"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SENJATA MAKAN TUAN
POV Pandu
"Apa ini, bisa jelaskan kenapa bisa seperti ini?"
Aku melempar map coklat yang dikirim oleh pengadilan siang tadi pada Pak Arif, pengacara pribadiku. Map tersebut berisi surat cerai sekaligus gugatan harta gono-gini dari Maira.
Ia bergegas membukanya, sedangkan aku, pikiranku kacau, aku berniat untuk rujuk dalam waktu dekat, namun Namira dan urusan perusahaan yang terus menderaku, membuatku seolah tak ada waktu menemui Maira. Bahkan, aku lupa bahwa berkas masih ada di rumah, dari surat nikah dan semua yang penting ada di sana. Sial.
"Silahkan duduk, Pak," serunya mempersilahkan.
"Lakukan saja perintah saya, jangan banyak bicara!"
Ketus aku menjawab. Aku tak bisa walau hanya sekedar duduk tenang, menunggu jawaban darinya. Kupikir menceraikan Maira secara lisan tak menutup kemungkinan untuk rujuk secara lisan pula. Namun, aku lupa satu hal, bahwa hal yang begitu Maira inginkan selama ini adalah bercerai secara sah. Kukira hatinya sudah luluh oleh Namira dan cintanya padaku sudah kembali. Sehingga saat ini dia masih sibuk meratapi perpisahan kami, tapi malah jadi seperti ini.
"Jadi Bu Maira sudah melayangkan gugatan cerainya secara hukum. Pengadilan sudah menyetujui kemudian Bu Maira menggugat harta Gono gini sekarang."
"Kenapa bisa? Saya nggak ada panggilan sidang atau apapun itu. Kenapa tiba-tiba ada surat seperti ini? Mustahil."
"Bisa saja kalau Mbak Maira punya uang."
Degggh! Uang? Astaga, Maira pasti menggunakan uang tabungan milik ayahnya yang sudah kualihkan atas namanya, bahkan kutambah nominalnya agar genap 100 juta. Sialan. Ini benar-benar senjata makan tuan.
Mulutku terus mengumpat, menyalahkan kebodohan diri sendiri. Berkali-kali aku mengacak rambut, aku benar-benar frustasi.
"Atau memang ada panggilan dan bapak tidak hadir. Sehingga pengadilan menjatuhkan keputusan Verstek. Di mana semua ajuan penggugat disetujui."
"Tapi saya nggak pernah terima surat dari pengadilan."
Kukeluarkan gawai dari dalam saku, entah kenapa pikiranku tertuju pada Viona. Bisa saja dia menyembunyikan surat yang dikirim ke rumah agar perceraian bisa berjalan lancar dan cepat.
Tut... Tut... Tut. Telepon masuk namun tak diangkat
olehnya. Ah, mungkin dia sibuk mengurus Namira.
Kuurungkan niat menghubunginya, Namira lebih penting dari segalanya.
"Terus tindakan selanjutnya apa? Apa itu semua tidak bisa dibatalkan?"
"Surat ini sah dan legal. Asli, pasti pihak pengadilan mengeluarkan Karen semua sudah sesuai prosedur. Jadi kita tidak bisa semena-mena minta dibatalkan."
Jantung ini seolah berhenti berdetak, aku benar-benar sudah kehilangan Maira. Wanita yang kini masih menduduki posisi tertinggi di dalam hatiku. Tak bisa dipungkiri, meski aku memiliki dua istri, nyatanya tetap saja hatiku tak bisa dibagi.
"Pak, Pak Pandu nggak papa?"
"Lalu masalah harta yang dia tuntut dari saya? Apa yang harus kita lakukan? Apa saya harus memberikan semua yang saya dapat pada Maira?"
"Harta gono gini atau harta bersama adalah harta yang diperoleh selama pernikahan. Semua harta kecuali harta warisan atau hadiah. Itu menjadi hak masing-masing. Kalau untuk pembagian biasanya sama rata, Pak?"
"Meskipun saya yang kerja keras?"
