Betapa hancurnya perasaanku, saat aku tau suamiku menikah diam diam di belakangku dengan temanku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Setelah pemeriksaan selesai, aku dan Mama segera berpamitan dengan dokter muda yang tampan itu.
Namun, sebelum kami benar-benar pergi, dokter itu memanggilku dengan lembut, "Rea."
"Iya, Dok," jawabku, menatap wajah dokter yang menarik perhatian itu.
"Hati-hati, ya," ucapnya dengan sedikit gugup.
"Pasti, Dok," sahutku dengan senyuman.
Aku dan Mama pun meninggalkan ruangan dokter tersebut dan berjalan menuju area parkir mobil.
Begitu sampai di sana, aku segera mengantar Mama pulang, lalu kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku tak bisa mengusir bayangan wajah dokter muda itu dari pikiranku.
Ada rasa aneh yang mulai tumbuh di hatiku, tapi aku tak yakin apa itu. Apakah ini awal dari perasaan yang lebih dalam? Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan ini.
ah tidak mungkin ini hanya perrasaan faku saja yang berlebihan, mungkin karena aku terlalu terpesona dengan dokter arka.
Setibanya di kantor, aku berpapasan dengan Rena yang baru saja keluar dari perusahaanku. Beberapa karyawan berbicara keras, mengejek dan menghina Rena sambil tertawa sinis.
"Pergi sana, pelakor!" seru salah satu dari mereka.
"Dasar pelakor, gak tau malu!" timpal yang lain.
"Cantik enggak, kecentilan pulak," lanjut seorang karyawan perempuan dengan nada sinis.
"Bener, entah apa yang dipandang Pak Hans," ujar karyawan lainnya sambil bergumam.
Aku tersenyum sinis ke arah Rena yang tampak kesal dan marah. Matanya menatap tajam para karyawan yang mengejeknya.
"Apa maksud kalian, hah? Aku ini bukan pelakor, tapi istri sahnya Pak Hans!" bentak Rena dengan lantang, berusaha membela diri.
Namun, tanggapan yang didapatnya justru tawa terbahak-bahak dari para karyawan yang semakin mengejek dan menghina Rena.
mereka terlihat menikmati penderitaan Rena, tanpa menyadari betapa perasaan wanita itu terluka oleh kata-kata mereka.
Aku berjalan dengan penuh amarah, melupakan segala rasa iba pada Rena yang telah mengambil suamiku tanpa perasaan. Langkah kaki terasa semakin cepat, tak ingin menoleh pada wajah perempuan itu.
"Tunggu, Rea!" teriak Rena, berusaha menghentikanku dengan menggenggam tanganku erat.
"Lepaskan!" bentakku, "Aku tidak punya waktu untuk mengurusi perempuan seperti kamu!" Aku mencabut tanganku dari genggamannya dan melanjutkan langkah dengan penuh kebencian.
Rena masih belum menyerah, "Apa maksud kamu bilang anak ini bukan anak Hans?" tanyanya dengan suara parau, mencoba mencari kebenaran dari perkataanku sebelumnya.
Namun, aku tidak berniat menjawab omongannya. Aku tetap berjalan, meninggalkan Rena yang terdiam di belakangku.
Entah apa yang terjadi setelah itu, apakah dia benar-benar diusir oleh karyawan atau tidak, aku tak peduli sama sekali.
Hatiku sudah terluka parah, dan saat ini aku hanya ingin menjauh dari wanita yang telah menghancurkan hidupku itu.
Begitu pintu lift terbuka, aku segera melangkah keluar dan berjalan menuju ruanganku. Tepat di saat itu, Titin keluar dari ruangannya dan langsung berjalan ke arahku. Wajahnya terlihat kesal dan geram.
"bu bos, tau tidak, Rena datang kemari tadi?" ujar Titin dengan nada tinggi. "Dia diolok-olok oleh karyawan, tapi tetap saja kekeh ingin menemui anda bu bos. Sungguh, perempuan itu benar-benar tidak tau malu."
Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan kelakuan Rena yang datang ke kantor tanpa diundang. "Mau apa dia? Dasar perempuan yang tidak tahu malu," gumamku kesal.
Titin menceritakan panjang lebar tentang kejadian tadi, membuatku semakin geram mendengarnya.
Setelah selesai mendengarkan cerita Titin, aku masuk ke dalam ruanganku untuk mengambil beberapa berkas yang diperlukan.
Tanpa menunggu lebih lama, aku segera menuju ruang meeting di perusahaan milik CEO yang kemarin menolakku kaena hasutan hans.
