Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan dari Nathan
Pagi hari di kediaman keluarga Wijaya selalu tenang, tapi hari ini terasa berbeda. Suara langkah terburu-buru dan clak-clak sandal jepit para asisten rumah tangga memenuhi lorong. Sejak matahari belum terbit, Bik Rasti dan Bik Diah sudah mondar-mandir sambil membawa tas belanja.
Nathan, yang baru turun dari tangga sambil menenteng tas dan almamaternya, langsung merasa ada yang janggal.
Biasanya, kedua bibi itu jarang—hampir tidak pernah—pergi ke pasar pagi-pagi. Bahan makanan di rumah ini tak pernah kehabisan. Persediaan selalu penuh. Tapi hari ini? Mereka seperti tengah menyiapkan sesuatu yang besar.
“Eh, Nak Nathan,” sapa Bik Diah begitu melihatnya. “Itu bibik udah siapin sarapan buat kamu, dimakan ya… Semua udah bibik siapin.”
Nathan mengerutkan alis. “Bik Diah mau ke mana?”
“Bibik mau belanja.”
“Belanja? Tumben banget…” tanyanya sambil memandang tas besar di tangan Bik Diah. “Kayaknya dari semalam heboh banget nentuin menu hidangannya apa.”
Bik Diah tersenyum canggung. “Em… Mau ada tamu nanti malam.”
“Penting banget tamunya? Sampai segininya?”
“Nanti kamu juga bakal tau sendiri,” ujarnya singkat sebelum buru-buru pergi.
Nathan hanya mengembuskan napas kecil. Ada sesuatu yang disembunyikan semua orang hari ini.
Ia melangkah menuju ruang makan. Suasana di sana lebih normal—Ayah dan kedua kakaknya tengah menikmati sarapan seperti biasa. Nathan duduk di samping Kevin, kakak laki-lakinya yang paling perhatian dibanding yang lain.
Tanpa banyak bicara, Kevin mendorong semangkuk bubur ayam ke hadapan Nathan.
“Gue bisa ambil sendiri,” ucap Nathan, tapi Kevin hanya menanggapinya dengan senyum kecil.
Seperti sudah hafal luar kepala, Kevin menyingkirkan kacang dan bawang goreng dari mangkuk itu. Nathan alergi keduanya, dan Kevin selalu ingat.
Tanpa menunggu lagi Nathan mulai melahap buburnya.
“Nathan…” suara Ayah terdengar dari ujung meja. “Nanti malam jangan pergi ke mana-mana.”
Nathan pura-pura tidak mendengar. Tangannya terus mengaduk bubur.
“Nathan?” Ayah menegaskan.
Nathan menoleh pelan. “Oh, Papa ngomong sama aku?”
“Iya. Papa lagi ngomong sama kamu. Nanti malam jangan pergi ke mana-mana.”
Nathan mengangkat bahu. “Nggak janji…”
“NATHAN…!”
Suara Ayah membelah udara, membuat Kevin dan kakak mereka yang lain menoleh. Nathan hanya meneguk sisa buburnya, pura-pura sibuk. Entahlah. Hari ini semua orang heboh soal tamu malam ini, tapi tak ada satu pun yang mau jujur menjelaskan.
Dan itu membuat Nathan semakin curiga.
Berikut versi naratif yang sudah diperhalus, dibikin lebih emosional, dan mengalir, tapi masih sesuai dengan yang kamu tulis:
---
“Aku sibuk, mungkin nggak pulang…” Nathan meraih jaketnya tanpa menatap Ayah.
“Kamu ini benar-benar mau jadi berandalan, ya?” suara Ayah meninggi.
“Aku udah kenyang. Pergi dulu.”
Nathan bangkit, mengambil kunci motor.
“NATHAN! Papa belum selesai bicara!”
“Kalau nunggu Papa selesai bicara, nanti aku telat. Terus kalau aku telat, Papa pasti marah.”
Nada Nathan dingin, datar, seolah-olah pertengkaran ini sudah terlalu biasa baginya.
Tanpa menunggu reaksi Ayah, ia berjalan cepat menuju pintu dan menghilang begitu saja.
Ayah mengepalkan rahangnya. “Anak itu benar-benar kurang ajar…”
Kevin, yang sejak tadi mengamati, akhirnya buka suara.
“Kenapa Papa nggak terus terang aja sama Nathan?”
Ayah terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. “Sudahlah.” Ia menoleh ke adik bungsu mereka. “Ayo, Jefran. Kamu sudah selesai belum sarapannya?”
“Em… udah, Pah.”
Ayah berdiri, langsung menuju mobil. Jefran berlari kecil menyusul, takut tertinggal karena Ayah berjalan cepat sekali hari ini.
