Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ritual Tumbal yang Dimulai
Udara di ruang tamu seolah membeku. Jaga tergeletak tak sadarkan diri di lantai marmer, tongkat kayu Mbah Pawiro jatuh di sampingnya. Pintu lemari ukir terbuka lebar, memperlihatkan kegelapan dan jeritan rantai yang diseret dari balik pintu logam yang terkunci.
Mbah Pawiro berdiri di antara Bian dan jalan keluar, senyumnya kini bukan lagi hangat, melainkan sebilah pisau tajam.
"Mbah! Apa yang Anda lakukan? Kami tidak mau terlibat dalam—" Bian maju selangkah, tetapi Tiara menarik lengannya.
"Berhentilah berpura-pura, Nak Bian," potong Mbah Pawiro, suaranya tenang namun mengandung ancaman mematikan. "Sejak kalian melangkah ke desa ini, kalian sudah terlibat. Rumah ini adalah rumah sumpah. Kalian adalah kunci. Kalian yang membuka pintu yang terkunci, yang seharusnya tetap terkunci."
Mbah Pawiro melirik Jaga yang terkapar. "Jaga berusaha menghalangi karena ia terikat pada janji kakekmu. Janji pengecut yang ingin membiarkan arwah itu tetap terkurung untuk ketenangan pribadi, bukan ketenangan desa."
Bian mendapati dirinya tercekik oleh ketakutan dan amarah. "Kami tidak tahu apa-apa! Kami pergi!"
"Pergi? Oh, tidak semudah itu." Mbah Pawiro melambaikan tangannya ke arah pintu utama.
Gedebuk!
Terdengar bunyi dentuman yang keras. Bian menoleh, pintu depan yang tadi tertutup rapat kini seolah diikat oleh sesuatu dari luar. Kain putih tebal yang menyelimuti sofa di ruang tamu tiba-tiba melilit pegangan pintu, lalu mengencang, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata.
Mereka Terjebak.
"Jendela, Bian!" seru Tiara.
Mereka berlari ke jendela terdekat, tetapi jendela itu terasa seperti disemen. Bahkan Bian, yang kuat, tidak bisa membukanya.
"Tidak ada yang bisa masuk. Dan tidak ada yang bisa keluar," ujar Mbah Pawiro, menikmati kepanikan mereka. "Ini adalah waktu suci bagi Sang Tumbal. Ia membutuhkan jiwa yang terikat pada Pranoto untuk membebaskan dirinya sepenuhnya, atau sebaliknya, untuk menguatkan kutukan dan mengikat dirinya kembali pada desa selama sepuluh tahun lagi."
Tiara menatap Mbah Pawiro dengan mata penuh horor. "Apa yang Anda inginkan? Kami akan berikan uang—"
"Bukan uang," desis Mbah Pawiro. "Aku menginginkan kebenaran. Dan kebenaran itu ada pada garis darah kakekmu. Salah satu dari kalian harus menyerahkan diri untuk mengakhiri kekacauan ini."
Dari balik pintu logam itu, jeritan rantai terdengar lebih dekat, disusul suara goresan logam pada logam. Pintu logam itu bergetar hebat.
Mbah Pawiro tertawa pelan. "Dengar? Arwah Tumbal sudah tahu kalian di sini. Ia merindukan darah Pranoto."
Bian menarik Tiara mundur, menjauhi lemari. Ia tahu tidak ada gunanya melawan Mbah Pawiro secara fisik, pria tua itu memancarkan kekuatan yang bukan dari tubuhnya.
"Kenapa kakek menyembunyikan pintu itu di balik lemari?" tanya Bian, mencoba mengulur waktu.
"Karena dia pengecut," jawab Mbah Pawiro sinis. "Pranoto mengkhianati Tumbal yang seharusnya dia lindungi. Dia mengunci iblis ini, tetapi dia lupa bahwa kuncinya adalah dendam. Kalian, sebagai keturunannya, adalah penebus yang dibutuhkan."
Tiba-tiba, terdengar bunyi erangan pelan. Jaga bergerak. Ia mengangkat tangannya yang besar ke kepalanya, lalu mencoba merangkak.
Mbah Pawiro mendengus. "Anjing setia. Bahkan dalam keadaan begini masih mencoba melayani tuan lamanya."
Bian melihat peluang. Sambil Mbah Pawiro fokus pada Jaga, Bian menarik Tiara ke belakang sofa dan berbisik, "Kita harus menuju dapur. Mungkin ada pintu belakang atau jendela di sana."
