Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB XXXIII LUMPUR HITAM
Keganasan musibah dan petaka di kampung sungguh mengenaskan, hampir semua anak-anak meninggal dan menderita cacat fisik, ada yang lumpuh, kehilangan penglihatan dan pendengaran, susah bernafas, bisu dan lain sebagainya. Sementara untuk mengatasi itu, para tabib merasa kebingungan dan kelelahan, mereka justru terserang penyakit juga. Kakek Palon akhirnya pergi ke hutan dan membawa lumpur hitam, lalu dari lumpur hitam itu, ia bakar dengan pengapian sedangkan lumpur hitam itu dibuat tipis-tipis lalu setelah sedikit kering lalu dibakar . Maka jadilah sebuah bentuk cemilan yang terbuat dari lumpur hitam, ada juga yang dari intinya tanah liat. Cara pemakaiannya juga sangat mudah tinggal dimakan atau dioleskan ke tubuh yang sakit atau bengkak.
"Ini semacam penyakit yang aneh ki sanak, semua jalur pernafasan juga jalur makanan tersumbat, mungkin ini cara penyembuhannya. Kakek Palon telah berhasil menyelamatkan sebagian warga, dua kali sudah ia berhasil. Kemudian dengan tingginya ilmu pengetahuan dan pengalaman, lalu kakek Palon membuat racikan obat penyembuh panggeblug di kampung itu. Dengan cara membagi ramuan tersebut sambil menjelaskan cara pengobatannya, kakek Palon dengan sabar menjelaskan cara menggunakan obat itu.
"Nanti dioleskan di bagian tubuh yang sakit ya, dan ini supaya diminumkan secara teratur, jangan lupa minta kesembuhan kepada Sang Pencipta. Juga jangan lupa saling membantu," kata kakek Palon.
"Maaf kek, kalau sudah sembuh apa lebihan obatnya bisa untuk yang lain, maksudnya diberikan kepada yang belum sembuh kek," ujar salah satu warga.
"Iya.....kalau bisa kita saling bantu, baik menjaga dan merawat ataupun memberi sumbangan, kita bekerja sama pokoknya," kata kakek Palon.
Berkat kerja sama dan kekompakan warga akhirnya musibah itu sedikit demi sedikit dapat di atasi, warga kembali sehat seperti sedia kala. Namun , semua berjalan hanya satu minggu saja.
Pada suatu hari , di saat warga sedang melakukan kerja bakti penugurasan selokan, sebuah kejadian pun bermula saat salah satu warga menguras sebuah gundukan tanah di selokan itu, lalu beberapa kali mencangkul tanah, tiba-tiba tubuhnya secara cepat amblas masuk ke dalam tanah. Kontan saja teman di dekatnya kaget.
"Eh.....Darma.....Darma.....tolong....tolong..Darma hilang masuk ke tanah," teriak temannya Darma sambil memanggil nama Darma.
"Manta....Manta, dia juga amblas ke tanah, tolong...tolong," teriak salah satu warga di posisi tidak jauh dari Darma tadi.
Semua para pekerja bakti itu lalu bergegas naik ke daratan dan datanglah Sabdo.
"Ada apa ini, ada apa ?" tanya Sabdo kepada mereka yang bekerja.
"Tadi Darma sama Manta amblas ki sanak," jelas salah seorang warga yang ada di situ.
Sabdo memandang tanah dimana kedua warga amblas tadi, lalu dirinya juga membaca beberapa amalan, tiba-tiba ia pun turun ke selokan, dan tubuhnya amblas juga.
