Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Dentuman keras dari balik pintu kamar mandi seakan membuat seluruh dinding rumah bergetar. Keyla menahan napas, tubuhnya meringkuk di sudut, telinganya menangkap setiap suara yang pecah dari luar. Teriakan kecil, desingan nafas berat, barang-barang jatuh—semua bercampur dalam kekacauan yang membuatnya hampir pingsan ketakutan.
Suara Kenny terdengar, kasar dan penuh amarah.
“LEPASKAN DIA!”
Suara pria misterius itu merespon dengan dingin, begitu tenang hingga terasa seperti racun.
“Kau tidak mengerti, Kenny. Dira milikku.”
BRAKK!
Suara tubuh membentur lemari.
Keyla terlonjak.
Ia ingin membuka pintu, ingin tahu apa yang terjadi, tapi tubuhnya membeku oleh rasa takut yang sudah mengakar terlalu lama. Kakinya gemetar, matanya basah, dan setiap kali suara pria itu terdengar, jantungnya seolah berhenti bekerja.
Ketika suara langkah mendekat ke arah pintu kamar mandi, Keyla menahan napas.
Namun suara itu bukan langkah pria misterius itu.
Suara Kenny.
Tergesa. Terengah. Terdengar sakit.
“Keyla…”
Tok-tok pelan. “Key… buka pintunya. Ini aku.”
Keyla melompat ke arah pintu, tangannya gemetar memutar kunci. Ia membukanya sedikit—hanya cukup untuk melihat wajah Kenny yang terluka; bibirnya pecah, sudut alisnya berdarah, dan napasnya masih berat.
Tapi matanya tetap fokus pada Keyla.
“Kamu nggak apa-apa?”
Keyla langsung memeluknya, tubuhnya bergetar hebat. “K-Kenny… dia… dia masuk… dia…”
Kenny memeluknya erat, hampir menghancurkan jarak di antara mereka.
“Sudah… kamu aman sekarang.”
Dalam pelukannya, suara Kenny pecah. “Aku di sini.”
Namun ketenangan itu hanya berumur tiga detik.
Karena suara langkah kaki kembali terdengar dari kamar—tenang, mantap, menghentikan dunia.
Kenny mendorong Keyla kembali masuk ke kamar mandi, menutup pintunya pelan tapi cepat.
“Jangan buka pintu sampai aku bilang.”
Tangan Kenny menahan pipinya. “Tolong, Key. Percaya sama aku.”
Keyla mengangguk sambil menangis. “Kenny… hati-hati…”
Kenny menutup pintu, lalu berdiri menghadap keluar kamar mandi.
Di Dalam Kamar
Pria itu berdiri di dekat jendela, seakan sudah lama menunggu momen yang tepat.
Tubuhnya tinggi, bahunya lebar, memakai jas hitam basah karena hujan. Setengah wajahnya tersembunyi oleh bayangan, namun garis senyumnya terlihat jelas.
Senyum yang membuat Keyla dulu tidak bisa tidur.
Senyum yang masih muncul di mimpi buruknya hingga saat ini.
Pria itu mengangkat kepala sedikit saat Kenny keluar.
“Akhirnya kita bisa bicara, Kenny.”
Kenny menggeram. “Keluar dari rumahku.”
“Rumahmu?” pria itu mengangkat alis, tertawa pelan. “Rumah ini hanya tempat singgah. Tempat dia bersembunyi sementara.”
Kenny maju selangkah, menutupi pintu kamar mandi dengan tubuhnya. “Dia bukan milikmu. Siapa pun kamu, apa pun masa lalu kalian—Keyla bukan Dira yang kamu kenal.”
Pria itu memiringkan kepala, seolah mengamati Kenny dengan minat baru.
“Kau sangat berani. Mengagumkan, sebenarnya.”
Lalu matanya menggelap.
“Sayang sekali keberanianmu… tidak berguna.”
Dalam sepersekian detik, pria itu menyerang.
Kenny menangkis, namun hentakan pria itu begitu kuat hingga Kenny terhuyung ke belakang, menabrak meja rias. Cermin retak, pecahannya berjatuhan.
Kenny mengelap darah dari sudut bibir.
“Aku nggak tahu siapa kamu… tapi kamu salah orang kalau pikir aku akan membiarkanmu menyentuhnya.”
Pria itu tersenyum tipis. “Aku selalu menyukai pria yang percaya diri.”
Tanpa peringatan, Kenny menyerang balik. Pukulan mereka saling bertukar—keras, cepat, liar. Udara kamar bergetar oleh hantaman. Pria itu tampaknya lebih kuat, tetapi Kenny punya satu hal yang tidak dimiliki pria itu:
Motivasi untuk melindungi Keyla.
Satu pukulan telak mendarat di rahang pria itu. Ia terdorong mundur.
Namun alih-alih marah, ia tersenyum.
“Kau lebih baik dari yang kuduga.”
“Kau kurang beruntung,” Kenny membalas dingin. “Karena aku tidak akan berhenti.”
Pria itu menegakkan tubuhnya, mengibaskan darah dari ujung bibir.
“Namaku—”
Ia melangkah maju, tatapan matanya menancap dalam.
“—Ardhan.”
Kenny mengerutkan alis. “Aku tidak peduli apa namamu.”
Ardhan tertawa kecil. “Tapi Dira peduli.”
Ia menyentuh dada kirinya. “Dia menanamkan nama ini dalam hidupnya selama bertahun-tahun.”
Di kamar mandi, Keyla mendengar nama itu.
Ardhan.
Tubuhnya langsung kaku.
