NovelToon NovelToon
HIGANBANA NO FUKUSHU

HIGANBANA NO FUKUSHU

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / CEO / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Dokter / Bullying dan Balas Dendam / Sugar daddy
Popularitas:190
Nilai: 5
Nama Author: IΠD

Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Apologize

Indra, yang tadinya santai, kini merasa terperangkap. Ia melihat Araya memblokir satu-satunya jalan keluar dari ruangan itu. Indra perlahan mundur, tangannya sudah ia masukkan ke dalam saku tracksuit-nya, wajahnya yang tampan kini menampilkan ekspresi canggung. Ia tidak bisa ke mana-mana, terjebak oleh mantan kekasihnya yang jauh lebih berkuasa dan memiliki mata setajam elang.

​Araya, menyadari kelakuan Indra yang ingin melarikan diri, tersenyum sinis. Araya perlahan menahan Indra dengan hanya bersandar pada bingkai pintu.

​"Kau mau ke mana? Baru sebentar di sini, dan kau sudah mau kabur? Sekarang kita bicara, Indra," ujar Araya, suaranya mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.

​Indra tahu betul bagaimana sifat Araya—tegas, disiplin, dan tidak suka dibantah. Dan Araya, sebaliknya, tahu betul bagaimana menangani Indra yang seperti anak nakal, meskipun Indra adalah mantan detektif jenius.

​"Aku ada giliran taksi, Araya-san. Kau tahu, mencari nafkah halal," jawab Indra, menghindari tatapan mata Araya. Sifatnya yang dingin dan introvert membuat ia tidak banyak bicara dan lebih memilih memandang dinding.

​Araya melangkah mendekat, mengabaikan protes Indra. Ia mengamati Indra dari ujung kepala hingga kaki—dari topi bisbol hingga tracksuit biru murahan yang dikenakannya.

​"Lihat dirimu," komentar Araya, nada suaranya mengkritik namun ada sedikit geli. "Dari detektif elit yang menangani kasus black market terumit, sekarang jadi sopir taksi. Sebuah kemunduran karier yang... brilian."

​Indra mendengus, sifat Tsundere-nya langsung muncul.

​"Ini namanya rebranding. Aku menikmati hidup santai, jauh dari protokol memuakkan milikmu."

​"Santai?" Araya menyeringai. "Kau bermain kartu dengan para senior di sini, membuat mereka kabur dengan tatapanku. Kau bahkan terlihat lumayan bodoh dengan topi itu. Tapi..."

​Araya berhenti, memberikan sedikit pujian yang sangat langka.

​"...Aku dengar, Kau bekerja keras di sini, menjadi sopir taksi biasa. Itu bagus. Setidaknya kau tidak melakukan hal aneh di luar hukum."

​Indra langsung salah tingkah. Wajahnya sedikit memerah, tidak banyak bicara, hanya mengusap belakang lehernya.

​"Tentu saja. Aku kan orang baik," gumam Indra.

​Hubungan mereka di masa lalu yang kocak terulang kembali—Araya sebagai sosok 'ibu' yang super serius dan Indra sebagai 'anak nakal' jenius yang harus terus diawasi.

​"Baiklah, orang baik," kata Araya, nadanya kembali menjadi detektif. "Karena kau sangat santai, aku punya pekerjaan sampingan yang sangat 'santai' dan 'halal' untukmu. Ini ada hubungannya dengan Akari Otsuki."

Mendengar nama Akari, wajah Indra yang tadinya santai langsung mengeras. Ia membenarkan topi bisbolnya yang sedikit miring, ekspresinya menjadi dingin dan tertutup—sebuah dinding pelindung khas sifat Tsundere-nya.

​"Aku tidak peduli. Itu tidak ada hubungannya denganku," ujar Indra, suaranya kembali datar. Ia sengaja memalingkan wajah, menghindari kontak mata Araya.

​"Kau mau aku membantumu menyelidiki Agate, ya? Jangan konyol, Araya. Kau tahu aku sudah keluar dari dunia itu."

​Indra menoleh sekilas, tatapannya menyakitkan.

