NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 31

Aku  pulang ke rumah tuh udah malem, bener-bener waktu magrib gitu. Orang-orang yang biasanya sholat magrib di mushola pun sudah bubar.

Saat pintu terbuka, aku menemukan bapak duduk di kursi panjang dengan sapu lidi di tangan.

"Main ke mana kamu?" tanya bapak dengan nada yang galak.

Hatiku berdegup kencang, dan aku hanya bisa terdiam, takut untuk menjawab.

"Kamu tuh cewek. Keluyuran tiap hari aja itu udah salah, apalagi pulang magrib-magrib kayak gini. Apa kata orang?" keluhnya, penuh dengan frustrasi.

Ya, memang, apa kata orang? Di lingkungan kita, gosip dan cibiran seringkali menjadi hal biasa. Orang-orang suka sekali berbicara di belakang, tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Kamu enggak malu diomongin sama orang? Anak gadis sukanya kelayapan. Pulang enggak tahu waktu," ucapnya dengan nada kecewa.

Hatiku terasa hancur mendengar kata-kata bapak. Aku hanya bisa mengucapkan "ampun, pak" dengan suara yang lemah.

 "Sini kamu!" pintanya tiba-tiba.

Bapak tegak di hadapanku, wajahnya memancarkan kemarahan yang tak terbendung, lalu ia mulai memukuliku dengan sapu lidi.

Aku hanya bisa berdiri diam, tahu bahwa bapak tidak bermaksud menyakitiku. Meski terasa ringan, tetapi setiap pukulan itu menusuk hatiku.

"Bapak kangen sama anak penurut bapak yang dulu," ucapnya sambil meletakkan sapu lidi ke lantai dan mendekapku dalam pelukannya.

Aku terkejut, sungguh terkejut. Pelukan ini terasa begitu hangat, setelah sekian lama bapak tidak pernah melakukannya.

Aku ingin membalas pelukannya dengan pelukan hangat, namun tiba-tiba bapak menggenggam bahuku dengan kuat.

"Kamu ngerokok?" tanyanya dengan suara rendah.

"Jawab, bapak! Kamu ngerokok!" marahnya semakin memuncak. Bapak mengambil kembali sapu lidi dan mulai memukuliku lagi.

"Enggak, pak, aku enggak ngerokok. Ampun!" pintaku, sambil berusaha menghindari pukulan sapu itu.

Kali ini, pukulan sapu itu terasa begitu keras, seolah-olah bapak menggunakan semua tenaga yang dimilikinya.

Tanpa sadar, ketika bapak hendak memukulku lagi, aku langsung menangkap sapu itu dengan tanganku. Kedua kami saling menatap dalam keheningan yang tegang.

"Pak, jangan salah paham," ucapku dengan lembut.

"Aku enggak mau Bapak mikir aku lagi ngelawan dia," bisikku dalam hati.

Aku nggak mau dianggap sebagai anak yang nekat melawan, meski sikapku udah cukup jelas tanpa harus ngomong kalau aku pembangkang.

"Tadi aku mandi di bendungan, rame-rame. Ada anak-anak kelas VIII dan IX juga, kok. Bau rokok ini tuh dari anak-anak yang ngerokok. Aku enggak ngerokok," ucapku cepat, berusaha ngasih tau situasinya.

Aku menjauhkan tanganku dari sapu,  dan Bapak ngelempar sapu itu ke lantai lagi. Sambil diam-diam, aku menggeser sapu tersebut agar jika bapak hendak memukul lagi, aku bisa berlari sebelum sapunya kena aku.

"Bendungan?" tanyanya tak habis pikir, sambil meraih bagian belakang lehernya dengan penuh kekhawatiran.

"Ya Allah," ucapnya.

"Bisa-bisanya mandi di bendungan! kamu tuh enggak bisa berenang, kalau tenggelam gimana? Siapa yang menolong?" tanyanya, makin nggak percaya.

"Rian," jawabku dalam hati, sambil lega karena ada temen yang siap bantu waktu aku hampir tenggelam.

"Bukannya enggak ada yang mau nolongin. Dan kalau mati di sana, siapa yang tanggung jawab?" ketusnya dengan suara yang keras.

Aku tahu Bapak khawatir, tapi menurutku, dia terlalu berlebihan.

"Mulai besok bapak yang antar jemput kamu," ucap bapak tegas, membuatku terkejut.

"Loh? Enggak bisa gitu dong, pak," protesku.

"Kan kamu sendiri yang sering minta bapak antar kamu. Sekarang bapak malah kamu yang enggak mau," katanya sambil tersenyum sinis.

"Itu beda konsep, pak. Aku minta anterin karena jalan licin. Kalau enggak licin, aku bisa berangkat sendiri," jelasku.

"Lagian, walaupun aku minta baik-baik, bapak juga enggak mau anterin aku kan?" tambahku, tanpa bisa menahan mulutku yang seringkali ceplas-ceplos.

 Rasanya seperti mulutku memiliki pikiran sendiri, dan kadang-kadang berbicara sebelum sempat dipikirkan terlebih dahulu.

"Bapak kepala keluarga di rumah ini! Kamu harus nurut sama Bapak," ultimatum Bapak dengan suara yang tegas.

"Oke, aku PP sekolah bareng Bapak," ucapku dengan suara yang agak tertekan, sebelum meninggalkan ruang tamu.