"Iya, Pak. Tapi kalau sebelumnya ada perjanjian pemisahan harta, maka pengajuan yang diajukan Bu Maira bisa saja gugur. Pertanyaannya apa Bapak dan Bu Maira melakukan perjanjian itu sebelum menikah?"
Dengan mata berkaca-kaca aku menggelengkan kepala. Melakukan perjanjian tak mungkin aku lakukan, selain kami bukan orang kaya, tak pernah terbersit dalam kepala kami tentang perceraian. Aku dan Maira seolah tak akan mungkin terpisahkan karena memang cinta kami begitu besar, terlebih cintaku dan ketulusan Maira dalam membersamaiku. Lagi pula mana ada pernikahan yang disiapkan untuk perpisahan. Sejatinya tak ada pasangan yang mengawali sebuah hubungan untuk mempersiapkan perpisahan. Tidak.
"Pandu!"
Pintu dibuka secara kasar ketika aku merenungkan semua ucapan pengacara. "Bu Hartawan." Aku tersentak kemudian beranjak dari tempat duduk, gugup, melihat kedatangan Bu Hartawan, istri dari Pak Hartawan.
"Pandu, saya mau bicara,"
ujarnya dengan nada tegas, bukan tegas, lebih tepatnya marah. Sebab, kilat kemarahan terlihat jelas di mata wanita tua namun tak mau dianggap tua itu. Bagaimana tak kusebut dia seperti itu, jika di usia yang tak jauh beda dengan ibu dia memiliki ketertarikan padaku. Selama ini aku hanya menarik ulur, tak menanggapi, lagian siapa juga yang mau sama perempuan tua. Maira saja begitu segar dan mempesona, lah dia? Keriput tapi sok sok an mau sama Pandu.
"Saya permisi," pamit Pak Arif Lalau bergegas keluar setelah membungkukkan badan memberi hormat pada Bu Hartawan.
"Silahkan duduk," ujarku menarik kursi untuknya namun ia hanya bergeming seraya menatapku dengan tajam.
"Nggak usah basa-basi. Lihat, apa ini, Pandu. Lihat! Belum puas viral kemarin?"
Ia mengeluarkan ponsel dari dalam tas lalu menunjukkan sebuah Video padaku.
"Live!" ujarnya penuh penekanan.
"Kampungan!" lanjutnya mematikan ponsel lalu memasukkannya kembali ke dalam tas.
Viona!" gumamku dengan tangan mengepal kuat. Dadaku bergemuruh, melihat apa yang sudah ditunjukkan Bu Hartawan tersebut. Rupanya dia tidak menerima telepon dariku bukan karena sibuk mengurus Namira, tapi sibuk melabrak Maira. Benar-benar memalukan.
"Saya nggak mau tau, ya, Pandu. Kamu saya beri kepercayaan dan wewenang, tapi bukan berarti perusahaan ini punyamu. Sudah saya kasih wewenang, bonus, gaji besar tak ubahnya pemilik perusahaan, tapi apa yang istri kamu lakukan bisa membuat perusahaan saya bangkrut, tau!"
Ocehnya dengan amarah menggebu. Aku hanya bisa menundukkan kepala mendengar kata demi kata yang terdengar menghina. Dia lupa apa yang sudah aku lakukan untuk perusahaan ini? Kalau aku tidak memeras otak mungkin dia sudah bangkrut sejak dulu, sekarang, sudah berjaya bahkan untung berlipat ganda, malah menyalahkan, bukannya membantu.
"Maaf, ini di luar kendali saya."
"Pokoknya saya nggak mau tau, urus istrimu, jangan sampai perusaahan rugi hanya gara-gara gosip murahan tidak bermutu seperti ini. Memalukan!"
"Kalau perlu ceraikan saja semuanya, Ndu!" ujarnya dengan ringan. Aku mengiringkan senyum.
"Terus kalau aku cerai emang aku mau sama kamu, najis! Dasar tua Bangka, bau tanah!" Batinku pun mengumpat.
"Percayalah, semua akan baik-baik saja. Semua akan saya selesaikan dan masalah saya tidak akan ada pengaruhnya dengan perusahaan. Permisi."
