Tujuh belas tahun lalu, satu perjanjian berdarah mengikat dua keluarga dalam kutukan. Nadira dan Fellisya menandatangani kontrak dengan darahnya sendiri, dan sejak itu, kebahagiaan jadi hal yang mustahil diwariskan.
Kini, Keandra dan Kallista tumbuh dengan luka yang mereka tak pahami. Namun saat rahasia lama terkuak, mereka sadar… bukan cinta yang mengikat keluarga mereka, melainkan dosa yang belum ditebus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lautan Ungu_07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab::27 Jaga Image
Cahaya kuning hangat perlahan memudar. Angin sore berhembus pelan, menyapu daun-daun kering di halaman rumah sakit.
Alka duduk di kursi besi, sementara Alesha di kursi rodanya, dan Jehan di belakangnya.
"Tumben Dokter Ratni belum datang?" gumam Alka, ia noleh ke Alesha.
"Kejebak macet kayaknya." jawab Alesha pelan.
Alka hanya ngangguk, lalu bangun dari duduknya.Jalan mondar-mandir di depan Alesha.
Jehan menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ka, lo bisa diem nggak? Pusing gue lihatnya."
Alka membuang napas pendek, lalu berdiri di hadapan mereka. "Nggak usah di lihat, gue nggak minta di lihatin."
"Ya lo mondar-mandir di depan gue, gimana nggak lihat coba." kata Jehan, suaranya tegas.
Alka tak menggubris ucapan Jehan, matanya melihat sebuah mobil yang familiar masuk ke parkiran. "Yaudah, gue pergi." katanya sabil melangkah.
"Eh, Alka jagan pergi!" Alesha langsung berteriak, mencoba untuk noleh.
"Gue tunggu di ruang terapi. Dokter Ratni udah datang." jawab Alka, ia sedikit berteriak. Tapi langkahnya tak berhenti.
"Jehan, ayok ke ruang terapi." Alesha membetulkan posisi duduknya.
"Oke," dengan hati-hati Jehan mendorong kursi roda Alesha menuju lantai dua.
Di koridor langkah orang-orang berlalu-lalang di sana. Bau antiseptik menyeruak di sepanjang jalan. Jehan kini masuk ke dalam lift.
Ting.
Suara lift berbunyi, pintunya terbuka. Jehan kembali mendorong kursi roda Alesha untuk keluar dari sana.
Dari kejauhan, mereka melihat Alka yang tengah duduk bersandar di kursi tunggu, tangan di lipat ke dada, sok santai tapi banyak gaya.
"Alka," Alesha sedikit berteriak, senyumnya mengembang.
"Hm," jawab Alka santai. "Dokter Ratni udah nunggu di dalam, masuk aja."
Alesha menyeritkan alis. "Lo nggak ikut masuk?"
Alka menarik napas, lalu membuangnya kasar. "Hari ini kan lo ada yang nemenin. Gue tunggu di sini aja."
Senyum di wajah Alesha perlahan memudar, sorotnya menunjukan kecewa. "Oh, yaudah."
Tatapan Jehan jatuh menusuk ke Alka. Rahangnya mengeras, ia mencengkeram erat pegangan kursi roda. Menahan rasa panas yang tiba-tiba muncul dalam dadanya.
Tak lama, Jehan kini membuka pintu ruang terapi, lalu kembali mendorong kursi roda Alesha.
Begitu masuk, aroma minyak pijat dan suara mesin terapi menyambutnya. Dokter Ratni sudah duduk di tepi ranjang, ia membetulkan sarung tangan karetnya.
"Ka, langsung angkat Alesha ke ranjang ya," katanya sebelum noleh. Tapi begitu noleh, Dokter Ratni sedikit terkejut. "Lahh, Jehan ya. Kirain Alka." Dokter Ratni tertawa pelan.
Jehan senyum lebar, tapi sorotnya jelas merasa kesal. "Iya, Dok. Sekarang saya nggak terlalu sibuk dengan kegiatan sekolah, makanya bisa nemenin Alesha terapi."
"Yaudah, biar saya pindahin Aleshanya ke ranjang ya." Dokter Ratni pun mendekat, lalu memangku Alesha dengan hati-hati.
Alesha terbaring di atas ranjang sana. Sementara Bu Ratni kembali memijat bagian-bagian yang perlu. Karena sampai saat ini, Alesha belum kuat untuk berdiri.
"Alesha, gimana perkembangannya?" tanya Dokter Ratni sambil memijat.
"Ada kemajuan, Dok. Nggak terlalu ngilu di tulang belakang." jawab Alesha sambil menggertakkan gigi, menahan nyeri.
Dokter Ratni hanya mengangguk pelan. Ruangan kembali hening, hanya suara ringisan kecil dari mulut Alesha.
Sementara Jehan hanya duduk memperhatikannya. Tangannya menggenggam tangan Alesha.
Di tengah sesi pemijatan, pintu terbuka pelan. Alka masuk dengan tenang, tangan di masukan ke saku.
"Dia rese nggak, Dok hari ini?" tanya Alka sambil berjalan mendekat.
