Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.6
© Kamar Kos Aluna: Malam yang Sunyi ©
Jam di meja kecil Aluna berdenting pelan, jarum pendek dan panjang bertemu di angka satu. Tengah malam.Aluna duduk bersandar di kepala ranjangnya, selimut tipis membungkus tubuh mungilnya. Pikirannya masih melayang pada kotak sepatu misterius bertuliskan Happy Birthday My Baby Chubby, Aluna dan makanan mewah yang dikirim untuknya,semuanya terasa salah. Ada seseorang di luar sana yang sudah pasti mengawasinya,dan panggilan 'BABY CHUBBY',panggilan tak biasa yang pertama kalinya dia terima.
Reta, yang sudah sangat mengantuk, mematikan laptop dan meletakkannya di atas meja. Ia menguap lebar, lalu menatap Aluna dengan malas.
"Aluna... aku malas ke kamarku. Aku tidur di sini saja, ya?" gumam Reta sambil menarik selimut Aluna tanpa menunggu jawaban.
Aluna mengangguk pelan. "Iya kak."
Sejujurnya, Aluna lega. Meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, kehadiran Reta membuat ketakutan di hatinya sedikit mereda. Ia tidak perlu menghadapi malam ini sendirian.
Reta berbaring di sebelah Aluna, membalikkan badan, dan dalam hitungan detik, ia sudah terlelap.
Namun, Aluna masih terjaga. Matanya menatap kosong ke langit-langit. Bayangan seseorang yang memanggilnya 'Baby Chubby' terngiang di kepalanya. Siapa dia?
Aluna menghela napas. Ia memejamkan mata perlahan, memaksa dirinya untuk tidur.
© Markas Darren: Rencana Gila yang Kian Membara©
Di sebuah ruangan gelap di lantai bawah markas Darren, tiga pria duduk mengitari meja kayu besar.Darren bersandar di kursinya, rokok di tangannya mengepulkan asap tipis, sementara mata dinginnya menatap layar ponsel,rekaman video reaksi ketakutan Yasmin dan keluarganya yang dikirim Hernan.
Senyum tipis menghiasi wajah Darren. "Bagus..." bisiknya, hampir seperti desisan ular.
Di seberangnya, Hernan menyeringai puas, tangannya sibuk memainkan pisau lipat. "Sepertinya mereka sudah cukup takut, Bos. Yasmin kelihatan hampir kehilangan akal."
Arga, pria tinggi besar dengan sorot mata tajam, ikut terkekeh. Ia memutar belati kecil di jarinya, membuat kilatan logam memantul samar di bawah lampu temaram.
Namun, tawa Darren tiba-tiba mereda. Matanya menggelap, ekspresinya mengeras. "Tapi ini belum cukup..."
Hernan mengangkat alis. "Belum cukup?"
Darren meletakkan ponsel ke meja dengan bunyi keras, membuat Hernan dan Arga tersentak."Yasmin bukan cuma merebut makanan Aluna," kata Darren pelan, nada suaranya penuh kebencian dingin. "Dia... menyakiti Aluna."
Arga menyipitkan mata. "Maksud Bos?"
Darren mengatupkan rahangnya, jelas sedang menahan amarah. "Video siang tadi. Kau lupa? Yasmin sengaja menyenggol tangga di toko buku... Sudut tajam tangga itu mengenai pelipis Aluna."
Sejenak ruangan itu hening.
Arga tersenyum, bibirnya tertarik ke satu sisi. "Jadi... ini bukan sekedar mengambil makanan. Dia sudah melukai gadis kesayanganmu."
Hernan mengangguk pelan. "Harus ada pelajaran tambahan,bos."
Darren mengangguk. "Aku ingin mereka tidak tidur malam ini. Kita buat peringatan yang lebih mengerikan."
Hernan menyeringai lebar. "Kita buat mereka kehilangan kewarasan."
Arga tertawa pelan, jari-jarinya masih memainkan belati. "Aku suka ide itu."
Darren berdiri, wajahnya kini diliputi obsesi dan kekejaman. "Kita mulai sekarang."
Mereka bertiga mengambil topeng hitam yang tergantung di dinding dan mengenakannya.
