Dia adalah pria yang sangat tampan, namun hidupnya tak bahagia meski memiliki istri berparas cantik karena sejatinya dia adalah pria miskin yang dianggap menumpang hidup pada keluarga sang istri.
Edwin berjuang keras dan membuktikan bila dirinya bisa menjadi orang kaya hingga diusia pernikahan ke-8 tahun dia berhasil menjadi pengusaha kaya, tapi sayangnya semua itu tak merubah apapun yang terjadi.
Edwin bertemu dengan seorang gadis yang ingin menjual kesuciannya demi membiayai pengobatan sang ibu. Karena kasihan Edwin pun menolongnya.
"Bagaimana saya membalas kebaikan anda, Pak?" Andini.
"Jadilah simpananku." Edwin.
Akankah menjadikan Andini simpanan mampu membuat Edwin berpaling dari sang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Haryani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 35 Cukur Rambut
Edwin memeluk erat tubuh Andini yang memunggunginya lalu membenamkan wajahnya di tengkuk gadis itu.
"Saya tidak menceritakannya padamu bukan karena kamu simpanan saya. Sebetulnya saya juga ingin bercerita, berbagi masalah saya dengan kamu hanya saja ini mengenai mertua saya yang tak sepantasnya saya ceritakan keburukkannya pada orang lain."
Andini masih diam tak mengherani Edwin namun dia mendengarkan dengan jelas setiap kata yang Edwin ucapkan.
"Mertua saya sejak dulu tidak menyukai saya meski saya sudah berusaha memantaskan diri menjadi menantu yang baik untuk mereka."
Andini membuka matanya, dia merasakan suara Edwin yang bergetar saat menceritakan tentang mertuanya.
"Saya selalu dihina dan tidak pernah dihargai sebagai menantunya," kata Edwin dengan dada yang terasa sesak saat menceritakannya.
"Istri saya bahkan dilarang hamil anak saya oleh mereka."
Andini membekap mulutnya sendiri tak menyangka bila Edwin mengalami hal seperti itu. Pantas saja pria itu hingga usia 35 tahun belum memiliki keturunan ternyata selain istrinya tidak memprioritaskan dirinya kedua mertua pria itu juga tidak menyukainya.
Andini merasakan tengkuknya basah karena Edwin menangis dibelakang tubuhnya dengan wajah yang masih dibenamkan disana.
Andini melepas tangan Edwin yang memeluk perutnya lalu membalikkan tubuh menghadap pada Edwin yang sedang menyeka air mata.
"Pak ...."
"Saya baik-baik saja, Andini."
"Tapi anda menangis."
"Saya hanya kelilipan," ucap Edwin lalu dia tersenyum pada Andini.
Andini menatap Edwin sendu. Pria itu tersenyum hanya untuk menutupi rasa sakitnya agar terlihat baik-baik saja dihadapan orang lain.
"Maaf, Pak, saya sempat berburuk sangka pada anda."
"Tak apa, An, itu hal yang wajar."
"Lalu bagaimana hubungan anda dengan mertua anda sekarang?"
"Masih sama, An, mereka tak menyukai saya."
"Bagaimana dengan istri anda?"
"Istri saya sudah berjanji akan berubah. Kami bahkan sudah melakukan program hamil agar segera mendapat keturunan."
Andini mengangguk pelan. Ada perasaan tidak rela dihati Andini mengetahui pria yang dia cintai masih sangat mengharapkan wanita yang jelas-jelas sudah menyakiti tapi Andini tak bisa apa-apa karena Edwin sangat mencintai wanita itu.
'Haruskah saya merebut anda dari istri anda, Pak?' tanya Andini dalam hati.
Dia ingin memiliki Edwin dan ingin melakukan segala cara untuk mendapatkan pria itu, namun lagi-lagi Andini ingat bila Edwin sangat mencintai istrinya. Andini tidak mau memiliki Edwin tapi hati pria itu tak dia miliki.
"Dingin, An, cepat peluk saya," pinta Edwin.
Andini tersenyum lalu menganggukkan kepala. Dia membuka selimut yang dikenakannya berbagi pada Edwin lalu memeluk pria itu. Tubuh Edwin yang tidak memakai baju memang terasa dingin dikulit Andini yang sejak tadi mengenakan selimut.
Andini membenamkan wajahnya didada Edwin, mereka saling berpelukan dan saling diam cukup lama. Andini mendongak menatap Edwin yang sedang memejamkan matanya. Dia menikmati setiap inci wajah tampan pria itu, tangannya terulur untuk menyentuhnya dan memencet hidung pria itu.
"Tidur, An."
Edwin terganggu oleh tangan Andini yang memencet hidungnya membuatnya tak bisa bernafas dan kembali membuka mata. Andini terkikik merasa lucu mengganggu Edwin yang sudah hendak tidur.
"Nakal." Edwin gantian memencet hidung Andini hingga memerah.
"Aw, Pak, jangan kuat-kuat pencet hidung saya."
Edwin melepaskan tangannya dari hidung Andini kemudian menarik gadis itu untuk dia dekap erat-erat.