​"Lagipula, bukankah kau sudah bilang tidak ingin bekerja denganku lagi? Kau yang bilang. Di ruangan detektifmu. Aku hanya akan menghancurkan segalanya, ingat?" sindirnya, mengungkit kembali kenangan pahit itu.

​Araya memejamkan mata sesaat, menahan rasa bersalah dan amarah pada dirinya sendiri. Ia menghela napas, berusaha melembutkan suasana. Ia melangkah mendekat, perlahan.

​"Indra, aku tahu apa yang kukatakan saat itu. Aku—"

​Araya mencoba menjangkau dan memegang tangan Indra, sebuah isyarat langka yang menunjukkan betapa putus asanya ia membutuhkan bantuan.

​Namun, sebelum Araya sempat menyentuhnya, Indra menarik tangannya dengan cepat dan tegas, seolah-olah sentuhan Araya adalah api.

​"Jangan menyentuhku," kata Indra dingin. "Aku tidak kembali, Araya. Dan kau harus mencari orang lain untuk keadilanmu."

​Meskipun Indra menolak Araya, keheningan panjang di antara mereka menunjukkan bahwa ini bukan hanya tentang kasus; ini adalah tentang dua orang yang terluka dan belum berdamai dengan masa lalu mereka yang dipenuhi aturan dan pengkhianatan. Akari mungkin menjadi kunci untuk menyatukan mereka kembali, meskipun Indra menolaknya dengan keras.

.

Indra memandang jauh ke dinding, tangannya yang ditarik masih gemetar. Kehadiran Araya di sana, setelah sekian lama, telah membuka kembali luka lama yang ia kira sudah sembuh.

​"Kau tahu, Araya," ujar Indra, suaranya kini terdengar lebih rapuh, tanpa nada santai yang ia gunakan sebelumnya. "Kata-katamu hari itu... saat kau bilang tidak ingin bekerja denganku lagi, bahwa aku akan menghancurkan segalanya..."

​Indra menoleh, matanya yang tajam kini memancarkan kesedihan mendalam.

​"Kata-kata itu membuatku mengerti. Itu bukan hanya soal protokol atau kariermu. Kau benar-benar ingin aku pergi. Kau menganggapku sebagai bom waktu, ancaman bagi stabilitas yang kau bangun."

​Indra tersenyum pahit.

​"Aku tahu betapa kau menghargai keadilan dan aturan. Dan ketika kau yang melontarkan kata-kata itu, itu lebih menyakitkan daripada ditampar atau dipecat oleh para petinggi korup itu. Karena itu datang darimu. Aku pergi bukan karena aku dipecat. Aku pergi karena Kau yang memintanya."

​Indra menghela napas, gesturnya kini sepenuhnya menyerah.

​"Jadi, tidak, Araya. Aku tidak akan kembali ke dunia itu. Aku tidak akan lagi menjadi 'pengacau' dalam keadilanmu. Aku bahagia di sini, mengendarai taksi dan bermain kartu. Jauh dari kekacauan yang akan kubawa."

​Araya hanya memandang Indra, terdiam. Semua sindiran, semua amarahnya di awal pertemuan kini menguap, digantikan oleh kesadaran akan luka yang ia timbulkan. Ia melihat rasa sakit yang nyata di mata Indra, rasa sakit yang ia abaikan selama ini demi menjaga citranya di kepolisian.

Indra melanjutkan mengungkapkan semua perasaan yang terpendam, semua rasa sakit karena diusir oleh orang yang paling ia cintai. Ruangan itu terasa berat oleh kata-katanya yang dingin namun rapuh.

​Setelah Indra selesai, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya suara napas Araya yang terdengar.

​Araya menunduk, tatapannya tertuju pada lantai kayu yang kotor, seolah-olah seluruh rasa bersalahnya tercetak di sana. Ia tahu, permintaan maaf biasa tidak akan cukup untuk menutupi luka yang ia ciptakan.

​Dengan gerakan yang lambat dan penuh makna, yang sangat jauh dari karakter detektifnya yang bangga, Araya berlutut di lantai di depan Indra.