\~\~\~

Esok paginya, aku berangkat ke sekolah bersama bapak. Di sepanjang perjalanan, suasana begitu hening. Hanya suara motor yang gerodak-gerodak, saat melintasi jalan koral.

Sampai di depan gerbang sekolah, bapak menurunkanku.

"Nanti tunggu bapak," katanya sambil menatapku dengan ekspresi serius.

"Iya, pak," jawabku singkat.

Setelah berpamitan dengan bapak, aku langsung menuju gerbang sekolah. Ternyata, bapak juga langsung pulang begitu melepaskanku di gerbang.

\~\~\~

Senam kali ini aku berada di barisan depan, bareng rombongan Miranda. Kayaknya kalo bareng mereka, semangat gue langsung naik level, meskipun badan masih agak menderita setelah digebukin sama sapu.

Musik mulai berdentum, dan kita mulai gerak-gerak. Aku sama mereka yang paling heboh, walaupun ada juga yang bersemangat di barisan lain.

Tapi ya gitu deh, kita tetep jadi pusat perhatian! Udah kayak pesta aja senamnya!

Setelah selesai senam, kayak biasa, ritual Jumat bersih dimulai. Setelah selesai membersihkan, kami pun kembali ke kelas.

\~\~\~

Di tengah keramaian kelas yang riuh, suasana seolah berubah menjadi sebuah panggung.

Geng Salsa dan Geng Diana yang sebelumnya terlibat konflik, kini telah berdamai, berbincang-bincang sambil tertawa riang, mengisi ruangan dengan energi positif.

Sedangkan di sudut lain, kami dari geng Miranda sedang asyik menggelar konser mini.

Harun mengambil peran sebagai gendang dengan penuh antusiasme, memainkan ritme yang menggugah semangat, sementara Ardi membawa suasana lebih hidup dengan ukulelenya.

Lagu "Sakitnya Tuh Disini" pun mulai terdengar, memenuhi ruangan dengan melodi yang menggoda.

"Di dalam hatiku~~~" kami bersama-sama melantunkan bait lagu, sambil bergoyang-goyang dengan penuh semangat. Suasana begitu menggelora, membuat kami lupa akan keadaan sekitar.

Tiba-tiba, Fifin menyuarakan ajakan yang menggugah semangat, "Ayok, Alisa tunjukan bakatmu!"

Seraya itu, Miranda menarikku dan aku diposisikan di atas meja. Miranda melompat dari meja dengan semangat yang sama, bergabung dengan yang lain di bawah.

Dengan tatapan ceria, dia segera memberikan gagang sapu padaku, seolah berkata, "Saatnya untuk memukau mereka dengan aksi mu!"

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, aku dengan cepat memegang gagang sapu itu, siap untuk menjadi pusat perhatian.

Dengan suara yang sekeras mungkin, aku mulai melantunkan lagu dangdut sambil bergoyang-goyang dengan lincah di atas meja.

Tidak lama kemudian, Miranda dan teman-teman yang lain, membawa suasana semakin meriah.

Dengan ceria, mereka bergerak seraya pura-pura "nyawer" uang kepada penampilanku yang luar biasa. Entah kenapa, suasana itu terasa begitu lucu.

Seperti ada di sebuah panggung dangdut kelas dunia, tapi dalam versi yang lebih kecil dan lebih konyol.

Betapa tidak, saat aku melihat Miranda dan yang lain pura-pura "nyawer" di bawah sana, aku hampir terjatuh dari meja karena tertawa terlalu keras.

"Permisi," ucap suara datar dari arah pintu.

Tiba-tiba, seperti adegan film yang mendadak memasuki momen dramatis, segala kegaduhan di dalam kelas kami terhenti. Dangdutan yang semula meriah terhenti mendadak, diikuti dengan gelak tawa rombongan Salsa dan Diana yang juga berhenti.

Bahkan yang sedang asyik main remi pun segera menyembunyikan kartu-kartunya, seolah-olah mereka tersandung pada aturan tak tertulis bahwa ketika ketua kelas lain berkunjung, segala aktivitas harus dihentikan.

"Kelas kalian ribut banget. Suaranya sampek ke kelasku bahkan sampek ruang guru. Jadi, disuruh diem," ucapnya dengan nada tegas yang seakan menembus kegaduhan yang baru saja terjadi.

Gilang, sang pemilik remi yang baru saja diabadikan sebagai pahlawan permainan, berdiri di ambang pintu dengan pandangan serius, sementara tangan kanannya menopang pinggangnya yang tegap.

Gilang, dengan kepribadian yang kuat dan aura kepemimpinan yang khas, menatap kami satu per satu dengan pandangan yang tajam, seperti ingin menyelami hati dan pikiran kami yang bergejolak.

Tapi entah mengapa, aku merasakan ada kelembutan di balik tatapannya yang tegas.

"Oke, maaf ya," ucap Gilang dengan santai, seolah-olah menyadari bahwa kami tidak sengaja membuat kegaduhan.

"Iya," ucap cowok itu singkat, sebelum langsung meninggalkan kelas.

Apakah itu akan menghentikan kegaduhan di kelas kami? Tentu saja tidak.

Namun, meskipun kami berjanji untuk lebih tenang, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali ke ritme kami yang khas.

Suasana riuh yang menyenangkan kembali memenuhi kelas, dengan konser dangdutan dan joget-jogetan yang semakin meriah.

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!