NovelToon NovelToon
Garis Batas Keyakinan

Garis Batas Keyakinan

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Percintaan Konglomerat / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: blcak areng

Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.

​Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.

​"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

​Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salib, Sajadah, dan Makam Ayah

​Dunia Revan Elias Nugraha terasa dingin, meskipun sinar matahari sore bersinar terang. Di lehernya, salib perak yang mencolok terasa berat. Jantungnya berdenyut nyeri setiap kali teringat pesan dari Om Bimo—Ayah Indira.

​Ia memarkir mobilnya jauh dari keramaian, di area pemakaman mewah yang dikhususkan bagi keluarga besar Muslim konglomerat. Makam Ayahnya, yang dibingkai marmer putih bersih dan dihiasi kaligrafi indah, tampak tenang di bawah naungan pohon kamboja.

​Ayah Revan adalah Muslim sejati, yang mengajarkan Revan tentang tauhid, salat, dan Al-Qur'an hingga usia remajanya. Ibunya (Mami), yang berdarah Belanda-Korea, adalah seorang Kristen yang taat. Revan dibesarkan di dua dunia, hingga keputusan besarnya untuk memilih jalan Ibunya setelah kepergian Ayahnya.

​Revan duduk di atas rumput hijau yang terawat di samping pusara Ayahnya. Di tempat ini, Revan tidak harus menjadi mahasiswa teologi di kampus Kristennya, tidak harus menjadi anak konglomerat yang dituntut sempurna. Di sini, ia hanya seorang anak yang hancur.

​Ia mengeluarkan notes kecil dari saku jaketnya—bukan buku doa, melainkan buku catatan yang penuh dengan tulisan tangannya dan beberapa ayat dari dua kitab suci yang berbeda. Ia memegang tanah di samping nisan.

​"Papi," bisik Revan, suaranya serak. Ia memanggil almarhum ayahnya dengan panggilan masa kecil yang akrab, yang kini terasa asing di lidahnya. "Papi, kalau Papi di sini, Papi akan bilang apa padaku?"

​Air matanya mulai menetes.

​"Aku mencintai Indira, Pi. Aku mencintai Indira Safitri melebihi apa pun. Cintaku itu murni, Pi. Aku menghormati Garis Batas-nya. Aku tidak pernah menyentuhnya. Aku bahkan menghormati Tuhannya lebih dari yang Ayahnya yakini."

​Revan mengingat pesan balasan yang ia kirim pada Indira melalui ponsel temannya, pesan yang dingin, memutus, dan menghancurkan hatinya sendiri.

​"Papi tahu, Om Bimo mengirimiku pesan. Dia bilang aku tidak punya masa depan dengan putrinya. Dia bilang aku harus putuskan Indira demi kebaikan kami berdua. Dan Papi tahu apa yang aku lakukan? Aku setuju, Pi. Aku mengakhiri semuanya."

​Revan menarik napas tajam. "Aku tahu, Pi. Om Bimo benar dari sisi agama beliau. Ayahnya berhak melindungi putri satu-satunya dari hal yang haram. Tapi di sisi lain, aku benci karena aku harus memilih antara keyakinanku dan cintaku."

​Ia menunjuk salib di lehernya, lalu menunjuk makam Ayahnya. "Aku telah memilih jalanku, Pi. Aku telah memilih untuk melanjutkan keyakinan Mami. Itu adalah kedamaianku. Tapi bagaimana aku bisa tenang jika kedamaianku ini merenggut kebahagiaan Indira?"

​Revan membuka buku catatannya. Di halaman kiri, ia menulis: Cinta itu sabar, cinta itu murah hati, ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri... (sebagian prinsip dari 1 Korintus 13:4 yang sering ia renungkan). Di halaman kanan, ia menulis: Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. (Kutipan dari QS. Al-Kafirun ayat 6).

​"Dua kitab, Pi. Keduanya mengajarkan cinta dan batasan yang sama. Tapi keduanya juga menarikku ke arah yang berbeda. Aku ingin memegang prinsip, 'Lakukan segalanya dengan cinta!' Tapi cinta macam apa yang justru membuat Indira berbohong pada Ayahnya? Cinta macam apa yang membuat hatinya hancur?"

​"Aku sudah memutuskan, Pi. Aku harus menjauhi Indira. Bukan karena aku tidak kuat, tapi karena aku tidak mau menjadi alasan Garis Batas di hati Indira menjadi kotor. Jika aku terus bersamanya, dia akan terus melanggar orang tuanya. Dia akan terus berbohong. Dan aku tidak mau cintaku menjadi jalan menuju dosa baginya."

​Revan meletakkan buku catatannya di nisan Ayahnya, seolah menjadikannya saksi.

​"Aku putus, Pi. Aku biarkan dia pergi. Aku lepaskan dia, agar dia kembali ke jalan yang benar. Tapi aku hancur, Pi. Aku hancur karena aku tidak bisa menawarkan kepastian halal, hanya kepastian cinta yang terlarang."

​Ia memejamkan mata, membiarkan air mata membasahi buku catatan itu. Air mata seorang pemuda yang harus memilih pengorbanan tersulit: Melepaskan cintanya, demi menjaga imannya (dan iman wanitanya).

​Tiba-tiba, ponsel Revan bergetar. Sebuah pesan dari Mami.

​Mami: Sayang, Mami tahu kamu sedih. Mami tahu keputusanmu berat. Tapi kamu benar. Hormati Ayah Indira. Kita akan doakan Indira dari jauh. Kamu harus kuat, Nak. Kita sudah memasak rendang yang ia suka. Itu cukup.

​Revan tersenyum pahit. Rendang. Aroma rendang yang dimasak Mami dan Indira adalah simbol kecil dari surga yang tidak bisa mereka miliki.

​"Aku akan kuat, Pi. Aku harus kuat," bisiknya pada makam Ayahnya. "Aku akan menjalani batasan ini. Aku akan fokus pada kuliahku. Aku akan menjadi laki-laki yang dihormati Om Bimo, meskipun aku tidak bisa menjadi menantunya."

​Revan bangkit, mengambil buku catatannya dari nisan Ayahnya. Ia mencium nisan Ayahnya, merasakan dinginnya marmer.

​"Sampai jumpa, Pi. Doakan aku agar aku bisa bertahan di Garis Batas yang Ayah Indira sudah tetapkan. Aku mencintai Indira, dan karena itu, aku harus meninggalkannya."

​Revan berjalan menjauhi makam Ayahnya, meninggalkan makam Muslim yang mewah itu dengan salib perak yang tergantung di lehernya. Ia membawa kehancurannya sendiri, tetapi ia juga membawa kehormatan yang ia pegang: pengorbanan demi keimanan orang yang ia cintai.

​Kini, Revan harus menjalani hidup dalam kekosongan, sama seperti Indira, tetapi dengan beban tambahan: ia adalah pihak yang menekan tombol perpisahan, meskipun hatinya menolak.

1
Suyati
cakep bunda nasehatnya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!