Permainan baru saja dimulai.
© Rumah Yasmin: Teror Di Tengah Malam©
Di rumah Yasmin, suasana jauh dari tenang.
Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi Yasmin dan kedua orangtuanya masih terjaga, ketakutan. Ibunya duduk di sofa, wajahnya pucat, sementara ayahnya berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan napas berat.
"Ini semua salahmu!" bentak ayah Yasmin, suaranya bergetar karena marah dan takut. "Siapa yang kau sakiti, Yasmin?!"
Yasmin mengepalkan tangannya. "Aku cuma... mengambil makanan Aluna! Itu saja!"
Ayahnya menghempaskan tangannya ke meja. "Kau yakin itu saja? Lalu kenapa kita diteror seperti ini?! Ada tulisan darah di dinding kamarmu! Ponselmu mati sendiri! Dan ada suara bisikan aneh!"
Ibu Yasmin mulai menangis, tangannya gemetar hebat. "Siapa yang kau sakiti, Yasmin? Apa ini ada hubungannya dengan Aluna?"
Yasmin mendesis. "Aluna... Aluna... Kenapa semua orang hanya memikirkan dia? Aku cuma menyenggolnya sedikit! Itu bahkan bukan luka serius!"
Tiba-tiba...
Tok.. Tok... Tok..
Suara pelan terdengar dari jendela ruang tamu.
Ibu Yasmin membekap mulutnya, matanya membulat ketakutan.
Ayah Yasmin segera berdiri, matanya liar. "Siapa di sana?!"
Tidak ada jawaban.
Hening.
Kemudian...
Tok... Tok... Tok...
Kali ini lebih keras.
Ayah Yasmin menghambur ke jendela dan menarik tirai. Namun, yang terlihat hanyalah kegelapan pekat.
Kemudian....
JLEB!
Sebuah batu melayang menembus jendela, membuat kaca pecah berserakan.
Ibu Yasmin menjerit. "Astaga!"
Ayah Yasmin mengumpat, matanya memerah karena marah dan takut. Ia berlari ke luar rumah, mencari siapa pelakunya,tapi halaman kosong.Hanya selembar kertas yang tertempel di pagar rumah mereka.
Tertulis dengan tinta merah:
"Kau menyentuh yang bukan milikmu, Yasmin. Ini baru permulaan.Kau menyakiti kesayanganku."
Ayah Yasmin meremas kertas itu, wajahnya memerah. "Kau membuat kita dalam bahaya, Yasmin!"
Yasmin berdiri kaku di ambang pintu, tubuhnya gemetar. "I-ini pasti ada hubungannya dengan Aluna...,aku yakin. Seseorang yang tergila-gila padanya..."
Di balik kegelapan malam, Darren berdiri bersama Hernan dan Arga, mengenakan topeng hitam mereka.Darren tersenyum puas melihat keluarga Yasmin diambang kehancuran.
"Aku belum selesai..." bisiknya pelan.
Hernan tertawa lirih. "Apa selanjutnya, Bos?"
Darren menyeringai, matanya menyala penuh obsesi.
"Kita buat mereka tidak tidur... malam ini."
© Rumah Yasmin: Teror Mengerikan Semakin Menjadi©
Suasana di rumah Yasmin sudah seperti neraka. Ayahnya masih mencengkram kertas bertulisan ancaman itu, sementara Yasmin berdiri kaku di ambang pintu dengan tubuh gemetar. Ibunya menangis tanpa suara, tangannya mencengkeram dadanya seakan berusaha menahan serangan panik.
Lalu...
DUG! DUG! DUG!
Sesuatu bergemuruh dari dalam kamar Yasmin.Jantung Yasmin seakan berhenti. Ibu dan ayahnya saling berpandangan, ketakutan terukir jelas di wajah mereka. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang berat jatuh ke lantai, lalu diikuti suara creek... creek..., seolah ada sesuatu yang bergerak di dalam kamar.
Ayah Yasmin langsung sigap. Dengan napas memburu, ia meraih tongkat kayu di dekat rak, lalu berjalan perlahan menuju kamar Yasmin. Yasmin dan ibunya mengikuti dari belakang, langkah mereka penuh ketegangan.
