Dokter Naura
Berkali-kali kubaca whatapp grup keluargaku. Grup yang hanya beranggotakan tujuh orang saja. Aku, tiga orang kakak laki-lakiku, satu iparku, ayah dan ibu. Melalui grup bernama 'Baiti Jannati' yang dibuat ibu ini, setiap hari kami berkomunikasi walaupun hanya sekedar menanyakan sudah makan atau belum.
"Bismillah..., selamat pagi anak-anak ibu yang tersayang. Apa kabar kalian Subuh ini?" begitu percakapan pembuka whatapp di subuh ini. Ibuku, Yuni Archania, dia ibu kami berempat yang senantiasa setiap hari membangunkan kami melalui pesan-pesannya. Biasanya pesan ibu baru akan berhenti jika semua anaknya sudah merespon. Padahal usia kami tidaklah muda lagi.
"Alhamdulillah luar biasa ibu, berkat doa ayah ibu abang Fathur sehat dan semangat," Bang Fathur, kakak tertuaku yang pertama menimpali pesan ibu Subuh ini. Sepintas sebelum mengetik aku melihat ibu sedang mengetik pesan. Belum selesai aku mengetik, pesan ibu sudah masuk kembali.
"Hamdulillah sayang kalau kamu sehat, bagaimana perkuliahanmu? Apakah dosen juga diliburkan karena virus corona ini?" pesan ibu kembali masuk.
"Tidak bu, perkuliahan memang tidak libur, hanya saja dialihkan tanpa tatap muka, jadi semua perkuliahan menjadi online. Beruntungnya mahasiswa-mahasiswaku sudah terbiasa dengan metode daring," Bang Fathur langsung menjawab, sementara aku belum juga mengenter ketikanku.
Bang Fathur adalah seorang dosen di kampus terkenal nomor satu di Yogyakarta. Sebagai salah seorang alumni terbaik S1 dan S2 di kampus tersebut, bang Fathur tidak menganggur sedikitpun sehabis wisuda. Dia langsung diangkat menjadi dosen dengan perjanjian kerja atau dosen kontrak dan mengajar di Fakultas Biologi. Belum setahun menjadi dosen kak Fathur menemukan tambatan hati seorang dosen di kampus yang sama, seorang wanita cantik berasal dari Palembang, Vioni namanya, dan saat ini sedang hamil besar anak pertama mereka.
***
Aku kembali melihat ketikanku, sepintas tulisan hijau mulai menampilkan bang Zamy sedang mengetik. Tumben kakakku yang nomor dua ini baru terbangun, biasanya dia mewakili ibu membangunkan kami agar segera sholat Subuh.
"Hai ibu, hai bang Fathur, alhamdulillah sehat, agak lelah karena jam 12 malam tadi Zamy habis tindakan seorang pasien dengan bayi lehernya terlilit tali pusar." Bang Zamy membalas pesan.
"Tapi sehat kan nak? Pasienmu tidak kenapa-kenapa kan? Lancar semua kan?" seperti robot tangan ibuku begitu cepatnya mengetik.
"Iya ibu alhamdulillah semuanya berjalan lancar," jawab Bang Zamy. Dialah kakak keduaku yang sedari kecil selalu menjagaku. Dia selalu rela mengalah demi aku. Kecerdasannya memang dari kecil sudah luar biasa, begitu cerita ibu. Dari SD sampai SMA tidak pernah keluar dari juara 3 besar. Hobinya pelajaran Kimia, Biologi, Fisika, Matematika. Dia menamatkan S1 Kedokteran selama tujuh semester, co *** tiga semester dan setelah mendapat sertifikat profesi mengambil spesialis kebidanan dan kandungan. Dia menjadi residen selama sembilan semester.
Sekarang bang Zamy sudah memiliki izin praktik sendiri di kota Pangkalpinang dan tercatat sebagai Wakil Direktur dan sekaligus dokter tetap pada sebuah rumah sakit milik PT. Timah, tbk. Usia bang Zamy sekarang sudah tiga puluh dua tahun, namun dia belum menikah. Dia baru sukses di karir saja, namun belum di dunia rumah tangga.
Hampir setiap malam pasien yang datang ke tempat praktiknya lebih dari dua puluh orang. Tidak butuh waktu lama, dia terkenal di kota berpasir hitam ini. Hal utama penyebab dia disukai selain karena keramahannya, juga karena wajahnya yang tampan, body atletis dengan senyum kharismatik.
