Bagi Raka, menikah dengan Aluna itu bencana, seperti Gempa dengan kekuatan 10 SR. Dan sialnya, dia tidak bisa mengelak karena perjodohan konyol orang tuanya.
Dan, bagi Aluna, menikah dengan Raka adalah ajang balas dendam, karena Raka yang selalu menghukumnya di sekolah.
Tapi ternyata, ada satu hal yang mereka lupa, bahwa waktu bisa merubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Selatan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
^^^Sudut pandang Ivan Raka Pratama^^^
Cctv
"Hukum tetaplah hukum Raka." Kata Bobi yang sedang menghukumku karena masuk telat.
Sebenarnya saya tidak tega meninggalkan Luna sendiri di rumah sakit, meski kondisinya sudah membaik tapi kayaknya dia masih sakit terbukti dia hanya diam saja saat saya mencium nya untuk membangunkannya.
"Iya Bobi, Iya." Ujarku. Lalu lari keliling lapangan.
Ini kali pertama saya kena hukuman, memang bener yah. Karma itu pasti terjadi.
Beberapa yang lewat menatapku terkejut, mungkin mereka mikir gini.
'ih, ketua osis kok di hukum.' yakin pasti begitu.
Di tatap banyak mata kayak begitu membuat saya mikir, gimana perasaan Luna yang sering di hukum kayak gini? Maksudku, saya yang di tatap kayak gitu berasa harga diriku sudah hilang. Dan gimana dengan Luna? Apakah penting harga diri itu untuk seorang Luna? Entahlah, saya akan menanyakan ini nanti saat dia sudah sembuh.
"Udah kan, Bob." Ujarku, sambil mengatur nafas. Capek banget. Cuma lima putaran saja rasanya capek, gimana sama Luna yang biasa sepuluh putaran.
Benar yah, kita nggak pernah tahu kondisi seseorang sebelum kita merasakannya sendiri, jika saya pikir-pikir Aluna-ku itu perempuan yang tangguh.
Tapi, apa mungkin tangguhnya Luna ada kaitannya dengan masa lalu? Dalam Islam, saya pernah belajar jika seorang suami tidak wajib mengetahui masa lalu isterinya, dan si Isteri pun tidak wajib menjawab pertanyaan masa lalu yang di lontaran suaminya. Tapi saya ingin tahu, karena saya ingin benar-benar yakin dengan perasaan ini.
"Harga diri lo hilang." Bobi tiba-tiba saja berbisik demikian, lalu menyeringai.
Saya menghapus keringat di dahi.
"Lo masih marah sama gue?" Tanyaku, lalu raut wajahnya mendadak sangar. Saya tahu jawabannya seratus persen, dia masih marah.
"Kenapa si lo masih deket sama Luna? Bahkan gue pernah lihat lo pulang bareng di mobil Luna. "
Karena gue suaminya, Bob.
Kataku dalam hati. Tapi kan, saya nggak mungkin bilang begitu.
"Lo udah tahu jawabannya, Bob." Kataku.
Dia tertawa sumbang, "Lo rusak persahabatan kita demi perempuan Ka, lo tahu gue suka banget sama Luna. Dan gue tahu lo itu peka sama perasaan Sela ke lo." Tuturnya.
"Lo emang kurang ajar banget, Ka!" Dia meninju dadaku sedikit kencang, aku reflek memegangi dadaku, sakit tahu.
"Maaf, " kataku saat dia berjalan pergi.
Ini memang sudah jam istirahat, saya hanya ke kelas untuk menyimpan tas, lalu menuju ke ruangan Bu Marina, ada sesuatu yang ingin ku cari tahu.
Saya mengetuk pintu, lalu membukanya perlahan. Disana Bu Marina sedang menulis sesuatu entah apa itu. Lalu tersenyum saat melihatku.
"Ada apa Raka?" Tanyanya,
"Saya butuh bantuan ibu." Aku-ku.
Wajah bu Marina mengkerut, mungkin bingung.
"Boleh minta rekaman cctv pada hari Sabtu di lantai tiga, tepatnya di Aula?"
"Kamu di suruh siapa?" tanya Bu Marina sedikit memiringkan kepalanya ke kanan.
"Saya ingin melihat kebenaran, Bu." Jawabku.
