu semua ini?” bisiknya lirih. “Selama ini aku selalu bertanya-tanya… kenapa Mia selalu menjauh saat kami bermain di lapangan sekolah… Kenapa dia sering absen dengan alasan medis yang tidak jelas… Kenapa tubuhnya selalu terlihat lemah…”
Ia jatuh terduduk di bangku tunggu, lalu menghantam kursi itu dengan kepalan tangannya. Emosinya meledak sudah tidak terbendung.
Felix segera merunduk dan menahan bahu Daniel. “Heii! Cukup!” ucapnya tegas. “Ini rumah sakit. Tenangkan dirimu!”
Daniel menunduk, bahunya berguncang hebat. “Dia... dia tidak pantas mendapatkan semua ini...”
Felix menghela napas dan menepuk pundaknya perlahan. “Aku tahu kau merasa bersalah. Tapi rasa bersalah tidak akan menyembuhkan Mia. Yang ia butuhkan sekarang adalah dukungan dan perawatan yang layak.”
Felix menatapnya dengan sorot penuh keyakinan. “Selama dia mau menjaga dirinya, Mia bisa pulih. Hal ini bukan kondisi yang mengancam nyawanya jika kita bertindak dengan benar.”
Ia mencondongkan tubuhnya, menyentuh lengan Daniel dengan ketulusan yang tulus. “Kau ingin membantunya, bukan? Maka tetaplah berada di sisinya. Jangan salurkan amarahmu pada tembok atau kursi ini. Itu tidak akan mengubah apa pun.”
Daniel hanya diam, kepalanya menunduk. Air matanya mengalir secara diam-diam membasahi wajahnya.
Felix berdiri, lalu berkata dengan lembut, “Aku akan kembali ke ruanganku. Hubungi aku kalau kau membutuhkan sesuatu.”
Tanpa menunggu jawaban, Felix berjalan menjauh dan meninggalkan Daniel sendirian di lorong yang kembali sunyi.
Daniel menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia duduk membeku, seolah waktu telah berhenti berputar.
Beberapa menit kemudian Daniel kembali ke kamar rawat Mia, ia berdiri terpaku di ambang pintu kamar itu, seolah tubuhnya enggan melangkah masuk ke dalam sana. Tangannya gemetar ringan saat ia menarik napas dalam, lalu mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak kekhawatiran yang tergambar jelas di sana. Ia memaksakan senyum kecil sebelum mengetuk pelan.
“Aku masuk, ya...” ucapnya dengan suara yang nyaris berbisik.
Di dalam ruangan, Mia duduk di tepi ranjang. Tubuhnya tampak ringkih, dan sorot matanya kosong menatap keluar jendela. Ia tidak menoleh, tidak juga menjawab dengan kata-kata. Hanya gumaman pelan yang terdengar dari bibirnya.
“Hm…”
Daniel melangkah pelan, kemudian duduk di kursi sisi ranjang. Ia membuka kantong plastik yang dibawanya dan mulai mengupas buah apel. Suasana sunyi menyelimuti ruangan itu, hanya suara lembut dari gesekan pisau di kulit apel yang memecah keheningan.
Dan beberapa menit berlalu dalam diam.
“Dokter bilang apa padamu?” suara Mia akhirnya terdengar pelan.
Daniel berhenti sejenak, lalu kembali mengupas apel dengan tenang. “Tidak banyak,” jawabnya ringan. “Katanya kamu harus lebih memperhatikan pola makan, dan tidak boleh minum anggur merah lagi.”
Mia menundukkan kepala. Suaranya terdengar ragu dan agak gemetar. “Hanya itu?” jedanya panjang sebelum melanjutkan, “Dia tidak bilang hal lain? Tentang… luka-luka lamaku?”
Pisau di tangan Daniel berhenti bergerak. Ia menatap Mia dengan lembut, mencoba menyembunyikan gelombang emosi yang menyesakkan di dadanya. Namun senyum kecil tetap muncul di wajahnya.
“Memangnya kamu berharap dokter akan berkata apa?” tanyanya sambil mengangkat alis. “Lihat wajahku baik-baik. Apa aku tampak sedang berbohong?”
Mia akhirnya menoleh, dan menatap wajah Daniel seolah mencari secercah kebenaran di sana. Kemudian hening sesaat.
“…Tidak,” gumamnya pelan. “Kau... terlihat jujur.”
Daniel mengangguk. Lalu ia kembali memotong apel menjadi irisan kecil, lalu menyodorkannya kepada Mia. “Makanlah. Kau butuh banyak energi.”
Mia menerimanya dengan tangan gemetar. Saat itu pula, ia melirik ke arah jam dinding.
“Aku belum menelepon orang rumah…”
Daniel mengangkat kepala. “Kau khawatir mereka akan mencarimu?”
Mia mengangguk perlahan. “Iya... Paman dan Bibi pasti sangat khawatir. Tapi kalau mereka tahu aku ada di rumah sakit...” Suaranya melemah. “Mereka akan menyalahkan diri mereka sendiri. Aku tidak ingin itu terjadi.”
Daniel memerhatikan wajah Mia yang dipenuhi oleh rasa bersalah. Gadis itu tampak lebih kecil dari biasanya, seolah seluruh beban dunia sedang menghimpit pundaknya.
“Kalau begitu, jangan menelepon. Kirimkan pesan singkat saja. Setidaknya agar mereka tahu kalau kau baik-baik saja,” saran Daniel lembut.
Namun Mia menggeleng. “Tidak… Aku tidak ingin mereka tahu. Aku tidak ingin mereka merasa gagal melindungiku.”
Untuk beberapa saat, tidak ada yang berkata lagi. Daniel menunduk, menatap jemari tangannya sendiri yang kini saling menggenggam erat.
Lalu, dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar, ia berkata, “Kalau begitu… biar aku yang melindungimu sekarang.”
Mia menoleh dengan cepat, terkejut. Pandangannya penuh tanya.
“Apa maksudmu?” bisiknya.
Daniel menatap langsung ke dalam matanya, sorotnya serius namun juga lembut. “Mulai hari ini... kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun dariku, Mia. Tidak perlu berpura-pura kuat atau menghadapi semuanya sendirian.” Ia menarik napas, mencoba menenangkan emosinya sendiri. “Aku tahu aku sudah datang terlambat. Tapi aku di sini sekarang.”
Tubuh Mia sedikit bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang meluap tanpa izin. Dan air mata menggenang di pelupuk matanya.
“Kau... tidak akan meninggalkanku?” tanyanya nyaris tidak terdengar.
Daniel mengulurkan tangannya, menyentuh tangan Mia dengan hati-hati.
“Tidak akan,” jawabnya mantap. “Aku janji.”
Satu tetes air mata jatuh, mendarat di pangkuan Mia. Namun kali ini, air mata itu bukan karena luka, melainkan karena kelegaan. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, ia merasa tidak sendirian lagi.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah