Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!
Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.
Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.
Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Kenangan Terindah
Malam Jumat sebelum puasa 1441 H.
Aku dan bang Zamy duduk berdua saja di teras samping menikmati keindahan malam yang istimewa. Nampak bulan terang meski sedikit tertutupi awan berarak. Bintang gemintang pun bekerlipan di angkasa raya, laksana lampu disko yang indah. Sesekali terdengar desingan motor para raja jalanan, dengan knalpot modivikasi membuat suasana bising seketika. Sehabis tarawih masjid masih pula mendengungkan suara dakwah melalui kaset dari seorang ustad kondang yang sudah meninggal. Sesekali suaranya hilang dibawa angin ke arah utara. Bang Zamy masih memegang hape dengan video call bersama anggota grup whatapp Baiti Jannati. Mereka selalu menggoda kami. Sekitar setengah jam video call keluarga selesai. Bang Zamy meletakkan hpnya di atas meja. Dia tersenyum menatapku.
"Bee..., daripada nanti gagal lagi, soalnya hari belum terlalu malam nih, ayo kita keliling cari udara segar yuk." Bang Zamy mengajakku.
"Ide bagus bang, yuk."
"Kita muter-muter saja, tidak usah ganti baju ya, kan di dalam mobil juga." Bang Zamy mengingatkan.
"Okelah, adek hanya mau mengambil jilbab." Aku ke kamar, menarik jilbab kaos merk Rabbani yang tergantung di belakang pintu. Aku masih dengan gamis biruku.
"Jilbabnya terlalu pendek sayang." Bang Zamy kembali ke kamarnya dan keluar lagi dengan selembar sweater abu-abu dengan list merah di leher.
"Udara malam sangat dingin." Bang Zamy mendekatiku lalu memakaikan sweater yang tadi dibawanya. Aku hanya tersenyum, membenarkan hudinya yang tergulung ke dalam.
"Kita kemana?" Aku bertanya sambil berjalan. Bang Zamy sudah menggandeng pinggang kananku. Dia selesai mengunci pintu depan. Berkali-kali dia pun menyempatkan diri melabuhkan ciuman dan kecupan ke wajahku. Aku masih merasakan debaran dan degupan jantung yang tak beraturan. Entahlah, sedikit saja sentuhannya membuatku berbunga-bunga bahagia.
Kami keluar rumah, bang Zamy sudah selesai mengunci pintunya. Masih nampak di teras villa mbak Nindya sekeluarga masih menikmati malam yang indah. Mereka asyik menemani Annisa bermain.
"Nisaaa..., mau ikut tidak? Om mau muter-muter nih." Bang Zamy memanggil Annisa yang asyik bermain peralatan dokter-dokteran. Nisa menatap mbak Nindy, dari gelagatnya dia ingin sekali ikut dengan kami.
"Ayo nak ikut, kita cari sesuatu yang enak." Aku melambaikan tangan ke arahnya. Nisa sudah memegang lutut dan siap berdiri, tiba-tiba saja mbak Nindy memegang lengan kirinya dan menjawab.
"Sudah malam tante..., om.... Annisa sudah mau tidur sebentar lagi." Mbak Nindy sengaja menjawab. Annisa kembali mantap duduk lagi meskipun wajahnya sedikit cemberut. Sepertinya mbak Nindy sengaja tidak mau membiarkan Annisa berada di antara kami, setidaknya untuk saat ini.
"Ayo Ca, apa mau om jemput ke sana...." Bang Zamy masih membujuk.
"Lain kali saja om." Annisa menjawab lantang sambil menatap mbak Nindy. Kami tersenyum berpandangan.
"Nisanya mau ikut, tapi sepertinya mbak Nindy tidak membolehkan." Bang Zamy bicara sambil menuntunku masuk ke dalam mobil. Dia membukakan pintu mobil untukku.
"Ya Allah baaanggg..., adek merasa seperti seorang ratu pake dibukain pintu segala." Aku berseloroh kepada bang Zamy.
"Dirimu memang ratu sekarang Bee. Ratu di hati abang." Bang Zamy menggombal. Aku hanya tersenyum. Dia pun masuk dan sambil menunggu mesin mobilnya benar-benar panas, tangan kirinya memegang dan meremas jari jemariku tangan kananku.
"Abang bahagiaaa sekali bisa hidup bersamamu...," Bang Zamy menatap mataku dalam. Tangan kirinya beralih membetulkan jilbabku yang mungkin miring karena dipakai sambil berjalan. Perlahan kami pergi ke luar rumah, mencari angin segar.