Dengan tangan gemetar, ayah Yasmin meraih gagang pintu.
KREEEK
Pintu kamar terbuka perlahan... dan mereka semua membeku.
Darah.
Tempat tidur Yasmin kini berlumuran darah. Seprei putihnya berubah menjadi merah tua, dengan bau anyir yang menusuk hidung.
Dan yang lebih mengerikan lagi...Bangkai kucing tergeletak di tengah ranjang.Lehernya telah terpisah dari tubuhnya. Potongan kepalanya diletakkan dengan mata membelalak, seolah menatap Yasmin yang kini membeku ketakutan.
Ibu Yasmin menjerit histeris dan langsung jatuh terduduk. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar hebat.
Ayah Yasmin menggenggam erat tongkat kayunya, matanya merah menyala karena kemarahan dan ketakutan yang bercampur jadi satu.
Namun yang membuat suasana semakin mencekam adalah tulisan yang tergores di dinding, dengan darah yang masih menetes pelan:
"Kau menyentuh yang bukan milikmu. Kau menyakiti kesayanganku. Aku akan mengambil milikmu."
Yasmin terhuyung mundur, tubuhnya terasa seperti kehilangan tenaga. Keringat dingin membanjiri pelipisnya.
"A-aku... ini..." Suaranya tersendat di tenggorokan.
Ayahnya menoleh dengan tatapan penuh amarah, lalu mencengkram pundak Yasmin erat.
"Yasmin, kali ini kau telah salah menyentuh seseorang!" suara ayahnya bergetar, tapi lebih karena kemarahan. "Apa yang sudah kau lakukan?!"
Yasmin menggeleng panik. "A-aku... aku hanya mengambil makanannya! Itu saja!"
Ayahnya mengguncang bahunya keras. "Jangan bohong, Yasmin! Ini bukan peringatan biasa! Apa yang kau lakukan selain itu?!"
Yasmin menggigit bibirnya. Keringat membasahi tengkuknya. Jantungnya berdetak tak karuan.Ia memang melakukan lebih dari sekedar mengambil makanan yang dikirim untuk Aluna...
Tok... Tok... Tok...
Tiba-tiba suara ketukan pelan terdengar di jendela kamar Yasmin.
Mereka bertiga menoleh dengan tubuh tegang.
Ayah Yasmin dengan sigap melangkah ke arah jendela dan menarik tirai dengan kasar.
Kosong.
Hanya kegelapan pekat yang menyelimuti luar rumah.Namun, sebelum mereka bisa menghela napas lega, sesuatu yang lebih mengerikan terjadi.Jendela tiba-tiba terbuka dengan sendirinya!
Udara malam yang dingin berhembus masuk, membuat gorden berkibar liar.
Dan di ambang jendela, sebuah kotak kecil tergeletak.Dengan tangan gemetar, Yasmin berjalan perlahan dan mengambil kotak itu. Ketika ia membukanya...Jantungnya hampir berhenti.Di dalamnya ada sehelai rambut panjang berwarna coklat gelap,rambut yang sangat ia kenali.Itu rambutnya sendiri.
Matanya membesar, tangannya gemetar hebat.
Bagaimana ini bisa ada di sini?!
Tiba-tiba tubuh ibu Yasmin melemas. Matanya berputar, dan sebelum Yasmin sempat bereaksi...
Bruk!
Ibu Yasmin jatuh pingsan.
Ayah Yasmin menjerit, langsung berlutut dan mengguncang tubuh istrinya. "Sayang! Bangun! Sayang!"
Tapi tubuh wanita itu lunglai, wajahnya pucat pasi.
Di luar rumah, dari seberang jalan yang gelap, tiga sosok berdiri dalam diam, mengenakan topeng hitam.Darren menatap rumah Yasmin dengan mata penuh obsesi dan kebencian.
"Aku belum selesai," bisiknya pelan.
Arga menyeringai, masih memutar belati kecil di jarinya.
Hernan tertawa rendah. "Selanjutnya apa, bos?"
Darren mengangkat dagunya, ekspresinya dingin dan kejam.
"Kita buat mereka tidak tidur...."