Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di balik meja 56
"Pulang sekolah kita jalan-jalan."
Calista yang sedang serius menulis langsung terlonjak kaget begitu menyadari Xavier sudah duduk di sampingnya. Ia menoleh cepat lalu mendesis pelan, pipinya memerah karena kesal.
"Vier... ngagetin Calista," bisiknya dengan nada setengah protes.
Xavier bukannya merasa bersalah, justru tersenyum tipis. Tatapannya tak lepas dari wajah Calista yang polos. Ia mengulurkan tangan lalu mencubit pelan pipinya.
"Gemes banget sih lo," ucapnya santai, membuat Calista semakin manyun.
"Jangan seenaknya cubit-cubit, sakit tau," gerutunya sambil mengusap pipi.
Xavier menghela napas ringan. "Ya udah, jangan manyun. Abis pulang sekolah nanti, kita jalan-jalan."
Calista sempat terdiam beberapa detik, lalu mengangguk pelan. "Hmm... iya deh."
Bel masuk ke kelas, suasananya masih sama seperti biasa. Beberapa murid sibuk mengobrol, ada yang setengah tidur, ada juga yang sibuk mencoret-coret buku. Tak lama kemudian, suara langkah sepatu terdengar di depan pintu, membuat semua murid langsung menegakkan tubuhnya.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Ibu Mawar sambil meletakkan buku tebal di meja. Suasana kelas mendadak hening. "Pagi, Bu!" sahut murid-murid serempak.
Ibu Mawar mulai menjelaskan materi di papan tulis dengan suara tegas tapi lembut, sesekali menunjuk murid untuk menjawab pertanyaan. Calista menunduk serius menulis catatan, sementara Xavier duduk santai dengan tangan menyangga dagu, matanya lebih sering melirik ke arah Calista daripada papan tulis.
Setelah selesai menjelaskan materi, Ibu Mawar mengambil selembar kertas dari mejanya. Ia tersenyum tipis, lalu menatap ke arah kelas.
"Xavier..." panggilnya.
Xavier yang sedang menulis catatan langsung mendongak. Ekspresinya tetap datar, meski sorot matanya tenang.
"Nilai kamu semakin hari semakin bagus. Ibu bangga sama kamu," ucap Ibu Mawar dengan senyum tulus.
Sekilas, sudut bibir Xavier terangkat tipis. Ia lalu melirik ke arah Calista, yang balas menatapnya sambil tersenyum ceria.
"Semangat, Vier!" bisik Calista pelan, matanya berbinar penuh kebanggaan.
Xavier menunduk sedikit, suaranya rendah tapi cukup terdengar oleh Calista. "Ini semua berkat dukungan lo."
Ucapan singkat itu sukses membuat Calista tersipu, wajahnya memerah. Ibu Mawar tersenyum bangga, menambahkan, "Pertahankan, Xavier. Ibu percaya kamu bisa jauh lebih baik."
Xavier mengangguk kecil, kali ini tak menjawab, tapi senyum tipis masih tersisa di wajahnya.
••
Bel pulang sekolah akhirnya terdengar. Siswa-siswi berhamburan keluar dari kelas, suasana riuh seperti biasa. Namun, Xavier berjalan santai menuju Calista yang sudah membereskan bukunya.
"Udah siap?" tanya Xavier singkat sambil menyampirkan tas ke bahunya.
Calista mengangguk kecil, wajahnya nampak berbinar. "Jadi kita ke restoran yang kamu bilang itu, kan?"
Xavier menoleh sekilas dan mengangguk. "Iya. Gue udah janji."
Tak lama, mereka pun berangkat bersama. Jalanan sore itu damai, tapi Xavier terlihat tenang saat menyetir. Calista sesekali meliriknya, lalu tersenyum kecil—ia merasa nyaman berada di samping Xavier.
Sesampainya di restoran yang sedang viral itu, Calista terpesona. Bangunannya modern dengan dinding kaca yang besar, dan aroma makanan langsung menyambut begitu pintu dibuka. Restoran itu memang terkenal karena menu sehatnya—salad segar, jus buah tanpa gula tambahan, dan makanan rendah kalori yang tetap lezat.
"Wah... ternyata rame banget, ya," ucap Calista kagum sambil memandang sekeliling.
Xavier menoleh santai. "Tenang aja, gue udah booking."
Kalimat itu membuat Calista meliriknya takjub. "Serius? Hebat banget kamu."
Mereka pun duduk di meja dekat jendela, menikmati pemandangan jalanan sore. Pelayan segera datang membawakan menu.