"Saya tidak bisa nafas, Pak, sesak," protes Andini karena Edwin memeluknya terlalu erat.
"Kalau kehabisan nafas nanti saya kasih nafas buatan."
"Pak ...."
Edwin terkekeh lalu melepas pelukannya membuat Andini langsung menghirup nafas banyak-banyak.
"Kamu berlebihan sekali, An," ucap Edwin yang dibalas cebikkan bibir oleh Andini.
Edwin mengusap kepala Andini, mengecup kening gadis itu lalu memeluknya lagi. Andini kembali membenamkan wajahnya di dada Edwin.
"Tidurlah," titah Edwin.
Andini menggangguk lalu bergumam pelan.
"Selamat malam, Pak, saya mencintai anda."
...****************...
"Pa, anda jangan mandi dulu," ucap Andini saat melihat Edwin hendak masuk kedalam kamar mandi.
Mereka baru saja bangun setelah semalaman tidur saling berpelukkan. Edwin menghentikan langkah kakinya dia menoleh pada Andini dengan kening mengerut heran.
"Kenapa?" tanya Edwin.
"Kemarin saya membeli alat cukur rambut di online. Sini saya cukurkan rambut anda," kata Andini sembari berjalan menuju meja rias.
Di meja rias sudah terdapat satu set alat cukur rambut elektrik yang sengaja Andini beli untuk mencukur rambut Edwin. Pria itu tetap tampan meski rambutnya terlihat gondrong, hanya saja Andini lebih menyukai rambut Edwin yang rapih.
Edwin mengurungkan niatnya masuk ke dalam kamar mandi dan berjalan menghampiri Andini yang sudah berdiri di depan meja rias.
"Kamu bisa cukur rambut?" tanya Edwin.
"Bisa, Pak, rambut kak Bima saya terus yang cukurkan. Sini, Pak, duduk," kata Andini sembari memegang kursi di depan meja rias.
Edwin mengangguk kemudian menduduki kursi disana. Dia melihat pada Andini yang sedang mengeluarkan peralatan cukur dari dalam kotaknya, mencolokkan kabelnya pada stopkontak dan menghidupkannya.
Andini mengarahkan alat cukur itu ke kepala Edwin.
"Mau dicukur seperti apa, Pak?" tanya Andini menatap cermin di hadapannya yang memantulkan gambar dirinya dan Edwin.
"Terserah kamu saja," jawab Edwin.
"Rambut anda saya cukur model baru ya, Pak, supaya saya tidak bosan melihat wajah anda," ucap Andini seraya mengedipkan sebelah matanya genit.
Edwin terkekeh geli melihat Andini genit padanya. Dia merangkul pinggang Andini lalu mencium perut gadis itu membuat Andini terpekik geli.
Edwin melepaskan rangkulannya.
"Kamu belajar genit dari mana?" tanya Edwin menatap Andini yang berdiri disebelahnya.
"Dari anda," jawab Andini.
"Kapan saya mengajarimu," tanya Edwin lagi.
"Setiap kali kita bertemu."
"Masa sih?"
"Sudah ya, Pak, saya mau mulai cukur rambut anda," kata Andini.
Edwin tersenyum lalu menganggukkan kepala. Dia menatap cermin dihadapannya dan memperhatikan Andini yang sedang mencukur rambutnya.
Andini kembali menghidupkan alat cukur yang tadi sempat dia matikan lalu mengarahkan pada rambut Edwin yang sudah terlihat gondrong.
Edwin pasrah rambutnya dicukur oleh Andini terserah gadis itu mau membuat seperti apa. Edwin meringis saat alat cukur itu mulai mengenai kepalanya mencukur rambutnya, menipiskan rambut disepanjang atas kedua telinga hingga bagian belakang, menyisakan rambut bagian atas kepalanya.
Andini mematikan alat cukur tersebut kemudian mengambil sisir dan gunting cancang lalu memotong rambut Edwin bagian atas, membentuk sedemikian rupa membuat Edwin tersenyum melihatnya.
Andini mengakhiri mencukur rambut Edwin dengan menyisir rambut pria itu ke kesamping. Rambut dengan model Short Side Part Style membuat penampilan Edwin semakin tampan dengan rambut tipis di bagian samping.
"Wahh, anda tampan sekali, Pak," puji Andini.
"Kamu membuat saya terlihat muda, An," ucap Edwin di iringi kekehan pria itu. Edwin menatap cermin dihadapannya, menyisir rambutnya menggunakan jari tangannya dan tersenyum.
"Anda memang masih muda, Pak," ucap Andini.
"Terima kasih." Edwin hendak mencium Andini namun gadis itu menghindar.
"Eittss, jangan cium saya dulu, Pak," kata Andini
Edwin mengerutkan keningnya tidak mengerti.
"Kenapa?"
"Kumis dan brewok anda belum dicukur."
Edwin tak memperdulikan protes Andini, dia menarik tengkuk gadis itu lalu menciumnya.
"Pak!" pekik Andini kegelian karena kumis dan brewok Edwin mencucuk wajahnya.
...****************...
...Yang punya suami brewokan seperti itu tidak?...