Amirul, yang dikira anak kandung ternyata hanyalah anak angkat yang tak sengaja tertukar pada saat bayi.
Setelah mengetahui jika ia anak angkat, Amirul di perlakukan dengan kasar oleh ibu angkat dan saudaranya yang lain. Apa lagi semenjak kepulangan Aris ke rumah, barang yang dulunya miliknya yang di beli oleh ibunya kini di rampas dan di ambil kembali.
Jadilah ia tinggal di rumah sama seperti pembantu, dan itu telah berlalu 2 tahun lalu.
Hingga akhirnya, Aris melakukan kesalahan, karena takut di salahka oleh ibunya, ia pun memfitnah Amirul dan Amirul pun di usir dari rumah.
Kini Amirul terluntang lantung pergi entah kemana, tempat tinggal orang tuanya dulu pun tidak ada yang mengenalinya juga, ia pun singgah di sebuah bangunan terbengkalai.
Di sana ada sebuah biji yang jatuh entah dari mana, karena kasihan, Amirul pun menanam di sampingnya, ia merasa ia dan biji itu senasib, tak di inginkan.
Tapi siapa sangka jika pohon itu tumbuh dalam semalam, dan hidupnya berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon less22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34
...🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️🤾♀️...
...happy reading...
...⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️⛹️♀️...
Jalan raya yang berliku-liku melintasi dataran sawah, angin sepoi-sepoi menyentuh wajah Amirul yang duduk di bagasi motor milik Bang Joko.
Matanya terus terarah ke depan, Ia menaiki bahu kiri yang memegang batang pohon kecil yang dibungkus plastik itu.
Ada anak kecil di seberang jalan yang sedang berjalan dengan ibunya matanya menyala terang. Anak laki-laki berusia sekitar lima tahun itu menunjuk ke arahnya dengan jari telunjuknya
"Ibu, ibu! Lihat itu!" suaranya ceria namun penuh keheranan. "Pohon orang itu ada uangnya!"
Ibu anak itu mengangkat kepala, melihat Amirul, lalu menggeleng dengan senyum sepi. "Ah, mana ada pohon uang di dunia ini, nak? Itu cuma akal-akalan saja. Mungkin uangnya terjatuh dan tersangkut di dekat pohonnya."
Anak itu menggigit bibirnya, matanya tetap menatap pohon di tangan Amirul. "Tapi ibu, aku lihat itu menggantung seperti buah!" Ia lalu memeluk kaki ibunya, rengeknya semakin keras. "Ibu... aku mau pohon uang juga. Aku mau beli pohon uang."
Suara tangisan anak itu sampai ke telinga Amirul. Ia merespon dengan terkejut, lalu melihat ke pohon yang ia pegang. Dan benar saja, di antara daun itu, menggantung satu helai uang kertas berwarna merah: seratus ribu rupiah.
Darahnya berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat menarik uang itu dan menyembunyikannya ke dalam saku celana, mata diam-diam memeriksa Bang Joko yang sedang mengemudi dengan fokus. Ia takut banget jika bang Joko itu melihatnya, siapa yang akan percaya jika dia bilang pohonnya berbuah uang?
Perjalanan yang memaka waktu tidak lama itu, mereka pun sudah dekat dengan ruma baru Amirul.
Setelah beberapa menit, Bang Joko berbicara. "Mas, kita sudah dekat dengan rumah baru mu."
Amirul tersenyum dan menjawab. "Iya, Bang. Aku tidak sabar untuk tinggal di rumah baruku."
Bang Joko tersenyum dan mengangguk. "Pasti Kamu akan sangat suka dengan rumah barunya."
Amirul mengangguk dan kembali fokus pada jalan, sambil melihat pohon uangnya, takut berbuah mendadak lagi.
Langit sudah mulai memerah, sinar matahari terbenam menyinari tembok rumah dua lantai itu yang dicat warna putih muda.
"Akhirnya sampai juga, Mas!" ucap Bang Joko sambil memarkir motor di depan rumah tersebut.
Amirul turun dari bagasi dengan langkah yang agak goyah, matanya tak berhenti memandang rumah itu. Dindingnya rapi, atapnya tidak bocor, dan ada teras yang luas dengan beberapa tanaman bunga yang masih segar.
Bang Joko turun juga, membawa tas besar berisi barang-barang Amirul yang sedikit. Ia menggendong tas itu ke teras, langkahnya terasa berat karena beban. Amirul mengikuti di belakang, sambil menggendong pohon uangnya tersebut.
Tiba-tiba, Amirul melihat Bang Joko mengusap keringat di alisnya, wajahnya terlihat lelah dan sedih. Tanpa berpikir panjang, ia bertanya dengan nada penasaran yang menyembunyikan rasa iba: "Abang sudah punya rumah sendiri?"
Bang Joko berhenti, menoleh ke arah Amirul dengan senyum sepi yang penuh kesedihan. "Belum Mas, aku masih ngontrak sama ibuku di perumahan kecil di pinggiran kota. Aku cuma tukang ojek, mana mungkin bisa beli rumah? Tanah dan rumah sekarang mahal banget, bahkan untuk bayar kontrak sebulan sekali, udah bersyukur banget kalau bisa keluar uangnya tepat waktu." Ia mengeluh perlahan, mata memandang jauh ke arah jalan raya. "Hidup jaman sekarang bener-bener susah, Mas. Kadang aku berpikir, kapan ya bisa punya tempat tinggal sendiri buat ibuku dan aku nanti."
Amirul mendengarnya, hati semakin tertekan. Tanpa menyadari apa yang ia katakan, Amirul membuka mulutnya dengan suara yang pelan tapi jelas: "Bang, kalau ku kasih rumah lamaku sama Abang? Abang mau?"
Kata-kata itu membuat Bang Joko melongo, mulutnya terbuka lebar dan mata terkejut membesar. Tas yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Ia melihat Amirul seolah tidak percaya apa yang didengarnya. "Apa... apa yang kau katakan, Mas? Rumah lama-mu? Yang tadi itu?" tanyanya tak percaya.
...⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️⛹️♂️...
thanks teh 💪💪💪