"Pilih aja lo yang suka. Tenang, di sini semua sehat, lo nggak usah khawatir," kata Xavier sambil mendorong buku menu ke arah Calista.
Calista membuka halaman demi halaman, matanya berbinar. "Vier... semuanya kelihatan enak. Aku jadi bingung."
Xavier tersenyum tipis, lalu menunjuk salah satu pilihan. "Lo pasti suka ini. Smoothie bowl dan sandwich gandum. Simpel tapi bikin kenyang."
Calista mengangguk, lalu menatapnya dengan tatapan hangat. "Kamu perhatian banget, Xavier."
Xavier hanya menghela napas kecil, lalu menatap ke arah luar jendela. "Biasa aja. Gue cuma nggak mau lo sakit."
Ucapan itu membuat hati Calista bergetar, meski ia hanya bisa menunduk sambil menyembunyikan senyumannya.
Di tengah obrolan hangat dengan Calista, mata Xavier menangkap sosok yang tak asing baginya. Raut wajahnya sedikit mengeras, namun ia berusaha tenang.
"Ca, gue ke toilet dulu," Xavier menyela, berdiri dari tempat duduknya.
"Iya... jangan lama-lama ya," sahut Calista sambil tetap sibuk dengan makanannya.
"Hmm... lo jangan kemana-mana, sebelum gue balik. Lo..." Xavier berdiri sebentar, menatapnya.
"Iya-iya, Xavier. Calista bukan anak kecil lagi," potong Calista sambil manyun manja.
"Lo memang anak kecil," Xavier menyunggingkan senyum tipis sebelum melangkah pergi.
Xavier bergerak pelan, mendekati seseorang di sudut restoran yang agak sepi.
"Lo ikut gue," perintahnya ringan, namun tegas.
"Saya, bos?" tanya pelayan itu, sedikit ragu.
"Hmm..." Xavier mengangguk singkat, lalu melangkah lebih dekat. "Lo simpan ini di bilik meja 56," ujarnya sambil menyerahkan sebuah benda kecil.
"Bagaimana saya harus memberikannya, bos? Di sana, pesanannya sudah datang," tanya pelayan itu lagi.
"Bawakan dia jus apa saja, terserah. Katakan gratis, karena kita sudah sampai target bulan ini. Kasih juga ke beberapa pelanggan lain. Paham?" Xavier menjelaskan dengan nada tegas tapi tetap tenang.
Pelayan itu mengangguk mantap. "Paham, bos."
"Sekarang," Xavier menambahkan, lalu menatapnya dengan mata tajam sebelum kembali melangkah ke arah toilet.
••
"Permisi..."
Seorang pelayan datang dengan senyum ramah sambil membawa nampan berisi segelas jus segar.
"Hm?" suara pria paruh baya di meja itu terdengar datar.
"Kami sudah mencapai target bulan ini, jadi restoran memberikan minuman jus gratis untuk semua pelanggan," jelas sang pelayan sopan, lalu meletakkan gelas di atas meja dengan hati-hati. Tak lama ia menunduk sedikit, menjalankan instruksi Xavier tanpa sepengetahuan ketiganya.
"Hm... baiklah, kamu boleh pergi," ucap pria itu singkat.
Pelayan itu segera meninggalkan meja, sementara suasana kembali dipenuhi percakapan serius.
Bela, ibu tiri Xavier, menatapi pria didepannya dengan tatapan penuh perhitungan. "Terus... langkah selanjutnya bagaimana, Mas?" tanyanya dengan suara rendah, seolah khawatir ada telinga lain yang ikut mendengar.
Dimas—pria itu—menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu tersenyum miring. "Kamu harus ambil hati Leo. Dekati dia, taklukkan secara perlahan. Jangan langsung serang, main yang aman." Tatapannya beralih pada Adrian, yang duduk di samping Bela.
"Adrian," suaranya berubah lebih tegas. "Kamu juga harus ambil hati Daddy kamu itu. Xavier sudah keluar dari lingkaran. Ini kesempatan emas buat kamu."
Adrian mengangguk cepat, nada suaranya penuh semangat. "Siap, Papa. Adrian akan ambil hati Daddy Leo. Aku janji nggak akan mengecewakan."
Dimas mengibaskan tangannya, memberi isyarat. "Bagus. Sekarang kalian harus segera pergi, sebelum ada pengawal Leo yang mencium keberadaan kalian di sini."
Bela dan Adrian bertukar pandang, lalu serempak bangkit dari kursi. Dengan langkah tergesa tapi tetap berhati-hati, mereka meninggalkan restoran, menyisakan Dimas yang masih duduk dengan senyum licik yang tersembunyi di wajahnya.