***
Perjalanan ke sekolah berjalan mulus tanpa macet. Suasana dalam mobil jauh dari tegang, tapi tetap terasa berat.
Ayah membuka pembicaraan. “Gimana sekolah kamu akhir-akhir ini?”
“Baik-baik aja…” jawab Jefran pelan.
“Ada mata pelajaran yang susah? Mau tambah waktu les?”
“Emm… sejauh ini nggak ada. Semuanya berjalan baik.”
“Bagus.”
Ayah mengangguk puas. “Gunakan waktu kamu untuk belajar. Isi kegiatan kamu dengan hal yang positif. Semester ini kamu harus dapat peringkat pertama.”
Jefran menggigit bibirnya sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, “Pah… aku boleh nggak ikut ekskul bela diri?”
Ayah menoleh cepat. “Apa? Buat apa? Apa manfaatnya itu?”
“Aku lagi suka taekwondo akhir-akhir ini. Boleh nggak aku ikut?”
“Nggak! Mau jadi apa kamu ikut-ikut begituan? Besarnya mau jadi preman?”
“Pah… itu cuma ekskul. Nggak ada hubungannya sama preman—”
“Jangan bantah!” Ayah memotong tajam. “Ikut ekskul yang jelas-jelas aja. Les, bimbel, akademik. Yang ada nilainya untuk masa depan. Jangan kayak Nathan. Mau jadi Nathan kedua kamu?”
Ucapan itu membuat dada Jefran mencelos. Ia menunduk dalam-dalam, menatap jari-jarinya.
Ayah mengambil sebuah buku dari jok belakang dan menyerahkannya. “Ini. Ayah belikan buku fisika baru. Kamu harus belajar lebih giat. Jangan banyak main.”
Jefran menerima buku itu dengan dua tangan, tapi hatinya terasa semakin berat.
Di luar jendela, sekolah sudah terlihat, namun langkah turun terasa jauh lebih sulit daripada biasanya.
***
Nathan melempar tas dan almamaternya asal ke bangku, tanpa peduli jatuh rapi atau tidak. Setelah itu ia langsung berbalik, menyusul Tian dan Raka ke lapangan basket. Pagi-pagi buta, keringat sudah jadi teman mereka.
Suara bola memantul keras di lantai lapangan. Nathan dengan mudah memasukkan bola ke dalam ring, satu demi satu, seolah itu hal sepele.
“Than, dicariin tuh,” ujar Tian sambil mengelap keringatnya.
“Siapa sih? Ganggu aja,” sambung Raka malas.
Seorang siswa kelas IPA berdiri agak jauh, ragu-ragu mendekat. Wajahnya terlihat gugup.
“Kak Nathan, kan?” tanyanya hati-hati.
Nathan menoleh. “Iya. Kenapa lo nyari gue?”
“Aku direkomendasiin sama Pak Bayu buat nemuin kak Nathan. Katanya aku harus belajar rumus fisika ini sama kakak.”
Nathan melirik sekilas kertas di tangan anak itu, lalu mendengus.
“Gue anak IPS. Mana paham yang ginian.”
“Tolong lah, Kak…” suara anak itu melemah. “Nanti aku nggak dibolehin masuk kelas sama Pak Bayu.”
“Lo aneh banget,” kata Nathan dingin. “Gue anak IPS. Mana mungkin ngerti fisika.”
“Mending lo cari tutor lain aja,” potong Tian. “Kita lagi main basket.”
“Tapi bukannya Nathan bisa ya?” celetuk Raka.
Belum sempat lanjut, Tian langsung menjitak kepala Raka.
“Idiot.”
Nathan melangkah maju. “Minggir lo. Jangan ganggu kita.”
“Tapi aku disuruh Pak Bayu…” Anak itu masih berdiri di tempat, jelas ketakutan.
Sebenarnya seluruh sekolah tahu reputasi Nathan. Tidak ada yang berani lama-lama berurusan dengannya. Tapi kakinya terasa berat untuk melangkah pergi.
Nathan menatapnya tajam.
“Lo nggak takut sama gue?”
“Se… sedikit…”
Tian dan Raka langsung tertawa keras.
“Yaudah sana pergi,” kata Nathan santai. “Kalau lo takut.”
Nathan meraih bola basket dari tangan Raka.
“Nggak…” Anak itu menelan ludah. “Aku nggak takut.”
Nathan berhenti. Sudut bibirnya terangkat tipis.
“Kalau gitu, tanding basket sama gue.”
“Hah?” Anak itu membelalak. “Tapi aku nggak bisa main basket.”
“Cupu,” ejek Nathan sambil berbalik hendak pergi.
“Tunggu!” Anak itu memanggil cepat. “Oke… aku siap tanding.”
Lapangan mendadak sunyi sesaat.
Nathan menoleh perlahan, senyum tipis yang sama kembali muncul.