"Hei, Pandu, saya belum selesai ngomong."
Dengan langkah cepat aku meninggalkan wanita yang bicaranya semakin ke sini semakin tak bisa kuterima. Lalu kututup pintu setengah membantingnya. Kesal. Bagaimana bisa dia menyalahkan setelah apa yang sudah aku lakukan. Sial.
Langkah cepat kuayunkan menuju parkiran. Mobil pun aku lajukan dengan kecepatan tinggi menuju rumah Maira. Entah khawatir pada keadaan Maira atau pada reputasiku. Aku tak bisa memisahkan antara ke dua perasaan tersebut.
Sembari mengemudi aku terus memantau dari sosial media. Pertengkaran masih berlangsung bahkan, melibatkan banyak tetangga yang wajahnya sudah kuhafal dengan betul. Tanganku meremas kemudi kadang juga memukulnya pelan, sebagai bentuk pelampiasan amarah yang sudah tidak bisa aku tahan.
Berulang kali aku katakan pada Viona untuk diam dan tidak mengikuti gosip murahan supaya tidak ada keributan kemudian menimbulkan masalah besar terutama karierku. Tapi dia malah dengan bodohnya mendatangi masalah. Aku tahu betul siapa Maira, dia memang baik juga beragama. Tapi, saat dia disentuh dan merasa terhina, dia tidak akan mau tinggal diam. Harga dirinya tinggi, sosial media itu aku juga sangat yakin ada unsur kesengajaan untuk balas dendam dan Viona justru menanggapinya.
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga aku sampai di tempat Maira lebih cepat dari biasanya.
Sesampainya di depan rumah, langkahku sempat terhenti kala kulihat rumah Bude Ayu tidak ada. Aku sempat memijat mataku untuk meyakinkan apakah ini nyata atau aku sedang berhalusinasi akibat masalah yang mendera?
Prank!
Suara benda pecah terdengar nyaring dari arah dalam rumah. Seketika aku mengalihkan pandang ke arah rumah baru yang belum pernah aku menginjakkan kaki masuk ke dalamnya.
"Maira," lirihku kemudian dengan segera aku melangkah masuk.
"Keluar kamu! Kalau nggak mau bonyok, Viona!"
"Kamu yang keluar, Mandul, kamu nggak punya hak, ini rumah yang bangun suami aku!"
"Viona!" teriakku mendengar ucapan Viona yang tetap saja mengatakan kata keji itu.
Semua menoleh ke arahku, tak terkecuali Maira. Ia menatapku, tatapan itu masih sama, membuat jantungku berdebar. Payah.
"Bawa pergi istrimu dari rumahku dan katakan padanya siapa yang berhak atas rumah ini! Pandu!" ujar Maira penuh penekanan.
"Iya, tuh, dasar nggak laki nggak bini nggak tahu malu, jelas-jelas ini rumah mertuanya, dia juga dulu numpang. Eh, setelah sukses malah selingkuh. Pandu... Pandu nggak tahu malu kamu." Bu Neneng langsung mengeluarkan semua yang ia tahu tanpa menutup-nutupi.
"Mana istri ke dua nggak lebih cantik dari istri pertama pula." Bu Sarah menimpali.
"Emang Bodoh kamu Ndu... Ndu," sergah Bu Neneng kemudian gelak tawa para ibu terdengar memecah ruangan.
"Diam kalian!" teriak Viona.
"Kamu yang diam, Viona!" bentakku menyela ucapan Viona yang semakin membuatku naik darah.
"Sini kamu!" Tak sabar tangan ini langsung menarik
tangan Viona.
"Tapi, Mas."
"Diam!" tandasku pada Viona yang terus saja protes.
"Dan kamu, Mai kita belum selesai!" ujarku pada Maira seraya menunjuk tepat ke wajahnya. Lalu bergegas aku meninggalkan tempat, menyeret Viona. Malu, jujur saat ini aku sangat malu pada semua yang ada di sini.
"Mas, sakit, jangan kasar," rintih Viona seraya berusaha melepas cengkeram tanganku.
"Pulang!"