Nama yang ia harap tidak akan pernah muncul kembali.
Nama yang ia kubur dalam-dalam.
Nama lelaki yang pernah memiliki seluruh hidupnya—dan hampir mengambil seluruh nyawanya.
“Ardhan…” Keyla berbisik, tubuhnya bergetar. “Tidak… tidak…”
Kembali di Kamar
Kenny menahan napas ketika mendengar nama itu.
“Jadi kamu Ardhan,” katanya rendah. “Nama yang dia begitu takut sebut.”
Ardhan tersenyum dengan bangga. “Bagus. Dia masih mengingatku.”
Kenny mengepalkan tangan. “Dia tidak mengingatmu. Dia trauma olehmu.”
Ardhan tertawa, terdengar seperti retakan dalam keheningan. “Trauma itu hanya bentuk cinta yang salah arah.”
Kenny tidak membuang waktu. Ia menyerang, membawa Ardhan ke dinding dan mendorongnya keras. Ardhan membalas dengan lutut ke sisi tubuh Kenny hingga Kenny meringis kesakitan.
Namun Kenny tetap berdiri.
“Kenapa kamu mengejarnya, hah?! Dia ingin pergi dari masa lalunya! Untuk apa kamu kembali?!”
Ardhan mendekat, wajahnya kaku.
“Karena dia pergi tanpa izin.”
Kenny terdiam sesaat.
Ardhan melanjutkan, suaranya rendah dan dingin.
“Dira tidak boleh hilang dari hidupku. Tidak boleh kabur. Tidak boleh menyembunyikan diri sebagai orang lain.”
Ia menatap Kenny dengan tatapan membunuh.
“Dan kamu… pria yang menghalangiku.”
Tanpa peringatan, Ardhan mencengkeram kerah Kenny dan membantingnya ke lantai. Kenny terbatuk keras, napasnya tersengal. Namun ia memaksakan diri bangkit.
“Kalau ingin dia,” Kenny mengangkat kepalanya, “kau harus melewati aku dulu.”
Ardhan menghela napas pendek, tampak bosan. “Sudah sejak tadi.”
Ia melangkah ke arah kamar mandi.
Kenny menoleh cepat. “JANGAN SENTUH DIA!”
Kenny memaksa berdiri, tapi Ardhan hanya mendorongnya hingga ia kembali jatuh. Ardhan mendekati pintu kamar mandi dan mengetuk perlahan.
Tuk… tuk… tuk.
“Dira, buka. Aku sudah menyingkirkan hambatan kecilmu.”
Keyla memeluk dirinya di dalam kamar mandi, air matanya tak berhenti menetes.
“Tidak… jangan…”
“Kau tidak perlu takut.”
Suara Ardhan lembut, sangat lembut. “Kita akan pulang.”
Di luar, Kenny merangkak, menahan rasa sakit, mencoba bangkit. “Keyla… jangan buka… pintunya…”
Ardhan memutar kenop pintu kamar mandi. Terkunci.
Ia tersenyum tipis. “Masih keras kepala rupanya.”
Ia menekankan bahunya pada pintu.
Krek.
Kayu mulai retak.
Keyla memejamkan mata.
Hatinya menjerit.
Kenapa kau kembali? Kenapa setelah aku berusaha mati-matian kabur? Kenapa setelah aku hampir mati karena kamu?
Namun sebelum pintu itu patah—
suara keras dari lantai bawah menggema.
BRUK!
Seperti seseorang mendobrak pintu rumah.
Ardhan berhenti.
Ia menoleh ke arah tangga.
Kenny tersenyum lemah. Napasnya terengah.
“Bodyguard-ku,” katanya dengan suara serak. “Mereka sudah datang.”
Ardhan mengerutkan alis. Tatapannya berubah dingin.
Untuk pertama kalinya malam ini… ia terlihat terganggu.
Suara langkah kaki beberapa orang terdengar menaiki tangga.
Ardhan menatap pintu kamar mandi sekali lagi, lalu menatap Kenny.
“Ini belum selesai,” katanya sambil mundur pelan.
“Kau bisa menahanku malam ini… tapi bukan selamanya.”
Ia melempar pandangan terakhir ke arah pintu kamar mandi.
“Dira… aku akan kembali.”
Dan dalam hitungan detik, Ardhan melompat keluar jendela dengan gesit. Hujan deras menyembunyikan kepergiannya.
Ketika bodyguard masuk dan mengamankan ruangan, Kenny berlari ke pintu kamar mandi, memukulnya keras dengan tangan berdarah.
“Key! Ini aku! Sudah aman! Tolong buka pintunya!”
Keyla membuka pintu dengan tangan gemetar. Begitu melihat Kenny—basah, berdarah, tetapi hidup—ia langsung memeluknya erat.
Kenny memeluknya kembali, menempelkan dagunya di kepala Keyla.
“Sudah… sudah… kamu aman sekarang…”
Namun suara Kenny pecah.
Ada ketakutan yang sama besar dengan milik Keyla.
Keyla menangis tersedu.
Satu kalimat keluar dari bibirnya.
“Kenny… dia menemukan aku…”
“Apa yang harus aku lakukan?”
Kenny menutup matanya, memeluknya lebih kuat.
“Kita lawan sama-sama, Key.”
“Kamu tidak sendirian lagi.”
Di luar hujan turun semakin deras.
Dan Ardhan… pergi bukan untuk mundur.
Tetapi untuk mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.
Malam itu Keyla sadar satu hal:
Masa lalu bukan hanya menghantuinya.
Masa lalu sedang mengejarnya… tanpa niat berhenti.