Saya menjelaskan jika Luna sedang sakit karena tertancap paku, saya menuturkan ingin tahu siapa yang dengan sengaja memasukan tiga paku payung itu di sepatu Luna.
Setelah semuanya jelas, saya justru bingung harus berbuat apa. Masa marah-marah kayak Luna? Atau masa saya balas hal yang sama?
"Freya, kelas dua belas jurusan Bahasa." Jelas Bu Marina.
"Jadi, setelah tahu. Apa yang ingin kamu lakukan, atau apa tindakan kamu?" Tanya Bu Marina nampak wajahnya penasaran
Saya mengacak rambutku, lalu merapihkannya kembali saat kuingat kalau ini di sekolah, harus rapih.
"Awalnya saya cuma Penasaran siapa yang ngelakuin ini, tapi sekarang saya juga nggak tahu mau ngapain setelah saya tahu." Gumamku.
Bu Marina tersenyum kecil. "Mau kamu bales?"
Saya menggeleng cepat. "Nggak mungkin Bu, saya nggak mau perbuatan seburuk itu."
"Em... Bu." Gumamku.
"Jangan bilang dengan orang tua Luna yah, orang tua Luna tahunya dia yang berbuat usil." Ujarku pelan.
Bu Marina tersenyum kecil sambil mengangguk. "Itu masalah rumah tangga kalian, kan." Katanya.
Di bilang masalah rumah tangga, entah kenapa saya jadi gugup. Benarkah saya ini seorang suami? Apa saya mampu jadi suami yang bertanggung jawab, dan apa saya mampu merubah Luna jadi Singa betina yang jinak?
...***...
Ummi menghampiriku saat saya duduk untuk mengikuti pelajaran sesudah istirahat.
Lalu memberikan kunci motor padaku.
"Boleh minta tolong nggak?" Tanyaku pada Ummi.
Ummi yang awalnya akan kembali duduk kini menatapku bingung, "apa?"
"Ekhem." Saya berdeham canggung. lalu berdeham sekali lagi
"Gue kan, akhir-akhir ini tinggal di kontrakan dekat sekolah, lo boleh nggak bawain motornya, karena gue kesini pake mobil, gue nggak bisa bawa kedua-nya sekaligus." Tuturku.
"Kecuali kalau gue punya jutsu kagebunsin miliknya Naruto." Imbuhku.
Dia terkekeh "Boleh-boleh." kata Ummi cepat
"Tapi nanti lo anterin gue pulang yah." timpal nya kemudian.
Saya hanya mengangguk meng - iyakan.
*CUPLIKAN EPISODE SELANJUTNYA*
"Gue tunggu di ruang Osis yups!" Kata Melyn sambil melalang pergi.
Ini memang sudah pulang sekolah, dan tiba-tiba ada rapat dadakan untuk menentukan panitia di acara Darmawisata yang tinggal menghitung hari.
Tapi ini saya kebelet pipis, jadi harus ke kamar mandi dulu, kan, nggak lucu di tengah-tengah rapat justru ijin untuk ke kamar mandi.
"Heh." Saya menoleh ke belakang.
Ada Indra disana sambil menjinjing tasnya. Mukanya menatapku dengan tatapan tidak suka.
"Kenapa Luna nggak sekolah?" Tanyanya dengan mata menyelidik.
"Nanti gue pengen pipis-" ujarku, ini saya sudah di ujung masalahnya.
"Apa susahnya tinggal bilang." Ucapnya tajam seraya mencekal bahuku untuk tidak kabur.
Tanganku memegangi bagian sensitifku takut kalau tiba-tiba ngompol.
"Ish." Saya melepaskan cekalannya. Lalu lari sekuat mungkin untuk sampai ke kamar mandi yang tinggal lima langkah lagi.
Phuuf...
Lega banget rasanya!
"Jadi." Kata Indra menodong di pintu kamar mandi.
"Hapenya nggak aktif, dan dia nggak masuk." Katanya seakan mengintrogasiku
Saya membuang nafas gusar.
"Em... Luna sakit." Cicitku.
Dia mengeratkan pandangannya, "Sakit apa?" Tanyanya dengan nada sedikit marah dan sedikit khawatir
"Demam, katanya gejala Tetanus." Jawabku.
"Terus Lunanya ada dimana?"
"Di rumah sakit."
Dia mengepalkan jari-jarinya.
"BODOH lo!" Umpatnya tajam sambil menekan kata 'bodoh'.