Sequel dari Sang Pemilik Cinta
Sebelumnya, mohon maaf karena cerita ini banyak mengandung bawang, karena memang saya membuat karya ini seperti nano nano, ada sedih, bahagia, komedi, dan kebucinan seorang suami pasa istrinya.
Novel ini bukan mengedepankan tentang poligami atau pelakor, tetapi ini tentang psikologi Mario yang di hantui rasa bersalah pada adik kembarnya semasa remaja, juga tentang seorang gadis bernama Inka yang broken home, psikologi seorang anak korban perceraian di usia yang sama.
Kemudian, mereka menikah karena kesepakatan yang saling menguntungkan.
Mario yang tak percaya dengan ikatan pernikahan dan memilih live together bersama pacar-pacarnya, di jodohkan oleh sang ayah dengan anak sahabat ayahnya. Mario menolak dan lebih memilih menikahi Inka, teman dari istri sahabatnya yang baru sekali bertemu.
Di tengah pernikahan yang mulai adanya benih-benih cinta, mereka di uji dengan ujian yang membangkitkan psikologi masa lalu keduanya muncul.
Jadi, siapkan mental kalian dan hanya yang berhati baja, yang bisa membacanya sampai end.
Terima Kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
merasa di awasi
"Ada acara hari ini?" Tanya Mario yang tengah menatap istrinya yang sedang memakaikan dasi.
"Hmm.. ada, aku hari ini ingin ke butik, melihat perkembangan untuk persiapan pembukaan nanti."
Mario mengangguk. "Pulangnya aku jemput."
"Ya," senyum Inka dan berkata lagi setelah merapihkan dasi Mario. "Oke, selesai." sambil menepuk dada suaminya.
Mario meraih pinggang Inka dan cup. Mario mel*mat bibir ranum sang istri. Bibir yang sudah dua hari tidak di sentuhnya. Mario mel*mat lembut, kemudian berubah menjadi sangat rakus. Inka yang biasanya mampu membalas permainan Mario, kini terlihat kuwalahan.
"Mmmppphh..." Mario melepaskan ciumannya. Nafas Inka tersengal-sengal, seperti mengikuti lari marathon 500 kilometer.
"Hmm... kamu." Inka memukul dada Mario.
"Kangen bibir kamu, dua hari aku ga menciumnya."
"Apa sih?" Inka tersenyum, menutupi wajah meronanya.
"Kalau kamu pasang muka kaya gini, aku cium lagi sampai bibirmu bengkak." Seringai licik Mario.
"Udah, ayo sarapan! Nanti kamu terlambat." Inka melepaskan diri dari pelukan Mario dan berjalan cepat keluar kamar. Mario mengikuti langkah Inka.
Mario tak henti-hentinya mengulas senyum, melihat Inka melayaninya di meja makan. Bi Inah pun melihat senang pasangan ini. Bi Inah pikir majikannya sudah menemukan kebahagiaan.
"Kelihatannya Den Mario sayaaang banget sama non Inka." Ucap Bi Inah, ketika Inka membawakan piring kotor ke wastafel. Inka hanya tersenyum menjawab pernyataan bi Inah.
"Bi Inah, mang Danang, makasih ya. Nanti Inka main-main lagi kesini," ucap Inka di saat ingin memasuki mobil.
"Iya non." Jawab Inah dan Danang bersamaan.
Mario pun berpamitan kepada kedua penjaga vila itu.
"Iya den, hati-hati." Inah dan Danang berucap sambil melambaikan tangannya.
Sepanjang perjalanan, Mario tidak melepaskan genggamannya dari tangan Inka. Entahlah apa yang Mario rasakan, ia sendiri belum menyadarinya. Yang pasti ia merasa sedih melihat istrinya sedih. Tidak ada percakapan di antara mereka, hanya saling tersenyum, ketika pandangan keduanya bertemu. Hingga sampai di depan butik yang akan di resmikan Inka.
Inka keluar dari mobil. Mario menurunkan kaca jendelanya. "Jam lima aku jemput." Inka hanya tersenyum mengangguk.
Inka mondar-mandir sambil melihat ponselnya. Ia ingin memastikan pertemuannya dengan Mediana bisa di majukan dan selesai ketika Mario menjemput. Bibirnya tersenyum kala melihat ponselnya mendapat balasan dari Mediana.
"Sar, saya keluar dulu ya. Nanti kesini lagi." Ucap Inka kepada Sari asisten yang di rekrut untuk mengelola butik barunya. Sebenarnya Sari bukan orang baru untuk Inka. Sebelumnya Inka dan Sari sama-sama bekerja untuk miss Fang. Lalu Inka menariknya bergabung dan Sari menyetujui.
