Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Taring Terakhir
...•••Selamat Membaca•••...
~02:47 AM – Hell’s Kitchen, New York~
Asap membumbung dari barisan gudang tua di sisi barat kota. Hujan menetes perlahan, menyamarkan suara langkah-langkah senyap yang menyusup dari segala penjuru. Di tengah kegelapan, Vindex telah mengepung benteng terakhir Don Giaraldi—sebuah kompleks pelabuhan kecil yang dijadikan markas pribadi, lengkap dengan bunker bawah tanah dan sistem keamanan tiga lapis.
Rayden berdiri di atap gedung seberang, jas hujan hitamnya berkibar ditiup angin malam. Di tangannya, sebuah pistol silencer dan belati titanium berkilat. Di telinganya, suara Kovacs dari komunikasi internal, tenang dan datar.
“Zona timur bersih. Kami masuk dari dermaga belakang. Lima menit ke titik Alpha.”
Rayden mengangguk, “Bersiap.” Matanya tajam seperti binatang yang tak lagi mengenal takut, ini bukan sekadar misi. Ini eksekusi kemenangan yang sudah selangkah untuk berkuasa.
~03:10 AM~
Ledakan kecil menghancurkan gerbang samping. Tim Vindex bergerak cepat dengan senyap, mematikan, dan tak terlihat.
Mereka melumpuhkan penjaga dengan senjata bius, lalu menyusup ke bunker utama lewat jalur bawah tanah yang ditemukan lewat cetak biru tua pelabuhan tahun 1980-an.
Tapi Giarald sudah bersiap.
Di ruang utama bunker, Don tua itu duduk tenang di singgasananya yang dikelilingi marmer dan emas, seperti kaisar bayangan.
“Rayden,” suaranya berat, penuh racun. “Kau pikir bisa menggulingkan dunia yang kubangun selama 50 tahun?”
Rayden melangkah masuk. Tatapannya dingin dan senyumannya menakutkan.
“Kau sudah terlalu lelah mengurus semua ini, berikan kesempatan memimpin itu padaku. Jika kau keras kepala, maka kau akan tenggelam dalam darah, Giarald.”
Giarald tersenyum lalu dia menekan tombol merah di samping kursinya. Alarm berdentang. Perang dimulai. Rayden memasang ancang-ancang untuk menerima serangan.
~03:14 AM~
Koridor bunker berubah menjadi medan perang. Peluru melesat, granat asap meledak, dan darah menyembur di lantai.
Rayden bertarung seperti iblis yang menusuk, menembak, menendang, menerobos rintangan tanpa takut. Tapi di balik lorong ketiga, saat ia berhasil melumpuhkan dua penjaga terakhir, Giarald muncul dari balik dinding rahasia, membawa senapan otomatis FN SCAR dan rompi baja.
Tembakan menghantam bahu Rayden. Tubuhnya terlempar menghantam dinding. Darah membanjiri jas hitamnya.
“Kau bukan dewa, Rayden,” Giarald menggeram sambil mendekat, “Kau hanya anak haram yang penuh amarah.” Rayden batuk darah. Tangannya gemetar tapi di balik rasa sakit, matanya menyala.
“Jangan sebut aku anak haram.” Giarald malah tertawa mengejek.
“Kau menolak fakta bahwa kau memang anak haram, hasil perselingkuhan Mark dengan gundiknya.” Rayden mengepalkan tangannya dengan kuat, tubuhnya gemetar penuh emosi.
“Dan kau... sudah terlalu lama duduk di singgasana.”
Dengan sisa tenaga, Rayden melemparkan belati ke arah saklar listrik di atas, membuat ruangan gelap total. Ia menghilang dalam kegelapan. Giarald berteriak murka, membabi buta menembak udara.
Saat lampu cadangan menyala merah, Rayden sudah di belakangnya. Menghantam Giarald dengan kuat, perut, leher, kepala hingga kaki.
Terjadi pertarungan sengit di antara mereka berdua. Hingga Rayden yang mulai kehabisan tenaga, mengambil senjata Giarald.
Satu tembakan di leher. Dua tembakan di dada.
Giaraldi terjatuh, napasnya tersisa dalam racauan lirih dan darah. Rayden menghabisi Giarald tepat di hadapan ratusan anggotanya yang saling bertarung dengan anggota Rayden. Semua terdiam menyaksikan kematian Giarald.
Rayden tersungkur di sisinya, darahnya sendiri membentuk genangan kecil. Nafasnya berat. Ia sekarat di samping mayat Giarald.
~03:30 AM~
Kovacs dan Aria menemukan Rayden setengah hidup. Tim medis Vindex segera mengevakuasi ke ambulans hitam tak bertanda. Sepanjang jalan ke fasilitas medis rahasia, Rayden berjuang untuk tetap sadar.