Bang Zamy sudah berkali-kali hampir menikah namun hubungannya selalu kandas. Rata-rata orang yang pernah dekat dengannya adalah dari kalangan medis juga, rekan seprofesi. Namun entah apa penyebabnya sehingga sampai kini dia masih melajang dan hubungannya selalu kandas. Ibupun seperti tak menghiraukannya. Sangat berbeda ketika Bang Fathur belum menikah dulu, ibu sibuk mencarikan calon menantu. Berkali-kali ibu mengirimkan foto anak gadis teman-temannya melalui grup whatapp keluarga untuk bang Fathur, semua ditolak dengan segala alasan. Namun petualangan ibu mencarikan menantu untuk bang Fathur berhenti sendiri ketika tiba-tiba bang Fathur mengirimkan sebuah foto dengan caption 'Apakah dosen cantik ini diterima masuk grup?' Ibu langsung merepet bertanya-tanya dan menjadwalkan untuk bertemu dengan wanita dan keluarga wanita yang dimaksud bang Fathur. Walaupun awalnya sempat agak keberatan, namun akhirnya ibu dan ayah merestui hubungan bang Fathur dan Vioni.
***
"Tingtong-tingtong," sedikit kaget aku kembali membaca pesan yang masuk di grup whatapp keluargaku.
"Syukurlah, eh anak gadis Ibu mana ini? Belum bangun ya sayang? Masih capek nak?" Ibu kembali merepet lewat tulisan. Aku hanya tersenyum. Terbayang-bayang wajahnya yang sedikit keras karena telah menempa ke-empat anaknya menjadi orang sukses. Wajah yang seperti copy dan paste dengan wajah bang Zamy. Persis! Wajah putih sedikit runcing dengan hidung mancung menjadikan bang Zamy semakin tampan dan berwibawa. Bicaranya selalu disertai senyum tipis, suaranya lemah lembut menenangkan. Makanya tak heran jika Maya, sahabatku dari TK, anak teman ibu yang sama-sama ASN di kota kecil, kota bersejarah dengan warisan seribu kue, kota tempat Bung Karno Hatta pernah diasingkan yaitu kota Muntok, kota yang terletak di sebelah Barat propinsi Bangka Belitung, selalu mencari-cari alasan agar bisa menemui bang Zamy. Sejak masa puber duduk di bangku SMP hingga sekarang sudah menjadi karyawan tetap bank plat merah, Maya masih terus berusaha mendapatkan bang Zamy.
"Baik Ibu yang bawel, Naura sehat-sehat di sini. Tapi bete bu, beneran deh. Panitianya nggak banget pokoknya. Masa habis acaranya dibuka, langsung ditutup dengan tandatangan administrasi, alasannya virus corona. Kenapa tidak kemarin saja dicancel acaranya. Jadi nggak ngerepotin orang banyak. Sebel deh bu...," giliranku yang mengetik panjang lebar ditambah emoticon kesedihan bermacam-macam.
"Sabar Bee, orang sabar badannya suburrrr...." tiba-tiba saja masuk pesan dari kakak ketigaku. Bang Rahman, sepertinya dia baru selesai sholat Subuh.
Oke, Naura namaku, panggilan sayang ketiga kakakku adalah Bee, kenapa Bee? Kata mereka pipiku yang sedikit menul ini pernah digigit lebah saat mengikuti mereka bermain di atas pohon. Kejadian saat SD itu tidak terlupakan. Pipiku benjol, sakit dan gatal hingga tidak masuk sekolah selama seminggu. Waktu itu, ibu marah besar kepada ketiga kakakku karena membawaku bermain di atas pohon. Nah saat disengat lebah itulah aku mengikrarkan diri jika sudah besar ingin menjadi seorang dokter. Dan sekarang, setelah puluhan tahun berlalu, akulah Dokter Naura, dokter spesialis anak di kota Pangkalpinang yang terkenal bukan hanya karena kecantikannya namun kelembutannya melayani pasien. Mereka bilang, kulitku yang putih berhidung mancung dengan mata besar berbulu lentik, bibir bangir dan pipi sedikit menul seperti boneka nampak sempurna untuk kecantikan wanita Asia. Aku berhijab, namun tak urung banyak yang mengomentariku Dokter Turki. Kata orang-orang, wajahku sedikit mirip dengan bang Fathur yang tinggi putih hidung mancung. Pekerjaanku sama dengan kakak keduaku, bang Zamy. Kami dibuatkan oleh ayah dan ibu sebuah klinik untuk dikelola bersama, 'Klinik Honey Bee' namanya. Hanya saja, saya seorang Dokter ASN, dokter tetap di Rumah Sakit Umum Depati Hamzah, sedangkan kakakku bukan ASN, dia Wakil Direktur termuda Rumah Sakit Bakti Timah milik PT. Timah, tbk.
"Halo Bee? Kemana sih nih anak kok gak ada lagi?" kulihat layar handphone ku kembali masuk pesan dari bang Rahman.
"Hey Bee..., Naura adikku sayang, dirimu sudah tidurkah?" Lagi-lagi balasan bang Rahman menggodaku.
"Iiihhh..., bang Rahman, mana mungkin adikmu ini tidur lagi pagi-pagi habis Subuh, tak sudi tau! Ntar rejeki dipatok ayam jago!" Aku pun membalas pesan whatapp grup keluarga penuh cinta ini.