"Dy mau nitip apa? Kami mau keluar nih." Bang Zamy membuka jendela mobil di sebelahnya dan menyapa sekaligus menawarkan Fredy untuk dibelikan sesuatu.
"Nggak ada dok, terima kasih." Fredy menjawab dengan ikut melambaikan tangan. Dia sudah berdiri di samping pagar sejak melihat kami memanaskan mesin mobil. Kami pun pergi. Bang Zamy membawa mobil menuju eks lapangan Merdeka. Karena masih suasana penerapan social distancing, suasana di tempat yang kini disebut alun-alun merdeka itu tampak sepi. Hanya ada beberapa penjual dengan gerobaknya tanpa pembeli. Tidak ada hingar bingar aneka permainan yang disukai anak kecil. Bahkan tidak ada lagi tukang parkir. Kami memutar di seputaran alun-alun, lalu berhenti sejenak membeli dua cup es tebu hijau. Kami menghabiskan minuman di dalam mobil yang berhenti didekat penjual. Sehabis minum es tebu kami bingung sendiri mau kemana.
"Kemana lagi kita sayang? Ke mall males ah. Apa adek mau ke Transmart?"
"Nggak minat ah bang." Aku langsung menjawab. Bang Zamy kembali menatapku.
"Terus kita kemana?" Dia bertanya lagi.
"Nggak tau, nggak ada yang asyik, pulang saja bang kalau bingung." Aku menyarankan.
"Hemzzz..., Okelah kita pulang saja." Bang Zamy melirik jam tangannya.
"Tapi baru jam setengah sembilan sayang. Rumahmu itu tidak pernah berhenti ada tamu." Bang Zamy bertingkah lucu. Dia kemudian menjalankan mobilnya lagi.
"Jadi?" Aku penasaran melihat dia senyum-senyum sendirian. Bang Zamy tidak menjawab.
"Hemzzz..., kita mau kemana cintaku, sayangku, kekasih pujaan hatiku...." Aku menggodanya yang bersiul-siul kecil sambil mengikuti lirik lagu di mobil.
"Nanti juga tau...." Bang Zamy masih tersenyum-senyum sendiri. Hampir lima belas menit dari arah alun-alun menyusuri jalanan yang sepi. Akhirnya dia berhenti di sebuah hotel bintang empat yang berada di jalan Jenderal Sudirman.
"Apaan sih senyak senyum dari tadi." Aku bingung dibuatnya.
"Kita ke hotel yuk." Bang Zamy bicara kemudian langsung menundukkan wajah ke stir mobil. Aku tersenyum, sepertinya dia merasa malu sendiri.
"Kenapa menunduk begitu. Mau ke hotel? Yakin?" Aku memegang tengkuknya. Dia menggeliat. Terdengar suara klakson panjang. Beberapa orang yang berjalan di sekitar menoleh ke arah kami. Bang Zamy kemudian buru-buru menjalankan kembali mobilnya.
"Lha katanya mau ke hotel?" Aku masih mengganggunya sambil tersenyum.
"Kita pulang saja. Kamar kita lebih dari hotel bintang lima." Dia menjawabku dengan tersenyum. Kami kembali menyusuri jalanan yang sepi.
"Adek ada yang mau dibeli lagi?" Dia kembali bertanya kepadaku. Aku hanya menggeleng. Tidak ada lagi yang perlu kupersiapkan untuk malam pertamaku bersama orang yang sangat kucintai. Malam kemarin dengan yuk Zaidar aku telah menyempatkan diri melakukan perawatan diri. Aku sudah luluran, waxing dan juga spa va**na. Aku tersenyum malu sendiri mengingat hal itu. Agak memalukan. Bukankah tanpa spa v*gi*a, semuanya baik-baik saja? Namun aku terpaksa menuruti perintah ibu dan yuk Zaidar. Bang Zamy masih memacu mobil dengan perlahan. Tidak jauh dari simpang jalan lampu merah jalan Mentok, kami berhenti membeli tiga kaleng kecil kacang rebus dan sebungkus wedang jahe. Sepuluh menit kemudian kami sampai ke rumah. Aku memberikan kantong berisi kacang rebus dan wedang jahe kepada Fredy yang tersenyum sumringah melihat kami telah kembali.