Mereka merangkak cepat. Mbah Pawiro mengabaikan mereka, yakin ia bisa menangkap mereka kapan saja.
Saat mereka mencapai ambang pintu dapur, Bian melihat Jaga. Jaga kini sudah terduduk, tetapi matanya masih memancarkan kengerian. Saat mata Jaga bertemu pandang dengan Bian, Jaga melakukan hal yang tidak terduga, Jaga mengangguk kecil ke arah Bian, isyarat yang sangat cepat. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya yang besar, merangkak ke arah lemari ukir dengan susah payah, memposisikan dirinya di depan pintu logam, seolah menjadikan dirinya tameng.
Dia melindungi kami, batin Bian, menyadari kebenaran dari tindakan Jaga . Dia bukan kaki tangan. Dia pelindung yang sengaja membisu!
Di dapur, Tiara segera memeriksa jendela. Jendela itu sama terkuncinya dengan jendela depan. Namun, di sudut ruangan, ada pintu kayu kecil menuju gudang, yang terbuat dari kayu yang lebih tipis.
"Itu mungkin pintu belakang!" seru Tiara. Bian berlari, mencoba membukanya, tetapi terkunci dari luar.
Di ruang tamu, amarah Mbah Pawiro meledak. Ia melihat Jaga menghalangi jalannya.
"Berani-beraninya kau! Setelah semua yang kuberikan!" teriak Mbah Pawiro, mengangkat tongkatnya lagi.
Bian dan Tiara mendengar bunyi tulang yang patah. Mereka berbalik, tetapi mereka hanya melihat Jaga ambruk lagi, kali ini dalam posisi yang lebih lumpuh.
Mbah Pawiro menyeringai, lalu membalikkan badannya menghadap Bian dan Tiara. "Permainan sudah berakhir. Sekarang, kembali ke ruang tamu."
Saat Mbah Pawiro melangkah maju, Tiara tiba-tiba berteriak.
"Tunggu! Anda tidak bisa menguasai kami! Kami tahu apa yang kakek tinggalkan!" Tiara berbohong, mencoba mengulur waktu. "Kami tahu ada cara untuk membebaskan Arwah Tumbal tanpa mengorbankan kami!"
Mbah Pawiro berhenti, terkejut sesaat. Rasa ingin tahu mengalahkan amarahnya. "Apa yang kau tahu, wanita kecil? Pranoto tidak meninggalkan apa pun selain dosa!"
"Kakek meninggalkan... sebuah pesan rahasia di tempat yang hanya saya tahu," kata Tiara, otaknya bekerja keras mencari solusi. Ia teringat pada simbol aneh dan cermin retak. "Kami tahu di mana kakek menyembunyikan kunci kebebasan Arwah Tumbal, yang bisa mematahkan kutukan Anda!"
Mbah Pawiro menyipitkan mata. Ia curiga, tetapi janji kebebasan arwah yang disembunyikan kakek Bian adalah godaan yang tak tertahankan. Jika kakek Bian meninggalkan cara untuk membebaskan arwah tersebut, itu akan mengacaukan seluruh rencana Mbah Pawiro.
"Bawa aku ke sana. Sekarang," perintah Mbah Pawiro.
Tiara menoleh ke Bian, matanya menyiratkan sebuah rencana gila. "Cermin itu, Bian! Kita harus kembali ke cermin!"
Bian mengerti. Mereka harus kembali ke tempat teror dimulai, yang saat ini dipenuhi pecahan kaca.
Saat mereka kembali ke kamar, Mbah Pawiro membayangi setiap langkah mereka. Di dekat pecahan kaca, Bian melihat sisa-sisa noda cokelat kehitaman yang dilihat Tiara pagi tadi. Noda itu kini tampak lebih gelap dan memancarkan bau amis yang menusuk.
"Katakan di mana kuncinya!" desak Mbah Pawiro.
Tiara mengambil napas dalam-dalam. "Kuncinya ada di dalam cermin itu sendiri. Kakek menulisnya di balik kaca!"
Mbah Pawiro menatap pecahan kaca dengan jijik. "Kebohongan! Itu hanya kaca mati!"
Namun, Tiara sudah memegang serpihan kaca terbesar. Ia membalikannya, memperlihatkan lapisan belakang yang dilapisi cat perak.