Di dalam ruang meeting, aku mencoba untuk melupakan kejadian tadi dan fokus pada pekerjaan yang harus diselesaikan.
Namun, bayangan Rena yang datang ke kantor kekeh ingin menemui aku, dan sudah diolok-olok oleh karyawan tetap saja menghantuiku, membuatku merasa jengkel dan kesal.
Hans menatapku dengan tatapan tajam, seolah mengevaluasi setiap gerak-gerikku. Aku mencoba untuk tetap tenang dan memasang wajah jutekku, meskipun rasanya ingin menjerit di dalam hati.
Di ruangan ini, aku merasa seperti tidak dianggap oleh para CEO yang duduk di sekelilingku. Entah apa yang dikatakan Hans kepada mereka sehingga membuat mereka mengabaikanku.
Setelah Hans selesai mempresentasikan, kini giliran aku untuk maju ke depan. Aku mengambil nafas dalam-dalam dan mengucapkan Bismillah dalam hati.
Dengan keyakinan dan tekad yang kuat, aku mulai mempresentasikan materi yang telah aku persiapkan.
Awalnya, para CEO tampak tidak tertarik dengan presentasiku. Namun, aku tidak patah semangat dan terus melanjutkan presentasi hingga pertengahan materi.
Tiba-tiba, satu per satu, mereka mulai menatapku dengan penuh perhatian. Ekspresi wajah mereka berubah menjadi terkesan dan puas dengan presentasiku.
Aku merasa lega dan semakin percaya diri untuk melanjutkan presentasi hingga selesai. Ketika aku menutup presentasi dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengajukan pertanyaan, banyak tangan yang terangkat, menunjukkan minat mereka terhadap apa yang baru saja aku sampaikan.
Di saat itulah, aku menyadari bahwa aku telah berhasil menarik perhatian mereka dan membuktikan diri sebagai seorang presenter yang kompeten di hadapan para CEO yang awalnya meremehkanku.
Wajah Hans terlihat sangat tidak menyukai aku. Aku merasa cukup puas dengan presentasi yang baru saja aku lakukan.
Detak jantungku semakin kencang, menunggu pengumuman siapa yang akan memenangkan tender ini.
Aku mengambil gelas air putih yang ada di depanku, berusaha menenangkan diri. Beberapa menit kemudian, pengumuman pun dibacakan.
Ternyata, aku yang berhasil memenangkan tender ini dan akan bekerja sama dengan perusahaan besar!
Rasa syukur dan lega bercampur menjadi satu. Semua usahaku selama ini tidak sia-sia. Beberapa rekan kerja yang hadir pun mengucapkan selamat kepadaku.
"Selamat, Bu Rea! Presentasi Anda memang sangat bagus. Ternyata Anda tidak sejelek yang kami kira," ucap salah seorang rekan kerja dengan senyum kemenangan.
"jelek gimana pak?" tanyaku penasaran
"itu kata pak hans, kinerja perusahaan kamu jelek dan suka membuat perusahaan lain rugi"
"astagfirullah pak, jadi pak hans berkata seperti itu"
"iya, makanya pak hans tidak lagi bekerja sama dengan perusahaan anda, katamya bergitu"
"tidak perlu aku jelaskan ke bapak sebenarnya perusahaan aku seperti apa?"
Aku tersenyum, menahan kebahagiaan yang memenuhi hati. Kini, aku telah membuktikan bahwa aku mampu bersaing dan meraih kesuksesan bersama perusahaan besar. Tak ada lagi yang bisa meremehkan kemampuanku.
"rea" hans menghampiriku
aku balik badan menatap hans yang tega menceritakan yang enggak enggak sama rekan bisnis kami.
"kau tau hans, mau kamu mencoba untuk menjatuhkanku tapi aku tidak akan pernah terjatuh oleh kelicikan kamu" sinisku
"jangan sombong dulu kamu rea ! aku tidak suka kamu berada di atasku !"
"kenapa kamu sejahat ini sama aku hans !"
"karena aku sakit hati, kamu menggugat cerai aku ! dan dekat dengan dokter muda"
hahahahaha, aku ketawa mendengar pengakuan hans yang tidak masuk akal.
***
kcuali Delfin teges tinggal kan rumah trus nikah hidup berjuang berdua dan buktikan kl mampu tnp ortu. baru keren kan gk durhaka cm gk di restui krn janda, kcuali gk di restui krn perempuannya bkn wanita baik baik itu baru aku di pihak mamanya.