"Belumlah semenit perginya tante yang ibu kandungnya bu dokter." Fredy menerima kantong pemberianku sambil memberikan informasi.
"Mama? Sama siapa?" Aku terheran-heran.
"Berdua tadi, sama tante-tante yang gendutan, putih, tinggi." Fredy menjelaskan.
"Dia marah-marah tadi pak. Bilang saya bohong bilang bapak sama ibu keluar. Terus hape nggak diangkat katanya."
"Saya memang nggak bawa hp. Hp di kamar lagi dicas." Aku menjelaskan.
"Kok bisa marah-marah? Heran deh. Nanti bilangin kalau ada yang datang lagi. Kami lagi istirahat." Bang Zamy menjelaskan sambil tersenyum.
"Iya siap pak dokter." Fredy mengiyakan. Kami parkir mobil, dan kemudian terdengar Fredy menarik pintu teralis, lalu menguncinya. Sesampainya di rumah, bang Zamy ke dapur, dia minum dua gelas air putih. Aku juga minum namun hanya menghabiskan setengah gelas saja.
"Dek, abang ngirim data ke direktur dulu sebentar ya." Bang Zamy menemuiku di kamar setelah membaca pesan whatapp. Dia lantas mengambil laptop dan membukanya di meja ruang keluarga. Dia juga menghidupkan tivi.
"Mau kopi?" Aku menawarkan.
"Bolehlah segelas kecil saja ya." Bang Zamy mengiyakan. Aku kembali ke dapur, memasak air hangat dan membuatkan kopi susu buat bang Zamy. Kuletakkan pula kue kering instan di dekatnya.
"Makasih sayang. Abang sebentar saja kok. Bee jangan tidur dulu yaaa...." Bang Zamy mencium pipiku.
"Siapa tau adek ketiduran, abang bangunkan saja." Aku menjawab. Bang zamy hanya mengangguk. Kemudian aku ke kamar lagi, mulai merapikan tempat tidur dengan sprei berwarna putih, kemudian menaburkan sisa kelopak bunga mawar ke atas tempat tidur seperti yang disarankan yuk Zaidar, kuredupkan lampu ruangan, menggantinya dengan lampu tidur kehijauan. Kemudian aku membersihkan sekujur badanku lagi. Mengganti baju dengan baju tidur pendek. Sempat kupegang lingerie pemberian ibu, namun aku malu sendiri untuk memakainya. Kuciumi bau badanku lagi, memastikan tidak ada lagi bau saos tiram yang menempel di badan. Kupakai sedikit minyak wangi dengan aromaterapi untuk membantu tubuhku menjadi lebih rileks lagi. Kupakai bedak dan lipstik tipis. Ini malam pertamaku sebagai istrinya bang Zamy, aku tidak ingin mengecewakannya. Maka sudah kutempa mental, fisik dan emosionalku untuk memberikan yang terindah. Aku berharap, semoga malam pertama kami akan menjadi pengalaman yang menyenangkan dan tak terlupakan seumur hidup.
Semua pekerjaanku telah selesai, sementara bang Zamy masih bekerja di luar, aku kembali asyik dengan ponselku. Membaca ucapan-ucapan selamat atas pernikahan, baik di facebook, whatapp, instagram dan telegram. Kubalas satu per satu. Namun belum selesai membaca dan membalas pesan-pesan tersebut hingga sepuluh, tiba-tiba bang Zamy sudah masuk ke dalan kamar.
"Bee...?" Bang Zamy masuk dan meletakkan hapenya ke atas meja samping tempat tidurku.
"Iya bang." Aku bangkit setelah sebelumnya hanya menelungkup di kasur sambil bermain hape. Kurapikan rambutku yang terurai.
"Belum tidur?" Bang Zamy berjalan ke arahku.
"Belum mengantuk." Aku menjawab sambil mencoba mengikat rambut dengan gelang ikat rambut di pergelangan tanganku. Leherku yang putih jenjang dipenuhi anak rambut perlahan tersingkap. Aku menggulungnya sekali untuk diikat. Namun belum sempat aku mengikatnya, bang Zamy sudah di dekatku, melepaskan ikat rambut di tanganku, membiarkan rambutku yang kemerahan bagian depan terurai sebahu. Bang Zamy menutup semua aplikasi yang sedang kubuka di hape lantas meletakkannya persis di samping hapenya. Sekembalinya di atas kasur, Bang Zamy merebahkan badanku yang duduk tegak sebelumnya. Dia ikut setengah berbaring di sebelah kananku. Aku menurut saja ketika kemudian, dengan perlahan dan lembut dokter tampan itu mulai membelai rambut dan pipi kiriku. Sementara suara ceramah melalui kaset di masjid telah pula berhenti. Hanya sesekali terdengar suara jangkrik di sekitar pot tanaman sekitar rumah. Sesekali pula kembali terdengar deru suara beberapa kendaraan lewat. Kami tak peduli lagi. Ruangan yang memang kedap suara ini, hanya mendengar semuanya secara samar saat pintu terkunci.