"Ini dia!" teriak Bian, yang menyadari rencananya. Ia meraih pecahan kaca yang lain. "Tulisannya tidak terlihat sampai kita membuka lapisan cat perak itu!"
Mbah Pawiro, didorong rasa ingin tahu yang besar, maju mendekat, tongkatnya siap siaga.
Bian dan Tiara mulai mengikis lapisan perak itu dengan cepat menggunakan kuku mereka.
Tiba-tiba, dari balik lemari ukir, terdengar suara erangan kesakitan yang sangat keras, suara Jaga. Tapi itu bukan erangan karena dipukul. Itu adalah rintihan peringatan.
Di saat yang sama, Tiara melihat ke dinding kamar. Di sana, di sudut gelap dekat lemari, dinding yang tampak normal mulai mencair.
Sesosok wanita pucat muncul, tidak berwujud transparan, tetapi padat dan mengerikan. Rambutnya panjang menjuntai hingga lantai. Wajahnya yang cekung kini menampakkan senyum lebar yang dingin, dan matanya tertuju pada Mbah Pawiro.
Arwah Tumbal itu tidak menyerang Bian atau Tiara. Ia melayang lurus menuju Mbah Pawiro.
Mbah Pawiro yang terkejut, berbalik. "Tidak! Belum waktunya! Aku belum selesai!"
Arwah itu tidak bersuara, tetapi ia mengulurkan tangannya yang keriput dan kurus. Saat tangan itu menyentuh leher Mbah Pawiro, terdengar suara mendesis yang mengerikan, seolah kulit Mbah Pawiro terbakar.
Mbah Pawiro menjerit, menjatuhkan tongkatnya, dan mencoba melawan. Ia berputar-putar, merapal mantra dalam bahasa kuno, tetapi Arwah Tumbal itu telah terlepas dan tidak bisa dikendalikan.
"Kau berani mengunciku, Pawiro! Kau berani mengkhianati perjanjian! Sekarang, kau yang akan menjadi kunciku!" teriak suara tajam yang menusuk ke dalam pikiran Bian dan Tiara.
Mbah Pawiro ambruk, wajahnya tampak hancur dan menua dalam hitungan detik.
Arwah Tumbal itu telah mendapatkan balas dendamnya dari si dalang. Ia kemudian menoleh, tatapannya kini jatuh pada Bian dan Tiara.
Melihat Mbah Pawiro yang tak berdaya, Bian menyadari bahwa rencana Tiara berhasil. Entah karena Arwah itu melihat kebenaran pada Bian dan Tiara yang mencoba membebaskan diri, atau karena ia melihat Mbah Pawiro sebagai pengkhianat yang lebih besar.
Bian menarik tangan Tiara. "Lari! Sekarang!"
Mereka berlari keluar dari kamar. Arwah itu tidak mengejar, tetapi hanya berdiri di kamar, menatap tubuh Mbah Pawiro yang tak bernyawa.
Saat mereka mencapai pintu depan, mereka melihat keajaiban, kain-kain yang melilit pegangan pintu telah terlepas dan tergeletak di lantai. Pintu depan terbuka sedikit, mengundang mereka untuk melarikan diri.
Saat Bian dan Tiara berlari melintasi ambang pintu menuju kegelapan desa yang sunyi, Tiara sempat melihat ke belakang, ke arah koridor yang gelap.
Jaga, entah bagaimana caranya, telah merangkak ke pintu logam di belakang lemari ukir. Ia bersandar di sana, memejamkan mata, seolah-olah telah menggunakan sisa-sisa kekuatannya untuk menutup kembali pintu itu.
Tiara yakin Jaga telah melepaskan sihir Mbah Pawiro di pintu depan agar mereka bisa lolos.
Namun, ketika Tiara melihat ke lantai dekat lemari ukir, ia menyadari sesuatu yang mengerikan.
Tubuh Mbah Pawiro yang tadi tergeletak tak bernyawa di kamar, kini sudah tidak ada.
Hanya tersisa tongkatnya, dan sebuah simbol mata tunggal yang tergores dalam di lantai marmer, seolah-olah ditarik paksa saat tubuh itu diseret masuk ke dalam pintu logam.
Bian menarik Tiara ke kegelapan hutan yang dingin. Mereka selamat, tetapi di belakang mereka, rumah itu diselimuti keheningan yang lebih pekat, dan kini, Arwah Tumbal telah bebas, dan Sang Dalang menghilang atau lebih buruk, menjadi tumbal baru bagi Entitas yang ia coba kendalikan.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"