NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15

Begitu masuk ke dalam apartemennya, Devan langsung menjatuhkan tubuh di sofa. Kepalanya terkulai di sandaran, matanya setengah terpejam seperti menolak kenyataan bahwa hari kerjanya belum benar-benar berakhir. Ia menghela napas panjang, lalu melonggarkan dasinya yang terasa menjerat leher.

Sementara itu, Jovita hanya berdiri di sana, memandanginya dalam diam. Ia tahu Devan lelah, tapi rasa tidak sabarnya mulai menggelitik dada.

Begitu mata lelaki itu kembali terbuka, pandangannya langsung jatuh pada Jovita. Hembusan napas lelah keluar dari bibirnya, lalu ia menegakkan tubuh dengan enggan. Tatapannya tidak lepas dari wanita yang kini berdiri di depannya.

“Aku akan membantumu, tapi nanti dulu. Aku baru pulang,” katanya, suaranya berat, terdengar seperti keluhan.

Jovita mendengus pelan, lalu ikut duduk di sebelahnya. Sofa sedikit bergetar karena gerakannya. Ia menatap Devan sekilas, wajahnya memelas tapi juga sedikit cemberut. Melihat ekspresi itu, tanpa sadar Devan tersenyum tipis. Ada sesuatu yang menenangkan sekaligus merepotkan dari cara Jovita memandangnya.

“Ngapain liatin begitu?” tanya Jovita curiga, alisnya terangkat.

Devan menahan tawa kecil sebelum menjawab, “Bukannya kamu harus lakuin sesuatu untukku?”

Jovita menatapnya bingung, dahinya berkerut. Devan mencondongkan tubuh sedikit, menambahkan dengan nada santai, “Hidup itu give and take. Memberi dan menerima.”

Jovita langsung terkekeh tak percaya, geleng-geleng kepala. “Bukannya ini emang tugasmu?” ujarnya sambil melipat tangan di dada.

“Kamu memintaku secara pribadi,” balas Devan cepat, matanya menatap penuh tantangan.

“Kalau begitu, serahkan kasus ini secara resmi,” jawab Jovita tanpa ragu.

Devan terdiam beberapa detik. Tak ada balasan yang bisa ia lontarkan, dan akhirnya hanya tawa kecil yang lolos dari bibirnya. Ia tahu, percuma mendebat Jovita, wanita itu selalu punya logika yang rapi dan lidah yang tajam.

Masih tersenyum kecil, Devan berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Jovita hanya menatap punggungnya yang menjauh sambil menggeleng pelan, setengah kesal.

Devan keluar dari kamar sudah dengan pakaian santainya. Rambutnya masih basah, beberapa helai menempel di dahinya. Aroma sabun dan udara segar dari kamar mandi masih terbawa saat ia melangkah ke ruang tamu.

Namun, bukannya langsung membahas soal gugatan, Devan malah sibuk dengan hal-hal kecil. Ia makan dulu, menjemur pakaian, lalu memasukkan yang sudah kering ke dalam lemari. Sementara itu, Jovita hanya duduk di sofa, menatapnya dengan pandangan kesal yang semakin dalam tiap menit berlalu.

Ia menghela napas keras-keras, berharap Devan sadar sedang ditunggu. Tapi lelaki itu seolah sengaja memperlambat semuanya.

Begitu Devan hendak masuk kembali ke kamarnya untuk mengembalikan buku yang sempat dibacanya, Jovita cepat-cepat berdiri dan menghadang. Tubuhnya berdiri tegak di depan Devan, menatap tajam dengan alis berkerut.

“Ngapain?” tanya Devan heran, keningnya sedikit berkerut. “Minggir,” lanjutnya santai, mencoba menggeser tubuh Jovita ke samping.

“Kamu sengaja, ya? Sengaja nunda biar kita gak jadi bahas gugatanku?” tuduh Jovita dengan nada kesal.

Kalau semua itu dilakukan siang hari, mungkin ia masih bisa maklum. Tapi sekarang jam sudah hampir menunjukkan pukul delapan malam. Ia tidak mungkin berlama-lama di sana, sementara Devan tampak santai seperti tidak ada urusan penting menunggu.

Devan menatapnya sejenak, lalu menghela napas pelan. “Kamu gak lihat? Tempatku kecil. Harus diberesin dulu biar enak kerjanya,” jawabnya datar, kemudian kembali menggeser Jovita, kali ini sedikit mendorongnya ke samping.