"Bee...,"
"Emmm..." Aku hanya menggumam halus.
"Terimalah laki-laki ini sebagai ayah dari anak-anakmu." Bang Zamy berbisik di telinga kananku. Aku hanya mendehem dalam desah tertahan. Tiupan nafasnya semakin berubah. Hangat dan membangkitkan gairah. Dia perlahan menundukkan wajahnya, mencium wajah, bibir dan leher jenjangku berkali-kali. Sementara tangannya berpindah-pindah dari jemari, pinggang dan di organ kewanitaan yang menjadi daya tarik pada wanita sepertiku, payudaraku yang kenyal dan beisi karena rajin berolahraga menjadi sensasi tersendiri.
Malam mulai beranjak, menyertai pelukan, kecupan, dan sentuhan-sentuhan yang semakin nakal saja, sentuhan yang semakin menghasilkan keringat dan meningkatkan suhu di tubuh kami. Keringat yang bersatu, ludah yang menyatu semakin membangkitkan suhu tubuh yang panas, mulai panas dan semakin panas saja meski sudah memasang dua buah AC di kamar ini. Seekor cicak menyembul kepalanya dari jam dinding dan spontan sembunyi kembali melihatku yang tidak lagi hanya menunggu. Tanpa pengalaman karena aku sangat menjaga kesucian dari banyak teman laki-laki, tanpa harus kursus, reaksi kemesraan kami terbangun dengan sendirinya, bersama kami mulai terbuai dengan suasana. Semakin jauh, semakin melambung dan semakin tidak peduli lagi dengan hingar bingar di luar ruangan. Hanya desahan hangat dalam suhu ruangan yang dingin masih terdengar diselingi lenguhan-lenguhan manja dari gigitan-gigitan yang lembut. Seperti selayaknya, perlahan-lahan, selembar demi selembar pakaian kami terlepas dalam ketidaksadaran. Semua terjadi begitu saja, tanpa harus menunggu komando ataupun aba-aba. Iya, malam ini, aku telah menghabiskan waktu bersamanya, aku pun telah menyerahkan semua yang bisa kuberikan kepada kekasih halalku, tanpa batas. Akupun menerima apa yang selayaknya kuterima sebagai seorang istri. Sungguh, malam ini menjadi malam yang paling indah, malam teristimewa pertama dalam hubungan kami. Tak ada lagi yang tersembunyi, ludah kami telah tercampur, keringat pun telah menyatu. Kulit ari telah saling bersentuhan. Berbagi kesenangan dan kenyamanan dunia dalam bisikan-bisikan mesra yang membangkitkan gairah. Akhirnya kami terhempas bersama dalam kenikmatan surga dunia, melewati satu fase demi kehadiran generasi kami selanjutnya.
"Terima kasih sayang...." Hanya itu yang terdengar setelahnya. Bang Zamy memeluk dan menciumku sembari menarik selimut. Dibawah selimut putih, kami saling memiringkan badan, berhadap-hadapan saling tatap penuh kebahagiaan.
"Bee...." Bang Zamy kembali erat memelukku.
"Emmm...." Aku hanya menggumam manja.
"Apa sudah Ka O?" Bang Zamy mulai menyibak-nyibakkan anak rambutku.
"Tidak." Aku dengan berani menantangnya.
"Kalau begitu akan ada ronde tambahan." Dia berbisik di telingaku, kemudian menarikku lagi semakin masuk ke pelukannya. Semangatnya kembali bangkit. Lalu perlahan-lahan dia mengumpulkan tenaga, dan kembali mengajakku bersama mendaki puncak cinta yang menyehatkan. Aku melihatnya begitu liar malam ini. Seperti seorang pendaki yang kehausan, dia menenggak seteguk demi seteguk kejernihan mata air pegunungan, hingga dahaganyapun hilang dan dia terpuaskan.
***