Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 : Penolakan Rujuk
Sinar matahari pagi membuat tidur nyenyak Marchel terganggu, dia tidak mendapati Hulya di sampingnya lagi. Wanita itu berdiri di balkon kamar dengan sebuah jarum dan benang di tangan, dia merajut sesuatu yang entah itu untuk apa.
Marchel mengingat bagaimana dia memperlakukan Hulya semalam, ada rasa sesal di hatinya tapi mau bagaimana lagi? Hulya terlalu keras untuk dia taklukkan, rasa cemburu Marchel membuat dirinya gelap mata.
"Maaf, maafkan aku," ucap Marchel penuh sesal, dia kini berdiri di samping Hulya.
"Aku tidak butuh maafmu, pergilah dari kamarku. Aku tidak mau melihat wajahmu lagi." Suara Hulya yang tegas dan nada bicaranya yang dingin tak terbantah membuat Marchel mengalah, pria itu keluar.
Selepas Marchel pergi, Hulya menangis sampai sesegukan meratapi nasib buruk yang kini dia alami, terperangkap dalam obsesi cinta Marchel yang begitu gila sehingga dia sering tersiksa.
Di kamar lain, Marchel mengguyur tubuhnya di bawah kucuran air shower, dia juga tersiksa dalam hubungan ini, memaksa Hulya terus bersamanya bukan hal yang baik.
...***...
Ketika makan malam, Marchel mencoba untuk mencairkan suasana dan membalikkan mood Hulya agar lebih baik lagi.
"Kamu boleh membuka butik kembali, kamu juga boleh mendirikan perusahaan seperti yang kamu inginkan, Hulya," ujar Marchel yang mampu mengubah tatapan Hulya padanya.
"Kau serius?"
"Iya, dengan syarat, kau tidak boleh kabur dariku, jika ketahuan sekali lagi kau mencoba kabur, aku benar-benar akan memotong kakimu," ancam Marchel dengan nada tegas.
"Baiklah, kalau begitu aku setuju." Hulya kembali semangat karena mendapatkan kelonggaran dari Marchel, setidaknya dia bisa bekerja dan tidak merasa jenuh juga.
"Anggap saja sebagai permintaan maafku, tolong jangan diamkan aku lagi." Untuk pertama kali setelah sekian lama, Hulya tersenyum lagi padanya, hal itu membuat Marchel bahagia dan lega karena kembali dianggap ada oleh orang yang dia cintai.
Mereka melanjutkan makan malam lalu kembali ke kamar masing-masing, tanpa disangka oleh Marchel, Hulya berkata dengan lembut dan ceria, "Selamat malam Marchel, semoga mimpi indah."
Hulya langsung memasuki kamar setelah mengucapkan hal itu, Marchel tertegun dan hatinya kembali berbunga hanya dengan ucapan singkat dari Hulya.
"Aku akan mencoba mengerti dengan dirimu, aku tidak mau lagi melakukan kekerasan atau pun ancaman, tapi kau selalu bisa membangkitkan emosiku," gumam Marchel sambil tersenyum lalu memasuki kamarnya.
Hulya yang sedang bahagia, kini sedang memainkan ponsel melihat sosial medianya, diberi kelonggaran begitu sudah sangat membuat dirinya bahagia.
Dexter : Bagaimana kabarmu? Apa Marchel menyakitimu?
Pesan dari Dexter membuat Hulya sedikit merasa diperhatikan.
Hulya : Tidak, dia tidak menyakitiku
Untuk beberapa saat, terjadi percakapan singkat antara Hulya dan Dexter, mereka saling bertukar pesan hingga larut malam tanpa sepengetahuan Marchel. Tidak ada hal melenceng juga yang mereka bahas, semua murni percakapan seru biasa.
...***...
Marchel membuka butik sesuai dengan impian Hulya selama ini, butik yang ada di Los Angeles juga dibuka kembali tapi dikelola oleh orang yang Hulya percayai dan terus dia pantau.
Sebulan ini Hulya bisa damai dengan kehidupannya, Marchel juga lebih bisa lagi mengontrol emosi dan lebih menghargai Hulya, dia tidak memaksakan kehendaknya lagi pada Hulya.
Marchel : Aku akan pulang, apa mau aku jemput?
Hulya : Boleh, sekalian bawakan makanan ya, aku lapar.
