Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hantu Alice Mengganggu Ayah Clarissa
Clarissa duduk di depan komputer. Jari-jarinya dengan cepat mencolokkan kartu memori kecil ke slot pembaca. Ia membuka folder yang berisi rekaman dari kamera pengawas.
Layar monitor menampilkan rekaman malam sebelumnya kamar Reno dalam kegelapan. Tiba-tiba, sosok putih buram melayang cepat melewati bingkai, diikuti suara DEZIG! seperti gorden yang dibanting.
Clarissa memutar rekaman itu berulang-ulang, memperbesar gambar. Ia melihat sosok itu bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, sekilas terlihat gaun pengantin putih.
"Lilis. Gaun pengantin itu... obsesimu. Tapi kenapa kamera itu merekam? Siapa yang memasangnya?
Ia memeriksa stempel waktu rekaman. Kamera itu sudah terpasang selama seminggu."
"Bukan Tante Ninda. Bukan Reno. Seseorang sedang menyelidiki Lilis. Aku harus mencari tahu siapa."
Clarissa menyimpan klip rekaman itu ke hard drive eksternal terenkripsi. Ia kini memiliki bukti yang solid.
Meskipun hujan telah berhenti, taman itu terasa lembap dan dingin. Itu adalah area yang terawat dengan baik, dengan air mancur batu besar dan deretan pohon taman yang lebat.
Pak Dimitri tampak rapi, mengenakan kemeja polo mahal duduk di kursi rotan di bawah kanopi. Ia memegang buku bisnis hardcover dan mencoba berkonsentrasi, tapi matanya terlihat gelisah. Ia sesekali melihat ke arah pintu mansionnya sendiri.
Tiba-tiba, udara di sekitar Pak Dimitri menjadi lebih dingin, jauh lebih dingin dari seharusnya. Pak Dimitri menggosok lengannya.
Air mancur di dekatnya, yang seharusnya memancurkan air dengan tenang, tiba-tiba berhenti total.
Pak Dimitri mengerutkan kening.
Daun-daun di pohon mulai bergoyang pelan, melawan arah angin. Sebuah hembusan angin dingin yang kuat datang, membawa serta aroma melati yang menusuk hidung, aroma parfum Lilis.
Pak Dimitri dengan cepat menutup bukunya.
Pak Dimitri berbisik, suaranya tegang.
"Siapa di sana?"
Hening. Lalu, di antara pepohonan, selembar kertas putih melayang jatuh, perlahan berputar-putar.
Pak Dimitri berdiri, tegang. Ia berjalan perlahan ke arah kertas itu.
Saat ia membungkuk untuk mengambilnya, angin dingin kembali berembus kuat. Kali ini, ada sosok samar muncul. Itu adalah hantu Lilis/Alice mengenakan gaun pengantin putih yang kotor dan compang-camping, yang melayang pelan, berputar-putar mengelilingi Pak Dimitri.
Hantu Lilis tidak menyentuhnya, tetapi keberadaannya terasa seperti jarum es yang menusuk kulit.
"Anakmu yang membuatku datang ke rumahmu, Pak!"
Pak Dimitri terkesiap. Wajahnya pucat pasi. Ia mendengar suara itu. Rasa bersalah dan teror membanjiri dirinya.
Pak Dimitri mundur, tersandung.
"Tidak... tidak mungkin!"
Hantu Lilis berputar lebih cepat, semakin jelas dan padat. Gaunnya terlihat basah kuyup seolah baru ditarik dari air. Wajahnya kosong, matanya hitam.
"Kamu tidak bisa lari!"
Pak Dimitri berbalik dan lari sekuat tenaga menuju pintu belakang mansion.
Hantu Lilis tidak mengejar dengan berlari, melainkan melayang dengan kecepatan luar biasa tepat di belakangnya. Terdengar suara gesekan kain basah di udara.
Pak Dimitri hampir mencapai pintu kaca belakang mansion. Ia meraih gagang pintu.
DEZIG!
Tiba-tiba, Hantu Lilis melewati dirinya, muncul persis di depannya, menghalangi pintu. Sosoknya kini benar-benar padat, menakutkan.
Pak Dimitri menjerit kecil. Ia tersandung ke belakang, panik.
Dia tidak bisa mengendalikan langkahnya dan jatuh ke belakang.
Kepalanya membentur lantai batu taman yang keras dengan suara benturan yang cukup mengerikan.
Buku bisnisnya terlepas, jatuh di samping kepalanya. Darah kental mulai merembes perlahan dari belakang kepalanya, membasahi lantai batu.
Hantu Lilis/Alice berdiri diam di atas tubuhnya yang tak bergerak, menatapnya dengan pandangan dingin dan puas.
Clarissa datang ke mansion Dimitri, menuruni anak tangga. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa.
Ia melihat ke ruang tamu, lalu ke pintu belakang. Pintu itu terbuka sedikit.
"Papa?"
Clarissa berjalan cepat. Saat tiba di pintu, ia melihat Pak Dimitri terkapar di lantai batu, genangan darah di bawah kepalanya.
"Papa!"
Clarissa berlari ke arahnya, berlutut, dan mengecek denyut nadi Pak Dimitri. Ia masih hidup, tapi tidak sadarkan diri.
Clarissa mendongak ke arah sekeliling taman, matanya penuh kemarahan.
Clarissa suaranya bergetar tapi tajam.
"Kamu udah keterlaluan, Lilis!"
Clarissa mengeluarkan ponsel dan menelepon ambulans.
Malamnya, Clarissa balik ke mansionnya. Kamar tidur Clarissa mewah, tetapi kini berantakan. Bantal terlempar ke lantai, dan selimut berserakan.
