Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 34
✨ Versi Revisi:
***
Mobil hitam itu akhirnya memasuki halaman rumah besar keluarga Faizan. Siang di Jakarta terasa menusuk kulit, tapi angin yang berembus lewat sela pepohonan seolah membawa sedikit rasa lega setelah perjalanan panjang dari Desa Cempaka.
Alea duduk diam di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya menerawang, pikirannya masih tertinggal di desa kecil yang beberapa hari lalu memberinya ketenangan. Kini, yang tersisa hanya dada sesak dan tangan yang terus gemetar tanpa alasan.
Begitu mobil berhenti, Bi Iyem—yang sedang memangkas bunga di taman—spontan mendongak. Gunting di tangannya hampir terjatuh. Tatapannya langsung mengenali sosok Faizan yang turun dari mobil, disusul Alea yang tampak menunduk di belakangnya.
Wajah Bi Iyem seketika berseri. Ia buru-buru berlari kecil masuk ke rumah sambil berseru, napasnya tersengal di antara kegembiraan.
“Nya! Nyonya! Den Faizan pulang… bawa Nyonya muda!”
Dari dalam, Ibu Maisaroh yang sedang duduk di ruang tengah sontak menoleh. Wajah pucatnya yang selama ini kehilangan cahaya tiba-tiba memancarkan harap baru.
“Alea…? Alea pulang?”
suaranya lirih, bergetar.
Tak menunggu jawaban, Ibu Maisaroh berdiri. Tubuhnya yang lemah seolah mendapatkan tenaga baru. Langkahnya tergesa menuju pintu, dan di sana—di ambang cahaya siang yang menembus halaman—ia melihat sosok yang selama ini dirindukannya.
“Alea…” suaranya pecah, hampir tak terdengar.
Alea menunduk, matanya sudah basah sejak dari mobil. Begitu melihat senyum lembut itu—senyum seorang ibu yang tak pernah benar-benar bisa ia lupakan—ia tak lagi mampu menahan diri. Tas di tangannya jatuh, dan dalam sekejap ia berlari kecil, memeluk tubuh Ibu Maisaroh dengan erat.
“Ibu…” suaranya parau, nyaris tersedak oleh tangis. “Alea minta maaf… maaf banget, Bu…”
Tangis mereka pecah. Rumah yang beberapa bulan terakhir terasa sepi mendadak penuh isak haru.
Sementara di belakang, Faizan berdiri diam. Sorot matanya teduh, tapi rahangnya masih tegang. Ia menatap pemandangan itu lama—pelukan yang akhirnya membuat segalanya terasa kembali utuh.
Pelukan itu bertahan cukup lama, sampai langkah berat Faizan terdengar mendekat. Ia menunduk sedikit, menyentuh bahu ibunya dengan lembut. Nada suaranya tenang, nyaris seperti bisikan yang penuh kendali.
“Mama… sekarang Mama nggak usah khawatir lagi--- Alea sudah pulang. Semua sudah baik-baik saja.”
Ibu Maisaroh menatap Faizan, lalu menoleh ke arah Alea di pelukannya. Air mata masih menetes di pipinya, tapi senyumnya mengembang tulus.
“Alhamdulillah… Mama cuma pengin lihat kalian berdua di sini, bareng. Itu aja udah cukup buat Mama.”
Alea menunduk, tak sanggup membalas tatapan itu. Suaranya seolah hilang di dada yang berdebar. Ia tahu, kata-kata Faizan terdengar begitu menenangkan di telinga ibunya—tapi baginya, itu adalah kalimat yang menyimpan beban baru.
Faizan mencium tangan sang ibu dengan lembut. “Mulai sekarang, Faiz janji, Mama nggak akan merasa sendirian lagi.”
Ibu Maisaroh mengangguk, menahan haru. Sementara Alea, di sisi mereka, menatap lantai dengan mata sembab. Ia tak tahu harus bersyukur atau takut dengan “kepulangan” ini.
---
Surabaya.
Sementara di tempat lain, di kamar kontrakan kecil dengan dinding biru pudar, seorang gadis tengah sibuk melipat pakaian. Nayla.
Tangannya bergerak cepat, tapi wajahnya menyimpan sesuatu yang lain—semacam semangat yang disamarkan oleh kegelisahan.
Setiap kali nama itu muncul di kepalanya, jantungnya berdegup lebih cepat.
Faizan. Ia berhenti sejenak, menatap koper biru di depannya. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis.
“Jakarta…” bisiknya lirih. “Aku harus ke sana. Aku harus ketemu sama dia.”
Tak ada yang tahu rencananya—tidak teman kuliah, tidak tetangga kontrakan, bahkan keluarganya sendiri. Ia sudah menyiapkan segalanya diam-diam: tiket kereta, alamat, bahkan alasan yang akan ia ucapkan jika nanti seseorang bertanya.
Nayla berdiri di depan cermin. Ia merapikan rambutnya, lalu menatap pantulan dirinya lama-lama. Ada tekad di mata itu, tapi juga luka yang belum sembuh.
Ia mengangkat tiket kereta yang terselip di dalam buku catatan. Kertas itu tampak sederhana, tapi bagi Nayla, itu adalah gerbang menuju sesuatu yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
“Faizan…” ucapnya lirih, penuh perasaan. “Aku ingin tahu… apa aku masih punya tempat di hati kamu.”
Lalu ia menutup koper perlahan. Sore itu, langit Surabaya mulai memerah. Nayla berbaring di ranjang sempit, tapi matanya tetap terbuka lebar—membayangkan kota yang akan ia datangi esok hari.
Kota di mana hatinya mungkin akan kembali hancur, atau justru menemukan arti baru dari kehilangan.
---
Sore itu, langit Jakarta berwarna oranye lembut. Cahaya matahari terakhir menimpa halaman rumah keluarga Faizan, membuat bayangan pohon kamboja tampak memanjang di jalan setapak.
Ibu Maisaroh tampak bahagia. Tubuhnya masih lemah, tapi langkahnya ringan. Ia menggandeng tangan Alea berjalan menyusuri komplek, menikmati udara sore yang jarang sempat ia hirup beberapa waktu terakhir.
“Lihat, Alea… bunga kamboja depan rumah Bu Rini tuh, cantik sekali ya?”
Ibu Maisaroh tersenyum sambil menunjuk taman kecil di seberang jalan.
Alea ikut tersenyum, mencoba menahan air mata yang kembali menggenang. “Iya, Bu. Kalau Ibu mau, besok kita tanam juga di halaman rumah.”
Ibu Maisaroh terkekeh. “Boleh juga. Rumah ini rasanya hidup lagi sejak kamu pulang.”
Di dalam rumah, Faizan baru saja turun dari tangga. Ia mengenakan kemeja santai, menggulung lengan hingga siku.
Langkahnya terhenti di ruang tengah yang kosong. “Bi, Mama di mana?” tanyanya singkat.
Bi Iyem yang sedang melipat kain menoleh, tersenyum. “Oh, itu, Den. Nyonya lagi jalan sore sama Nyonya muda Alea. Katanya mau muter komplek, biar badannya nggak kaku.”
Faizan terdiam sejenak. Pandangannya mengarah ke pintu depan. Udara sore mengalir masuk, membawa aroma bunga yang samar.
Ia menarik napas pelan, lalu melangkah keluar rumah. Langkahnya berat tapi mantap, seperti seseorang yang tahu—perjalanan ini belum benar-benar selesai.
Dan di bawah langit senja yang lembut itu, tak ada yang tahu… bab baru antara dirinya dan Alea baru saja dimulai.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/