Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 15.
Malam itu, setelah Mbah Ranti menghilang seperti asap, Kodasih tidak bisa tidur.
Bayangan bayangan samar dari ingatan yang hilang berkelebat di kepalanya, wajah tanpa mata, suara tanpa nama, dan tawa yang terdengar seperti gema dari sumur tua.
Meskipun Kodasih sudah mencoba melihat barang barang di dalam rumah.. kepalanya justru terasa semakin pusing..
Ia pun merasa dadanya berat. Seperti ada kamar kosong di dalam dirinya yang menjerit meminta diisi kembali.
“Aku tidak mau begini,” bisiknya dengan suara gemetar.
“Aku ingin ingatanku kembali. Aku ingin tetap muda… tetap cantik… tapi aku tidak mau kehilangan apa pun dan siapa pun dari diriku.”
Keinginan itu seperti api kecil yang tumbuh menjadi nyala besar. Api kesombongan, keputusasaan, dan rasa sakit yang campur aduk jadi satu.
Ia mengambil selendang hitam nya dan lentera kecil nya lagi. Dan ia pun kembali berjalan menuju Alas Karang Pulo sari.
Jalan yang ia lalui terasa berbeda malam ini. Lebih gelap... Lebih berat... Seolah semua dedaunan ikut mengawasi langkah Kodasih yang begitu putus asa.
Bunyi burung malam, terhenti ketika ia lewat. Angin tidak berani menyentuh tubuh mudanya.
Ketika ia sampai di halaman gubuk Mbah Ranti, tidak ada lampu. Tidak ada suara... Gubuk itu tampak mati.
Namun Kodasih tidak gentar. Ia mengetuk pintu.
Tok...
Tok...
Tok...
“Mbhaaaah… Ranti… Aku datang. Tolonglah aku… Mbah..”
Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lebih keras lagi..
TOK!
TOK!
TOK!
“Mbhaaaah… aku butuh apa yang hilang. Aku butuh ingatanku… aku butuh semua yang membuatku menjadi diriku. Tolong kembalikan Mbah..”
Masih tidak ada suara.
Kodasih menggigil, tetapi ia menekan pintu.... Dan pintu itu terbuka sendiri, berderit panjang....
“Masuuuuk, Dasih…”
Suara itu datang dari dalam. Bukan suara manusia biasa. Lebih rendah, lebih tua, seperti gong besar yang dipukul pelan.
Dan di Dalam Gubuk, Gubuk itu terlihat gelap. Sangat gelap. Lebih gelap dari malam saat Kodasih datang pertama kali kemarin. Lebih gelap dari malam itu sendiri. Seolah lampu apa pun tidak akan mampu menembusnya.
Namun ketika Kodasih melangkah masuk.. puluhan mata kecil... mata mata roh dan bayangan, seperti berkedip di tiap sudut gubuk. Menatap sosok Kodasih..
Di tengah ruangan, duduklah Mbah Ranti.
Kali ini…
ia tampak jauh lebih tua daripada pertama kali Kodasih melihatnya. Lebih tua dari usia manusia seharusnya. Kulitnya menggantung, wajahnya cekung, dan matanya seperti dua arang yang masih menyala di tengah abu.
Namun meski tubuhnya renta, aura yang memancar darinya justru semakin kuat.
“Dasih…” Suara Mbah Ranti bagai angin dari liang kubur.
“Kowe bali. Padahal aku wes ngandhani… sing ilang ora iso dijupuk maneh tanpa bayar rego sing luwih abot.”
(Kamu kembali. Padahal aku sudah memberitahu.. yang hilang tidak bisa diambil lagi tanpa bayar harga yang lebih berat)
Kodasih berlutut.
“Aku mohon…kembalikan ingatanku. Kembalikan rasa sayangku pada orang-orang dusun. Kembalikan semua yang hilang dariku.”
Ia menatap Mbah Ranti, mata mudanya penuh air mata.
“Tapi biarkan aku tetap muda dan cantik…”
Mbah Ranti tertawa. “Ha.... ha.... ha.... ha... ha... “
Tawanya menggetarkan dinding gubuk.
“Dasih… Dasih… Kowe iki kok dadi serakah, to? Umur enom dijupuk, ingatan dijaluk maneh. Pengin loro lorone…”
Kodasih menunduk dalam dalam.
“Aku hanya ingin mereka tidak takut padaku… Aku hanya ingin mereka masih mengenal aku…”
Mbah Ranti mengetuk lantai dengan tongkatnya.