Jovita melangkah mundur satu langkah, terkekeh tak percaya. Akhirnya, Jovita kembali duduk di sofa, menunggu dengan sabar, atau setidaknya berusaha sabar, sementara Devan entah sedang melakukan apa di dalam kamar. Untuk sekadar menaruh buku saja, waktu yang ia butuhkan terasa seperti selamanya.

Beberapa menit kemudian, Devan keluar lagi dengan laptop di tangan. Ia meletakkannya di meja depan sofa, lalu duduk di sebelah Jovita. Baru lima detik ia duduk, tiba-tiba ia berdiri lagi dan melangkah ke dapur.

Jovita menatap punggungnya dengan bingung sekaligus kesal. “Devan,” panggilnya. Tidak ada jawaban. Lelaki itu sibuk menyiapkan sesuatu. “Kamu menderita ADHD?” tanyanya curiga, suaranya setengah menggoda tapi terdengar sungguh-sungguh.

Devan menoleh dari arah dapur, alisnya naik, ekspresinya penuh tanda tanya. Ia baru saja menuang air panas ke dalam cangkir ketika mendengar tuduhan itu. Mungkin memang dari tadi gerak-geriknya membuat Jovita berpikir begitu, mondar-mandir, tidak bisa diam lebih dari beberapa detik. Padahal, semua itu sudah ia rencanakan sejak di kantor tadi: mandi, makan, membereskan kamar, membuat kopi.

Devan terkekeh pelan, hampir tertawa, membuat Jovita semakin heran. “Aku cuma melakukan rutinitasku,” katanya ringan sambil mengaduk kopinya.

Jovita mendecih kecil, pura-pura tidak peduli.

“Mau kubuatkan sekalian?” tanya Devan, mengangkat bungkus kopi sambil melirik ke arah Jovita.

“Aku berhenti minum kopi,” jawab Jovita datar.

Devan hanya mengangguk, lalu kembali dengan secangkir kopi hitam panas di tangan. Ia duduk di sebelahnya, menaruh cangkir di atas meja, lalu menatap Jovita dengan ekspresi lebih serius.

“Jadi,” katanya perlahan, membuka pembicaraan yang sebenarnya. “Kamu bilang mereka memfitnahmu, kan?”

Jovita mengangguk, wajahnya berubah serius. Tatapannya menajam, seolah semua lelahnya sejak tadi menguap begitu saja begitu topik itu dibahas.

“Kamu punya sesuatu untuk membuktikannya?” tanya Devan, suaranya tenang tapi matanya menatap tajam, penuh fokus.

“Ada lah,” jawab Jovita cepat. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah flashdisk berwarna hitam kecil. “Prototipe aslinya punyaku, semuanya ada di sini,” katanya sambil menyerahkan benda itu pada Devan.

Devan menerima flashdisk itu dan memeriksanya sekilas, jari-jarinya memutar benda kecil itu seolah bisa membaca isinya dari luar. “Terus, punya temanmu?” tanyanya kemudian.

Jovita langsung membelalak. Nada suaranya meninggi, penuh ketidaksenangan. “Dia bukan temanku,” potongnya cepat, membuat Devan terdiam sejenak.

Setelah jeda singkat, suara Jovita melembut, tapi nadanya masih terdengar getir. “Aku gak punya filenya, tapi pasti ada di komputernya di perusahaan.”

Devan menghela napas panjang, pandangannya turun ke meja. “Kalau kamu gak punya akses ke sana, berarti kita gak bisa buktiin apa-apa sekarang,” katanya pelan, terdengar sedikit lelah.

“Tapi aku bisa minta temanku buat bantu,” sahut Jovita cepat, seperti tidak mau kehilangan kesempatan. Ada semangat kecil yang muncul di matanya.

Devan menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. “Berarti sekarang belum ada, kan?” tanyanya memastikan.

Jovita mengangguk perlahan.

“Kalau begitu, pulang sana. Gak ada yang bisa kulakuin sekarang,” ucap Devan datar tanpa basa-basi.

Jovita menatapnya tidak percaya. Ia sudah menunggu sejak sore, dan sekarang begitu saja disuruh pulang.

“Jadi dari tadi aku ke sini cuma liatin kamu beres-beres sama bikin kopi?” katanya setengah menahan amarah.

Devan menatapnya dengan ekspresi tenang, bahkan nyaris santai. “Terus mau gimana? Kamu gak bawa bukti lain. Makanya siapin dulu sebelum ketemu aku.”