Marchel menyimpan ponselnya, lalu bergegas mencari makanan yang Hulya suka. Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Marchel ke mobil dan tidak sengaja ditabrak oleh seorang gadis sehingga makanan yang dia beli berceceran.
“Kau tidak punya mata?” hardik Marchel pada gadis itu.
“Maaf, saya benar-benar tidak sengaja, saya sedang buru-buru tadi,” jawab gadis itu.
“Shit, kau membuang waktuku saja brengsek,” umpat Marchel, dia meninggalkan gadis itu lalu membeli kembali makanan yang baru.
Marchel mengendarai mobilnya menuju butik Hulya, butik itu ramai dengan pengunjung sehingga buka sampai malam tapi Hulya di sana hanya sampai sore hari saja.
Marchel langsung menuju ruangan Hulya, ternyata dia sedang tertidur di atas sofa, kelihatannya begitu lelah hingga suara dengkuran halus terdengar oleh Marchel.
Dengan perlahan, Marchel menaruh makanan yang dia beli di atas meja lalu merapikan semua barang Hulya. Dia tidak menganggu tidur Hulya sama sekali, Marchel duduk di dekat wanita itu tidur sambil memainkan ponsel.
Cukup lama Hulya tidur, saat bangun, dia melihat Marchel tertidur dalam posisi duduk, jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
Hulya tersenyum melihat pria di dekatnya itu, wajah tampan yang begitu mempesona namun menakutkan ketika sudah emosi.
“Marchel,” panggilnya sambil menggoyangkan tubuh Marchel, pria itu sedikit tersentak dan membuka mata, terlihat kalau Marchel sangat mengantuk dengan kedua mata masih merah.
“Sudah bangun, mau pulang sekarang?”
“Aku makan dulu.” Marchel melirik makanan yang dia beli di ambil oleh Hulya.
“Jangan dimakan, sudah dari tadi makanan itu aku beli.”
“Tidak masalah, ini masih enak.” Hulya memakan pembelian Marchel dengan lahap hingga habis lalu mereka bergegas untuk pulang.
Di dalam mobil, Hulya asyik dengan ponselnya. Selama ini dia sering bertukar pesan dengan Dexter yang menurutnya begitu enak diajak bicara.
Marchel yang merasa tidak diacuhkan, jadi penasaran karena dari tadi Hulya senyum-senyum sendiri menatap ponselnya.
“Ekhm, asyik sekali ya, sampai senyum-senyum begitu dengan ponselmu,” tegur Marchel yang sedang menatap jalanan, Hulya menoleh sebentar lalu menyimpan ponselnya.
Dia tidak menjawab, hanya menatap keluar jendela mobil yang kebetulan saat ini tengah turun hujan.
“Hulya,” panggil Marchel, wanita itu menoleh.
“Ayo kita rujuk, selama ini kita sudah menjalani kehidupan layaknya suami istri, kita hidup bersama dan sering melakukan hubungan badan juga, selama satu bulan ini aku sudah mulai mengontrol emosiku juga.” Hulya menghela nafasnya, pembahasan mengenai rujuk ini adalah hal paling dia benci karena memang perasaan Hulya pada Marchel belum sepenuhnya bisa menerima.
“Aku sudah sering katakan padamu Marchel, aku tidak ingin rujuk lagi. Kehidupan ini juga karena paksaan darimu, andai aku bisa memilih, tentunya aku memilih untuk tidak tinggal bersamamu.” Jawaban Hulya begitu menohok, membuat Marchel menggenggam kuat setir mobil yang dia pegang.
“Apa kau sudah tidak mencintai aku lagi?” tanya Marchel dengan rasa marah yang dia pendam.
“Jujur, aku masih mencintaimu namun semuanya usai ketika kau menyakiti aku berulang kali, setiap kali kau memaksa aku melayani hasratmu, aku tersiksa dan terhina.” Hulya memberanikan diri untuk mengatakan semuanya, seakan siap menghadapi amarah Marchel yang bisa meledak kapan saja.
“Apa ada pria lain di hatimu?”
“Untuk saat ini belum ada.”
Marchel tak menjawab lagi, keduanya fokus pada pikiran masing-masing, jawaban Hulya membuat ketegangan di antara mereka.
Sesampainya di mansion, Hulya langsung menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Marchel juga menuju kamar dan berniat ke markas, ada seseorang yang akan dia temui saat ini.