Wajahnya merah padam, mata bengkak karena air mata dan kemarahan.
Ia baru saja kembali dari rumah sakit setelah melihat ayahnya, terbaring tak sadarkan diri.
Ia mencengkeram ponselnya, yang menampilkan berita utama lokal yang buram,
"PENGUSAHA DIMITRI DITEMUKAN TAK SADARKAN DIRI DI TAMAN, KEPALA TERBENTUR KERAS."
Clarissa melemparkan ponselnya ke atas kasur. Ia berjalan cepat ke arah meja rias, mengambil sebuah vas kristal kecil, dan membantingnya ke lantai.
Clarissa berteriak, histeris.
"CUKUP! Aku bilang cukup, Lilis!"
Ia meninju dinding di sebelahnya, rasa sakit di buku jarinya terabaikan.
"Kamu pikir kamu siapa?! Kamu pikir kamu bisa datang ke sana, di rumah Papa, di halaman rumah Papa, dan melukai Papaku?! Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini!"
Air matanya kembali mengalir deras, namun kali ini bercampur dengan amarah murni. Ia terhuyung mundur, memegang kepalanya.
Clarissa menggigil.
"Aku tahu kamu ada di sini. Aku tahu! Aku tahu bau melati itu! Aku tahu kamu melihatku sekarang!"
Tiba-tiba, hantu gaun pengantin putih muncul di sudut ruangan, hanya sebuah bayangan buram, hampir transparan, di antara bayangan lemari pakaian.
Sosoknya hanya terlihat dari pantulan cahaya lampu malam. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya berdiri dan mengamati.
Clarissa menjauh dari sudut.
"Apa rencanamu, hah? Membuat Tante Ninda ketakutan? Membunuhku? Membunuh semua orang yang dekat denganku!"
Clarissa melihat ke arah bayangan itu. Senyum tipis, dingin, dan puas terlihat di wajah hantu itu.
"Kenapa? Karena orang-orang mencampakkanmu? Karena kamu terobsesi dengan sesuatu? Itu hanya dendam, Lilis! Cuma obsesi yang membuatmu gila! Dan sekarang kamu datang ke dunia manusia dan menghancurkannya!"
Clarissa mengambil bingkai foto dari meja, yang berisi foto dirinya bersama Pak Dimitri saat kelulusannya.
Clarissa tersedu-sedu, menunjukkan foto ke sudut.
"Lihat apa yang kamu lakukan! Lihat Papaku! Dia koma! Dia mungkin... dia mungkin tidak akan pernah bangun lagi!"
Pandangannya tertuju pada bingkai foto itu. Ia menciumnya sejenak, lalu matanya kembali dipenuhi tekad yang dingin. Ia menatap tajam ke arah bayangan Lilis.
"Aku gak tahu apa yang kamu inginkan. Aku gak tahu kenapa kamu kembali. Tapi ini sudah terlalu jauh. Kamu menyakitiku. Kamu menyakiti Papaku."
Bayangan Lilis menghilang, seperti kabut yang ditiup angin. Aroma melati yang kuat dan menusuk hidung memenuhi ruangan sejenak, lalu hilang sama sekali.
Clarissa mengambil napas dalam-dalam, mengencangkan rahangnya. Ia kini tidak lagi histeris, melainkan dipenuhi ketenangan yang berbahaya.
Clarissa berbisik, untuk dirinya sendiri.
"Kamu ingin perang, Lilis? Baik. Aku juga akan memberimu perang dan aku akan menemukan siapa yang memasang kamera itu."
Clarissa berjalan ke arah hard drive eksternal terenkripsi yang ia sembunyikan di laci meja rias. Ia memeluknya erat.
"Aku akan menghentikanmu."
Reno duduk di tepi tempat tidurnya, masih mengenakan piyama. Ia terlihat letih, dengan mata sembap. Di tangannya, ia memegang HP yang menampilkan berita tentang insiden Pak Dimitri.
Reno berbisik, pada dirinya sendiri.
"Pak Dimitri... Clarissa..."
Pintu kamar terbuka pelan. Ibunya, masuk. Bu Ninda mengenakan blus sutra yang elegan, tetapi wajahnya pucat.
"Reno... Sayang, kamu belum makan malam?"
"Ntar aja deh Mah."
Bu Ninda duduk lalu menghela napas.
"Mama gak lapar, Ren. Mama... Mama belum bisa berhenti memikirkan hal itu. Pak Dimitri, kenapa ya Ren?"
Reno buru-buru memotongnya, menyela dengan cepat.
"Dia terpeleset. Polisi bilang begitu. Mama terlalu banyak menonton film horor. Jangan berpikir tidak-tidak."
"Kita akan pindah. Secepatnya. Begitu Papa kembali dari luar negeri karena urusan bisnis, pkita akan menjual mansion ini. Semua akan baik-baik saja, Ren. Kita hanya perlu mengabaikannya."
Reno menarik tangannya.
"Mengabaikannya? Ma, Lilis itu manusia sama seperti kita! Mana mungkin aku mengabaikannya?"
"Cukup, Reno. Kamu harus terima kenyataan. Kamu adalah laki-laki. Semua itu hanya imajinasimu. Lilis the real ghost! Jangan sebut-sebut nama itu lagi."
Bu Ninda berjalan menuju pintu, membelakangi Reno.
"Jangan pernah sebut-sebut dia di rumah ini lagi. Jangan pernah."
Ia keluar, menutup pintu dengan pelan.
Reno menatap kosong pada pintu itu. Ia tahu ibunya hanya berlebihan karena belum bisa menerima Lilis sebagai menantunya.
Bersambung