​"Aku tahu kata-kata tidak akan memperbaiki apa pun, Indra," bisik Araya, suaranya parau dan bergetar, penuh penyesalan. "Aku tidak bisa memintamu untuk kembali bekerja, atau memaafkanku. Tapi aku... aku ingin meminta maaf sebesar-besarnya atas apa yang kulakukan padamu."

​Air mata mulai mengalir di pipi Araya, membasahi jasnya yang mahal. Ia adalah Kepala Detektif yang tangguh, tetapi di hadapan Indra, ia hanyalah seorang wanita yang menyesali kesalahannya.

​"Aku terlalu takut kehilangan karierku, terlalu takut pada Agate, dan aku menggunakan aturan sebagai perisai," akunya. "Kata-kataku itu... itu adalah hal paling bodoh dan menyakitkan yang pernah aku ucapkan. Aku tahu kau selalu benar, dan aku menampikmu karena keangkuhanku sendiri."

​Araya mengangkat pandangannya yang basah oleh air mata, menatap Indra dengan kejujuran.

​"Dan aku perlu kau tahu, Indra... Aku... aku masih mencintaimu hingga sekarang. Itulah mengapa aku sangat marah setiap kali Akihisa menyebut namamu. Aku marah pada diriku sendiri karena telah mengusirmu."

​Pengakuan Araya, apalagi dengan posisi berlutut, menghancurkan dinding pertahanan Indra.

Indra memandang Araya yang berlutut dan menangis di depannya. Meskipun Araya telah meruntuhkan pertahanannya sendiri, Indra hanya memandang dingin. Ia berdiri kaku, topi bisbolnya menaungi matanya yang kelam.

​Namun, di balik sikap luarnya yang membeku, ia sebenarnya menahan tangisnya. Pengakuan Araya—terutama tentang perasaannya yang masih ada—menghantam Indra dengan keras. Ia ingin menarik Araya ke dalam pelukannya, tetapi rasa sakit dari pengkhianatan masa lalu masih menghalangi.

​Araya, merasakan penolakan Indra namun didorong oleh keputusasaan dan cinta, tidak menyerah. Ia bangkit dari posisinya yang berlutut.

​Araya mendekati Indra selangkah demi selangkah, mengabaikan jarak yang Indra coba pertahankan. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam tangan Indra dengan kelembutan yang ia harap bisa meluluhkan es di hati Indra.

Melihat ketulusan dan air mata Araya, dinding es yang dibangun Indra akhirnya runtuh.

​Saat Araya mendekat, alih-alih menarik diri lagi, Indra membiarkan Araya meraihnya. Araya memeluk Indra dengan erat, seolah-olah ia mencoba menebus semua bulan kehilangan dan penyesalan.

​"Aku minta maaf, Indra," bisik Araya, suaranya tercekat di bahu Indra. "Aku mohon. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Aku butuh bantuanmu."

​Araya melepaskan pelukan sedikit dan menatap Indra dengan mata memohon.

​"Aku tahu kau tidak mau kembali ke institusi yang mengkhianatimu. Aku tidak akan memintamu kembali ke kepolisian. Cukup bantu kami dari luar. Hanya aku yang akan berada di sana, bersama Akihisa dan Miku, sebagai wajah publik. Kau, kau bisa bekerja di balik bayangan."

​Lalu, Araya mengucapkan janji yang lebih penting bagi mereka berdua.

​"Dan Indra... Aku ingin kau menjalin hubungan kembali denganku. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi. Aku mencintaimu."

​Mendengar janji dan pengakuan itu, penolakan Indra sirna. Ia merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Indra memendamkan wajahnya di dada Araya, membalas pelukan itu dengan kekuatan yang sama, membiarkan semua emosi yang ia tahan keluar dalam keheningan.

​Araya mengelus kepala Indra dengan lembut, seperti yang sering ia lakukan di masa lalu. Air mata menggenangi mata Indra di bahu Araya.

​Pada momen itu, mereka berdua tahu bahwa hubungan mereka telah tersambung kembali, tetapi rekonsiliasi ini datang dengan harga yang mahal: mereka harus kembali ke dunia berbahaya yang telah merenggut segalanya dari Akari. Indra telah setuju untuk menjadi 'otak gila' yang dibutuhkan tim Araya untuk melawan Agate, demi cinta dan demi keadilan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!