Dokter Ratni langsung tersenyum lebar. "Nggak, Ka. Sekarang anteng."
Alka berdiri di samping Dokter Ratni. "Tahu nggak, kenapa hari ini dia anteng, Dok?"
Dokter Ratni noleh sebentar. "Kenapa?" tanyanya dengan alis bertaut.
"Karena lagi jaga image," jawabnya cepat, sambil nyengir lebar.
Dokter Ratni refleks tertawa kecil. Jehan tak bersuara, tapi dari tatapannya jelas menunjukan kekesalan yang dalam pada Alka.
"Ka, lo mending diem deh." ujar Alesha yang ikut tertawa pelan.
"Tapi bener, kan? Biasanya juga lo teriak-teriak." Alka berjalan mendekatinya.
Alesha langsung natap wajah Alka lama, senyumnya melebar. Alka membalas tatapan Alesha, ia menaik turunkan alisnya.
Tangan Alesha mencengkram seprai, pipinya memerah. Eentah menahan sakit pijatan, atau justru menahan salah tingkah.
Lagi dan lagi Jehan menangkap respon Alesha ke Alka. Respon yang menurutnya cukup manis, dan ramah.
Jehan kembali natap Alka. Tapi kali ini Alka menyadarinya. Tatapan keduanya saling ngunci lama.
"Lo kenapa diem aja, lagi sakit gigi?" tanya Alka sambil berjalan ke arahnya.
Jehan terkekeh. "Gue bukan cowok cerewet kayak, lo."
"Cerewet," ulang Alka sambil tertawa.
Jehan berdecak, langsung buang muka. Tak lagi memperhatikan Alka. Sementara Alka kembali keluar, ia tak ingin semakin membuat perasaan Jehan semakin panas.
Sebenarnya Alka tahu Jehan cemburu, tapi Alka juga tak bisa lepas gitu aja. Ini tanggung jawabnya, apalagi soal Alesha ini sudah berhubungan dengan Fellisya. Alka malas jika harus ribut dengannya.
Setelah selesai menemani Alesha terapi. Kali ini Alka langsung pulang ke rumah, karena Cakra dan Athar meminta cafe tutup untuk dua hari kedepan.
Langit sudah gelap, sesekali kilat menyambar, cahayanya membelah langit. Gemuruh terus-menerus menggelegar.
Begitu pintu pagar di buka, motor Alka langsung masuk ke halaman rumah. Alka langsung turun dari motor, lalu berlari kecil masuk ke dalam rumah.
Suasana rumah selalu sama seperti biasanya. Sunyi, hanya suara jam dinding berdetak yang terdengar.
"Alka," panggil Renata, ia berdiri dekat sofa ruang tengah.
Alka langsung noleh. "Iya, Bu. Kenapa?"
Renata menggeleng, melangkah mendekati. "Nggak, cuma lega aja kamu pulang sebelum hujan."
"Iya, Bu. Barusan dari rumah sakit, Alka langsung pulang." jawab Alka lembut.
"Kamu mau makan sekarang?" tanya Renata, matanya tak lepas dari Alka.
Alka diam beberapa detik. "Lapar sih, tapi belum mandi."
"Yaudah, kamu mandi aja dulu sana." Renata nepuk pundak Alka.
Bukannya pergi, Alka masih terpaku di sana. Menatap Renata.
Tapi tak lama, Alka kini melangkah menuju ruang makan. "Makan aja dulu, deh. Biar nanti nggak turun lagi."
Renata mengikutinya. Dia menemani Alka makan, tapi tak ikut makan. Cuma lihatin Alka.
Ruang makan itu sepi, hanya ada mereka berdua. Dan aroma masakan yang tersedia di atas meja.
"Ibu udah makan?" tanya Alka sambil ngunyah.
Renata ngangguk. "Udah."
"Kalau Lista?"
"Lista juga udah, tadi bareng sama Ibu." jawab Renata. Ada rasa hangat di hatinya.
"Ka," panggil Renata pelan. "Kamu masih suka dance?"
Alka ngangguk cepat. "Masih dong, cuma lagi berhenti aja."
"Kenapa berhenti?" Renata menyeritkan kening.
Alka menelan makannya. "Pengen istirahat aja dulu. Lagian terlalu serius juga, hasilnya belum maksimal."
"Tapi nggak berhenti total, kan?" Renata mencondongkan tubuhnya.
Alka menggeleng. "Nggak, Bu. Nanti juga aku balik latihan lagi, ikut lomba lagi, daftar masuk agensi lagi." jelas Alka dengan penuh harapan.
Renata meraih sebelah tangan Alka di atas meja, menggenggam nya erat. "Semangat ya! Kali ini kamu pasti berhasil. Percaya deh sama, Ibu."
Alka menatapnya, lalu tersenyum. "Semoga aja."
Renata tak menjawab lagi, hanya tersenyum lembut, matanya menatap Alka hangat.
Rasa hangat itu nembus ke hati Alka. Lagi-lagi Alka mendapat kehangatan dari Renata. Yang jelas-jelas ia tahu, yang seharusnya seperti ini adalah ibu kandungnya, yaitu Fellisya.