Fabian dipaksa untuk menggantikan anaknya yang lari di hari pernikahannya, menikahi seorang gadis muda belia yang bernama Febi.
Bagaimana kehidupan pernikahan mereka selanjutnya?
Bagaimana reaksi Edwin saat mengetahui pacarnya, menikah dengan ayah kandungnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Myatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
Terdengar bunyi pintu di tutup, pertanda Lidya, mamahnya, sudah meninggalkan ruang rawat yang menjadi kamarnya selama satu bulan terakhir.
Edwin merobah posisi tidurnya, menjadi terlentang. Pandangannya melihat langit-langit bercat putih di atasnya. Dia merasa jenuh dan bosan, jika bukan tekad ingin segera menemui Febi, sudah lama dia menyerah dan memilih mengakhiri hidupnya.
Terbiasa bertemankan ponsel, tanpa ponsel hidupnya benar-benar sunyi. Jika ada ponsel ditangannya, dia ingin menghubungi Febi untuk meminta maaf dan memintanya menunggu.
Tapi mamahnya tetap menyimpan ponselnya, dengan alasan agar beristirahat dan tak banyak pikiran, sungguh pemikiran yang salah. Karena justru pikirannya semakin bercabang dan liar memikirkan Febi, takut jika Febi berpaling darinya.
Edwin bangun dari tidurnya, menggeser tiang infus bersamanya, dan keluar dari ruang rawatnya. Edwin terus berjalan di lorong rumah sakit yang panjang, dia berhenti di tempat favoritnya yang baru, duduk di depan jendela besar.
Ruang rawatnya berada di lantai tiga rumah sakit, sehingga dari atas sini, Edwin bisa melihat kehidupan di luar sana. Gelapnya malam, tak urung membuat suasana menjadi sepi, kelap-kelip lampu justru menambah keindahannya. Dari atas, Edwin bisa melihat lalu lalang kendaraan dan orang-orang yang berjalan.
Sebulan berteman sepi, Edwin merasa hidupnya sudah hancur dengan penyakit terkutuk yang di deritanya saat ini. Menyesal tiada guna, karena semuanya sudah terjadi, sekarang hanya Febi lah tujuan hidupnya.
Edwin mampu menghabiskan waktu berjam-jam duduk seorang diri melihat jalanan.
"Excuse me, sir. It is a late, please go back to your room and get some rest immediately!"
"Yes, mam."
Edwin baru akan kembali ke kamarnya, ketika perawat menegurnya untuk segera kembali ke kamar inapnya.
Edwin menyesal, kenapa dulu dia tidak belajar dengan rajin. Jika saja dia bisa menguasai bahasa inggris, tentulah ada seseorang yang bisa dia ajak bicara untuk mengurangi kebosanannya.
Perkataan perawat yang menegurnya juga tak sepenuhnya dia tahu artinya, tapi dia paham, jika perawat-perawat itu memintanya kembali ke kamar.
¤¤FH¤¤
Lidya masuk ke dalam plat yang dia sewa. Karena akan tinggal dalam waktu yang tak menentu, Lidya dan suaminya, memutuskan menyewa plat terdekat dengan rumah sakit tempat Edwin di rawat.
Plat ukuran kecil yang hanya terdiri dari dua ruangan, satu ruangan kamar tidur yang menyatu dengan ruang duduk, satu ruangan kecil untuk kamar mandi dan dapur mini.
Di Indonesia mungkin Lidya memiliki banyak uang, tapi hidup di luar negeri, selain kurs mata uang yang lebih rendah, biaya hidup di luar negeri sangat tinggi, karenanya mereka hanya mampu menyewa plat ukuran kecil, sekedar untuk tidur.
Lidya duduk, menyandarkan punggung lelahnya, lelah fisik dan lelah psikis. Beruntung suaminya, meski hanya ayah sambung, mau mengerti dan memberikan segala dukungannya untuk kesembuhan Edwin.
Lidya teringat dengan ponsel milik Edwin yang terus dimintanya setiap kali berkunjung. Lidya membuka laci samping dan mengambil ponsel milik Edwin. Sejak Edwin sakit, ponsel itu belum pernah dihidupkan.
Lidya menghidupkan ponsel Edwin, di tunggu beberapa saat, sampai ponsel bisa digunakan. Ponsel tak henti bergetar dan berdenting, pertanda banyaknya notifikasi yang masuk. Notifikasi yang terbanyak dari Fabian, papa kandung Edwin.
Fabian mengirimkan pesan maupun panggilan telepon, menanyakan keberadaan Edwin serta meminta agar segera menghubunginya balik.
Lidya mulai melihat-lihat menu di ponsel anaknya, matanya membelalak sempurna, melihat isi dalam ponsel Edwin.
Pesan-pesan fulgar, tapi bukan dengan Febi, terlihat dari poto profile yang dipajang, wanita-wanita dengan pakaian terbuka dan pose menggoda. Dengan Febi, mereka saling mengirim pesan seperti layaknya anak seusia mereka, remaja yang pacaran dan kasmaran, tapi poto profile Febi berwarna abu-abu, menandakan jika Febi sudah menblokir Edwin.
Menyingkirkan rasa ragu, Lidya membuka galeri poto-poto dan Video, dan hatinya semakin teriris, meski hanya sekilas, karena tak sanggup melihat sampai selesai, tapi Lidya tahu jika dalam video-video tak pantas itu, pelakunya adalah anaknya dengan beberapa wanita yang berbeda.
Lidya menangis dalam diam, dia sudah hancur dan gagal menjadi seorang ibu. Cukup lama Lidya menangis, setelah tenang, dia melanjutkan pencariannya, media sosial.
Lidya membuka aplikasi-aplikasi media sosial milik Edwin dan mencari nama Febi. Tapi sepertinya, Febi sudah memblokir semua akses media sosial yang terhubung dengan Edwin.
Sedikit merasa lega, tapi di jaman serba mudah seperti saat ini, bisa saja Edwin membuat akun baru agar bisa terhubung dengan Febi. Sepertinya Lidya harus tetap menyita ponsel milik Edwin.
Masuk pesan baru ke ponsel Edwin, dari beberapa orang temannya, Lidya membuka satu persatu pesan yang menanyakan hal sama,
'Win apa kabar lu? ko nggak pernah ikut nongkrong lagi? btw lu udah putus ya dari Febi?'
Pesan lainnya,
'Win lu masih jadian kan sama Febi? Ko si Febi posting poto sama cowo lain?' meski di tutup emot, tapi gue tau itu bukan lu. neh gue kasi potonya.
Lidya mengunduh poto tersebut, loading sejenak, hingga poto terunduh sempurna, menampilkan poto Febi dengan seorang laki-laki yang wajahnya ditutup emotikon love, mereka tengah bersama di sebuah tempat yang cukup romantis dilihat dari gambarnya. Senyum Febi mengembang sempurna, tanda dia begitu bahagia.
Hati Lidya sedikit teriris melihat poto itu, bagaimana jika Edwin melihat poto itu, dia akan mengetahui jika Febi sudah menikah.
BERSAMBUNG.
penasaran terus
gak enak banget dibaca
semoga bian dan Febi bahagia selalu
kan katanya sejak kecil Fabian kurang kasih sayang mama