"Sudah dulu ya Ibu, abang-abang sayang, eh, ayah mana sih kok gak nimbrung?" Aku kembali mengirim chat. Kulihat ibu langsung mengetik pesan. Selang beberapa detik kemudian muncullah sebuah gambar dan sebuah video, ayah sedang menjentik-jentikkan jari telunjuk dan jempol kanan ke arah burung kacer di dalam sangkar emasnya. Captionnya begini 'ini ayahmu sedang bercinta dengan selingkuhannya. Anggi. Kacer barunya itu dikasih nama Anggi. Ibu suruh ganti saja mbak Yem atau Lek Ti gitu, dia nggak mau. Ibu akan cari tahu siapa nama Anggi di masa lalu ayahmu."
"Hahaha..., ayolah ayah, mengakulah...." pesan Mbak Vioni masuk disertai emoticon ketawa terpingkal-pingkal.
"Ayo bubar bakalan ada perang dunia ke ke-empat nih," Bang Zamy mewhatapp lagi.
"lha perang dunia ke-tiganya mana?" Bang Rahman menimpali.
"Ini si corona ini, musuh dunia. Inilah perang dunia ketiga." Bang Zamy pamit dan kasih emot dada bye -bye.
***
Sedangkan aku? Aku kembali melihat koperku sambil menarik charger hp yang masih menempel di colokan kamar hotel. Kemarin disuruh Direktur Utama Rumah Sakit Umum berangkat mengikuti Forum Grup Diskusi bersama 200 Dokter Anak di Indonesia. Sesuai Surat Tugas, rencananya acara berlangsung selama 4 hari, namun kemarin sore kami check in, registrasi, jam 9 malam pembukaan dilanjutkan sedikit diskusi dengan jarak per satu kursi dikosongkan, social distancing dan jam 12 malam penutupan. Acara diselesaikan secara kekeluargaan. Itulah yang membuatku kesal.
"Adek, nanti dijemput siapa?" tiba-tiba masuk lagi pesan melalui jalur pribadi ibu.
"Adek bawa mobil ke bandara Ibu, kemarin dititip di parkiran VVIP." Aku membalasnya.
"Oh ya ampun naaakkk-naaaakkk..., cobalah minta antar Abangmu," (maksudnya Bang Zamy)
"Kemarin abang kelihatan sibuk bu, lagian adek kan bisa nyetir sendiri kok." Aku membalas pesan ibu.
"Iya bisa nyetir sendiri, tapi penjagaanmu itu lho..., zaman sekarang ini, mata laki-laki ya Allah..., lihat cewek cantik langsung cengar-cengir-cengar-cengir menjijikkan...." balas ibu lagi.
"Bismillah ibu, insyaAllah semua aman." Aku meyakinkan ibu.
"Iyalah nak, hati-hati sayang ya, jangan lupa pakai masker. Adek naik Garuda kan?"
"Iya ibu."
"Besok ayah sama ibu akan ke Pangkalpinang, ibu ikut ayahmu, katanya ada rapat bersama Pinca bank plat merah."
"Baiklah. Ibu ke rumah di klinik apa ke rumah di Jalan Baru?" maksudku kalau di klinik itu tempatnya bang Zamy. Di jalan baru, aku beli sebuah rumah jadi dua bangunan. Satu rumah besar dan satu villa agak menjorok ke atas dari rumah induk. Karena sungkan walaupun dua beradik tinggal serumah dengan saudara saat sama-sama belum ada yang menikah. Sedangkan orang tua kami tinggal bersama bang Rahman di kota Muntok, berjarak dua jam lebih dari tempat domisili kami.
"Lihat sikonlah nanti nak. Nanti ibu kabarkan."
"Oceee bu...."
***
Beberapa menit kemudian grup keluarga sudah sepi, aku menggeser-geserkan layar membaca pesan whatapp yang masuk. Dan kembali tersenyum simpul saat membaca pesan dari Irwan, seorang polisi yang beberapa minggu ini baru mendekatiku.
"Kapan pulang Dok? Hatiku sakit minta diobati. Melihat meja praktikmu kosong semalam saja, nafsu makanku menghilang seketika."
"Otw bandara yang sepi karena corona."
"Tapi bandara tidak sesepi hatiku yang jauh darimu."
Aku tersenyum dan mengiriminya emoticon mengoloknya. Polisi ini memang pantang mundur, batinku sambil duduk di kursi grab yang kupesan Subuh tadi.
"Soeta buk?"
"Iya pak."
Mobil pun melaju. Aku kembali membaca pesan-pesan manis di grup keluargaku. Diselingi membalas beberapa pesan yang tadi belum sempat kubaca termasuk pesan seorang polisi ganteng yang usianya jauh dibawahku, Irwan.
*****bersambung*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Miamia
ini aku kok baru Nemu cerita se seru ini,,,baru buka bab pertama aja udah cengar-cengir sendiri 😅, lanjut lah seru 🤗
2022-10-19
1
Elly Safitri
aku mampir kak,baru mulai udah asyik
2022-10-13
1
Juju Siti Julaeha
seru juga keluarga dokter ini👍
2022-10-11
1