"Iya miss." jawab Sari tersenyum.
****
Inka sampai di rumah sakit XJ. Aroma rumah sakit itu membuat perutnya terasa mual.
"Assalaualaikum tante." Inka menghamburkan pelukan pada Mediana setelah membuka pintu ruangan itu.
"Waalaikumusalam, bagaimana kabarmu In?" Mediana membalas pelukan dan senyum Inka.
"Alhamdulillah baik, tante pasti sehat ya, wajahnya aja ga pernah berubah dari dulu. Masih tetap muda dan kencang."
"Halah kamu bisa aja."
"Mely apa kabarnya, tan?" Tanya Inka setelah menduduki kursi pasien.
"Baik, sudah lama ya kalian ga ketemu?."
"Iya, tan. Sepertinya kami sedang sibuk urusan masing-masing, jadi gagal terus kalau mau ketemuan."
"Iya begitulah, kalau sudah menikah pasti sibuk dengan keluarganya. Ngomong-ngomong ini bagaimana? kamu mau pasang spiral?"
"Iya tan, mumpung saat ini sedang datang bulan."
"Loh kenapa? memang kamu ga mau cepat-cepat dapat momongan? setahu tante mertuamu pengen banget punya cucu."
Inka terkejut. "Memang tante kenal mereka?"
"Kenal lah, pak Andreas kan bos tante, udah hampir 6 bulan beliau mengakuisisi rumah sakit ini."
"Oh.." Inka bingung harus menjawab apa. Ia tidak mau aksinya hari ini di ketahui suami dan kedua mertuanya. Inka belum siap memiliki anak dari Mario, selain karena karir yang ingin di kejar, Inka juga merasa pernikahannya tidak berdasarkan cinta.
"Kamu sudah izin dengan Mario untuk melakukan ini?" Tanya Mediana, ketika Inka sudah berbaring dan siap untuk melakukan tindakan.
Inka mengangguk, kemudian menggeleng dan memggenggam tangan Mediana. "Tante, jangan bilang siapa-siapa ya. Inka hanya belum siap memiliki anak, Inka masih ingin berkarir. Mario ga tau hal ini."
"Loh seharusnya kalian kompromikan dahulu, seperti Cinta. Dia juga menunda momongan karena sedang S2, tapi Rey mendukung dan mengantarnya."
"Inka takut Mario menolak, tan." Inka memasang wajah memelas.
"Ya sudah, itu urusan kalian. Tante hanya bisa mendoakan semua baik-baik saja," ucap Mediana dan berkata lagi. "Siap ya In, ini agak sedikit sakit tapi hanya sebentar. Buka kakimu yang lebar."
Beberapa saat kemudian. "Nah selesai." Kata Mediana sambil merapihkan alat-alat yang tadi digunakan.
"Ini lima tahun kan tan?" Tunjuk Inka pada rahimnya.
"Iya, tapi sebelum lima tahun kamu ingin program punya anak, bisa di lepas." Ucap Mediana sambil mencuci tangannya.
Inka mengangguk, paham dengan apa yang ia lakukan sekarang. Entah alasan apa nanti, jika Laras menanyakan 'apa sudah ada tanda-tanda?'. Inka egois, tetapi memang kehidupan mengajarkannya untuk egois.
****
Sesampainya di butik dan masuk ruangannya, Inka terkejut dengan kehadiran Mario yang tengah duduk di sofa.
"Loh kamu udah di sini? Katanya jam lima jemputnya?" Tanya Inka gugup.
Mario berjalan mendekati Inka. "Kamu dari mana? siapa yang sakit?"
OMG.. Inka merutuki dirinya sendiri yang lupa mematikan ponselnya. Pasti Mario mendeteksi lokasi yang ia datangi tadi.
"Oh.. Itu, menjenguk teman yang melahirkan."
"Siapa? teman bareng Cinta juga?" Tanya Mario menyelidik.
"Bukan. Ini teman kuliah." Inka menampilkan m senyum semanis-manisnya untuk menghilangkan ketegangan.
"Oh.." jawab Mario yang kemudian duduk kembali.
"Kalau urusan kamu sudah selesai, kita pulang." Kata Mario santai sambil menatap Inka yang tengah merapihkan mejanya.
"Sebentar kak, aku beresin ini dulu." Sumpah demi apa, jantung Inka masih berdegup kencang. Ia mencoba menetralisirkan dengan sok sibuk pada kertas-kertasnya. Namun, di seberang, jarak pandang yang tidak terlalu jauh. Mario tengah duduk dan menatap intens padanya, menatap lurus kedepan dengan tatapan memangsa.
"Gue kaya yang lagi di awasin bos aja." Batin Inka.