“Aku harus bertahan, menjadi iblis yang baru...” lirihnya.
Rayden menatap langit-langit mobil. Dunia bergoyang. Kekosongan sudah terjadi di organisasi Giarald, tugas Advait saat ini adalah menghancurkan pertahanan yang telah dibangun oleh Giarald lalu menaklukkan semua anggota Giarald.
Rayden diobati oleh tim medis, melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan beberapa peluru di tubuhnya. Sebelum dia pingsan, wajah gadisnya selalu bermain di pelupuk mata.
“Aku akan menjemputmu, Piccola.”
...***...
Selama hampir sepuluh bulan, Rayden dan Maula tak pernah komunikasi lagi. Maula paham bahwa kondisi Rayden kini dalam sebuah misi mematikan, dia selalu berdoa ke gereja untuk keselamatan Rayden.
Hampir sepuluh bulan pula dia keluar dari tanah Palestina. Dia menyuarakan dengan berani dan membentuk sebuah organisasi yang akan mengumpulkan bantuan untuk Palestina.
Maula sedang istirahat di kantin rumah sakit, setelah ini dia akan melakukan praktek bersama dokter ahli bedah yang cukup terkenal namanya di kampus dan rumah sakit itu. Dokter dari Barcelona yang sudah dipindah tugaskan ke Madrid dua hari yang lalu.
Jadwal praktek di mulai, Maula sudah siap dengan semua perlengkapannya. Dokter yang ditunggu akhirnya muncul dengan senyuman manis tapi dingin. Maula membulatkan matanya karena itu adalah pria yang ikut memanah dengannya di Gaza sepuluh bulan lalu.
Ana berbisik di telinga Maula sambil tersenyum menatap dokter tampan itu.
“Dr. Lucan Alavedra, MD. Ahli Bedah Toraks & Onkologi Bedah – Barcelona. Usianya 28 tahun, asal Barcelona, Spanyol. Lulus dari Universidad Autónoma de Barcelona, diusia 22 tahun. Residensi & Spesialisasinya diselesaikan dalam waktu singkat lewat program percepatan untuk dokter muda jenius, dan yang terbaik adalah, Fellowship: Bedah Toraks & Onkologi di Charité, Berlin, dan Johns Hopkins, AS.” Maula memukul lengan Ana lalu menjitak kening temannya itu.
“Kau menguntit dia atau bagaimana? Kenapa kau begitu detail tahu dia?” Ana hanya nyengir.
“Dia single.” Maula menghembuskan napas lalu menatap Ana sambil menggelengkan kepala.
“Siang, Senorita Maula.” Lucan menyapa Maula sambil tersenyum, yang membuat mahasiswa lain menatap Maula dan Lucan bergantian.
“Siang, Dok.” Maula membalas dengan kaku.
Praktek dimulai, Lucan memberikan penjelasan dengan detail kepada para mahasiswa itu. Selama jam praktek, tak ada yang lengah satu pun.
Setelah lebih dari dua jam, mereka semua bubar dan Maula merasa sangat lelah dengan semua itu.
Dia duduk di bangku tunggu sambil meminum air mineral dalam tumbler kecil miliknya.
“Mau roti?” Maula mendongak menatap pria yang berdiri di depannya, pria yang masih mengenakan jas putih dengan name tag yang bertuliskan Dr. Lucan Alavedra, MD.
“Terima kasih,” ucap Maula setelah menerima roti pemberian Lucan.
“Terima kasih atas bantuan sepuluh bulan yang lalu di Gaza. Aku tidak sempat mengucapkannya padamu karena anda keburu menghilang.” Lucan meminum air di botol lalu tersenyum.
“Aku suka melihat keberanian dan kemanusiaanmu itu. Kau luar biasa, sayangnya, Mr. Leo tidak melihat aksi heroikmu yang hebat.” Maula menatap Lucan yang kini juga menatapnya.
“Anda kenal papa saya?” Lucan memperbaiki duduknya dan menghadap Maula.
“Bukan hanya kenal, tapi dekat. Saya sangat menghormati Mr. Leo Maximillian.” Maula mengangguk.
“Tapi papa tidak pernah menceritakan kamu.” Lucan tertawa ringan.
“Untuk apa juga dia menceritakan aku padamu, memang kau ingin tahu diriku.” Maula langsung menggeleng.
“Bukan begitu.” Mereka berdua saling tertawa, waktu istirahat yang singkat ini digunakan oleh mereka untuk saling mengenal satu sama lain.
...•••Bersambung•••...
...----------------...