Cahaya merah menyala dari bawah tanah. Gubuk itu bergetar halus.
“Yo wis, Dasih. Nek kuwi karepmu… aku isa maringi.”
(Ya sudah, Dasih. Kalau itu mau mu.. aku bisa memberi)
Kodasih mengangkat wajahnya, matanya berbinar.
“Benarkah, Mbah?”
Mbah Ranti mengangguk lambat.
“Nanging kowe kudu ngerti regane. Ora ono sing gratis.”
(Tapi kamu harus tahu harganya. Tidak ada yang gratis)
“Apa yang harus aku bayar, Mbah?”
Mbah Ranti mendekat.. sangat dekat.. hingga wajah tuanya hampir menyentuh wajah Kodasih yang muda dan cantik.
Matanya membara.
“Sing kudu mbok bayar yaiku… raga wong liyo.”
(Yang harus kamu bayar yaitu.. raga orang lain)
Kodasih membeku.
“Ra… raga…?”
Mbah Ranti mengangguk.
“Kowe pengin enom lan iso mbalekke sing ilang. Kudu ono jiwa sing diganti. Kudu ono sing dikurbanake supaya ingatanmu bali.”
“Mmm maksudnya… aku harus mengorbankan orang?”
“Ya.”
Tawa kecil muncul dari bibir Mbah Ranti... “He... he... he...”
“Kowe pengin kabeh… tapi ora siap bayar regane.”
Kodasih Mundur, Ketakutan...
“Aku… aku tidak bisa lakukan itu, Mbah…”
Kodasih mundur gemetar.
“Aku bukan pembunuh. Aku tidak mau merugikan siapa sia.. ”
Mbah Ranti memotongnya dengan suara setajam pisau.
“Kowe wis merugikan wong sak dusun, Dasih.”
“Kowe nggawe wong wong mlayu.. Kowe nggawe wong wong keweden. Kowe nggawe jeneng Kodasih ilang ing angin.”
(Kamu membuat orang orang lari.. Kamu membuat orang orang ketakutan.. Kamu membuat nama Kodasih hilang)
“Tapi aku… aku tidak tahu.. Mbah..” suara lirih Kodasih..
“Kowe milih dadi enom. Kowe milih ninggal wujud lawas sing digawe saka pengalaman lan welas asih.”
(Kamu memilih jadi muda, kamu memilih meninggalkan wujud lama yang dibentuk oleh pengalaman dan belas kasih).
Mbah Ranti lalu menghela napas panjang, seperti lelah...
“Ssaiki, kowe mung Dasih. Perawan ayu sing ngajeni dirinya dhewe luwih timbang wong liya.”
(Sekarang , kamu hanya Dasih, gadis cantik yang menghargai diri sendiri dari pada orang lain)
Kodasih menunduk, air mata berlinangan membasahi wajah cantiknya..
Namun tiba tiba ekspresi Mbah Ranti berubah. Ia mengusap wajahnya, dan dalam sekejap… Wajah nya kembali muda.. menjadi gadis cantik, nyaris seumur Kodasih saat ini.
Suaranya lembut, merayu...
“Ing donya iki, Dasih… Pancen paras ayu iku kuasa. Kowe iso munggah derajat . Iso ngganti nasibe wong.”
(Di dunia ini, Dasih.. memang wajah cantik itu kuasa.. Kamu bisa naik derajat.. Bisa mengubah nasib orang lain..)
Ia mendekat, memegang dagu Kodasih.
“Nek kowe gelem… aku bisa nggawe kowe ora mung enom… tapi yo luwih ayu, luwih sakti, lan luwih kuwat tinimbang sakdurunge.”
(Kalau kamu mau.. aku bisa membuat kamu tidak hanya muda.. tapi juga lebih cantik.. lebih sakti, dan juga lebih kuat dari sebelumnya..)
Kodasih menggigil... Ada bagian dari dirinya yang takut… Tetapi juga ada bagian lain dalam dirinya, bagian yang terluka, hilang, dan haus pengakuan... yang mulai goyah.
“Siapa… siapa yang harus aku korbankan kalau aku memilih jalan itu, Mbah?”
Mbah Ranti tersenyum... senyum yang begitu mengerikan...
....
Othor mohon maaf jika sudah muncul tokoh dukun kenapa jadi bahasa jawa nya muncul juga 🙏🙏🙏🙏 othor berusaha translet .. mohon maaf jika ada yang terganggu saat membaca
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