Jovita mendesis kesal, matanya menyipit tajam. Ia menahan diri agar tidak melempar bantal ke arah Devan. Dengan gerakan cepat ia merapikan tas dan barang-barangnya.

“Aku gak bisa antar. Hati-hati di jalan,” ujar Devan sambil menyeruput kopinya, seolah pembicaraan mereka sudah selesai.

Jovita memejamkan mata sejenak, berusaha menahan diri. Dalam hati, ia sangat ingin memitingnya saat itu juga. Akhirnya ia berdiri, melangkah dengan kesal menuju pintu, lalu menutupnya dengan bantingan ringan.

Suara pintu itu membuat Devan menoleh spontan. Sekilas senyum muncul di wajahnya, samar tapi tulus. “Dasar,” gumamnya lirih, lalu menggelengkan kepala dengan senyum kecil yang tak bisa ia tahan.

Rupanya orang yang sejak sore memperhatikan Jovita belum pergi dari tempatnya. Ia masih berada di balik kemudi mobil yang terparkir tak jauh dari pintu masuk gedung.

Begitu Jovita keluar dari gedung apartemen, langkahnya cepat karena masih diliputi kesal. Ia tidak menyadari sama sekali bahwa sepasang mata mengikuti setiap gerakannya.

Sementara itu, di sisi lain kota, sebuah kamar hotel tenggelam dalam cahaya temaram. Di atas ranjang yang seprai putihnya sudah kusut, dua sosok tengah bercumbu dengan liar, tanpa kendali. Suara napas berat dan keluhan mereka memenuhi ruangan, menimbulkan kesan menjijikkan. Salah satu di antara mereka adalah Arum. Namun pria yang bersamanya bukan Adam, melainkan Wisma, manajer divisi di kantornya.

Setelah aktivitas itu berakhir, keduanya terdiam sejenak, masih terengah. Lalu tanpa banyak bicara, mereka bangkit dan mulai mengenakan pakaian masing-masing.

“Dengar, Arum,” ucap Wisma sambil mengancingkan kemejanya. Suaranya serak, seperti baru memaksakan diri untuk terdengar tegas. “Kalau sampai kamu ingkar, aku juga akan membocorkan semuanya tentangmu.” Nada ancamannya menggantung di udara.

Arum terkekeh pelan, menarik kemejanya turun sambil merapikan rambut yang masih berantakan. “Asal kamu menuruti semua keinginanku,” balasnya ringan, nyaris seperti tak peduli. Ia berdiri tegak, menatap manajernya datar. “Lagi pula, kenapa aku harus kasih tahu orang lain? Kita ada di perahu yang sama.”

Sejak hari pertama bekerja di perusahaan itu, Arum sudah menaruh perhatian pada manajer divisinya. Meski usia mereka terpaut hampir dua puluh tahun, baginya pria itu terlihat sangat berwibawa, tenang, tegas, dan yang paling penting, mapan.

Awalnya Arum hanya mengagumi dari kejauhan. Namun lama-kelamaan ia semakin berani. Godaan kecil yang ia lontarkan perlahan berubah menjadi kedekatan terlarang, hingga akhirnya mereka terjerat dalam hubungan gelap. Dalam proses itu, Arum mengetahui sebuah rahasia besar yang disembunyikan sang manajer, sebuah rahasia yang jika terbongkar bisa menghancurkan hidup pria itu.

Arum kemudian memanfaatkan rahasia tersebut untuk mencapai ambisinya sendiri. Ia menggiring keadaan, menekan sang manajer dari balik bayang-bayang. Bahkan dalam kasus Jovita, pria itu tak lagi punya kuasa untuk menolak. Mau tak mau, ia harus mengikuti kemauan Arum, termasuk mendukung rencana kotornya untuk menyingkirkan Jovita.

“Ini semua karenamu. Kalau aja kamu gak menggodaku dulu, aku gak harus hidup sebagai tawananmu sekarang,” gerutu sang manajer, suaranya sarat penyesalan dan amarah yang dipaksa ditelan.

Arum hampir tertawa. Bibirnya terangkat sinis. “Itu salahmu karena gampang tergoda,” balasnya lembut, seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya.

“Dasar ular,” desis sang manajer, menatapnya dengan kebencian yang tak lagi mampu ia sembunyikan. Meski membenci, faktanya ia tetap memanfaatkan situasi, termasuk momen barusan yang mereka lakukan untuk melampiaskan hasratnya.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!