Sabdo kini sudah berada di dalam sebuah ruangan yang amat lembab, baunya sangat menyesakkan pernafasannya. Sambil menyelusuri jalan penuh cairan hijau di dindingnya, ia terus menyelusuri jalan itu yang makin ke dalam makin penuh dengan tulang berserakan. Sabdo dengan seksama melihat beberapa tulang yang berbagai bentuk dan berbagai ukuran. Dia berpikir bahwa bisa jadi banyak korbannya, baik laki-laki atau juga perempuan, baik anak-anak, remaja juga orang tua. Ia terus berjalan hingga di suatu ruangan besar, tampak sebuah lubang di atas sana sebagi sumber cahaya, ia memandang sekeliling, dan ia melihat dua sosok manusia sedang terbaring di tanah liat. Kedua tubuh itu tampak masih bernafas, sementara itu Sabdo menghampiri keduanya. Setelah memberi beberapa bantuan pengobatan kepada keduanya, Sabdo lalu menarik tubuh orang itu dan di cela-cela batu, kedua warga itu kaget lalu mengucapkan kata terima kasih.
"Kalian diam saja di sini, jangan keluar kemanapun sebelum saya kembali ke sini lagi, ini sangat bahaya," kata Sabdo.
Setelah memperingatkan kedua warga itu, lalu Sabdo berjalan menyelusuri jalan yang penuh batu karang, di sana Sabdo melihat bayangan sosok berjalan. Semakin dekat bayangan itu tampak sosok manusia, lalu Sabdo merapat ke dinding, dengan harapan bisa melihat siapa sosok itu. Setelah tampak di depan sana, hati Sabdo lega, karena bayangan sosok itu adalah kakek Palon.
"Saya kira siapa, ternyata kakek," katanya sambil menampakan tubuhnya.
Kakek Palon yang dinyatakan Sabdo tadi menengok ke arahnya dan sambil menunjuk ke depan , ia berjalan diikuti Sabdo.
"Dimana kamu simpan kedua warga tadi ki sanak ?" kata kakek Palon.
"Di sana kek, dibalik dinding itu, kenapa kek ?" kata Sabdo sambil bertanya.
"Syukurlah, di sana aman ki sanak, hati-hati yang ada di sini merupakan makhluk dari jenis siluman air ki sanak," tutur kakek Palon.
Lalu keduanya berjalan menyusuri jalan setapak dan sambil memperhatikan kedua warga tadi, Sabdo dan kakek Palon membuat sebuah perangkap yang tujuannya untuk menghambat pergerakan siluman air itu. Beberapa saat kemudian Kakek Palon dan Sabdo mengajak kedua warga tadi untuk segera keluar dari tempat itu, dengan berjalan di atas tulang kerangka manusia yang terkubur di lorong itu, kakek Palon memberi isyarat bahwa di depan pertigaan itu, tampak bayangan dari sosok dengan dua cula dan moncong yang lebar. Sosok itu terdengar mendengus sambil mencari umpan atau santapan manusia yang tadi sudah ia dapat, namun ternyata setelah berada dimana kedua warga itu terbaring, sosok itu tidak menemukan apa-apa, bahkan sosok itu kembali mendengus menuju Sabdo dan kawan-kawan yang berada di tumpukan tulang.
Sosok itu tampak terlihat jelas oleh Sabdo, dengan dua cula dan mulut yang lebar, serta mata yang merah dan telinga yang sangat keras, serta giginya yang runcing, tubuh sosok itu seperti kerbau, namun kulitnya penuh dengan bulu-bulu hitam, juga kakinya berkuku panjang, serta menebar bau yang tidak sedap, bahkan kedua warga tadi hampir saja muntah, namun kakek Palon memberi isyarat.
"Jangan berisik ki sanak, dia itu telinganya peka, kalau tahu kita di sini, pasti ia akan menyerang kita," ujarnya.
Sosok itu terus berjalan hingga sampai juga di tumpukan tulang, sosok itu melihat tumpukan tulang lalu memandang sekeliling, sambil menggoyang-goyangkan kepalanya, ia berjalan kembali. Kali ini sosok itu melewati mereka berempat dan sosok itu berhenti tepat di sisi kakek Palon dan kawannya itu. Lalu sosok itu mendengus ke arah mereka, dan....."aaaaauuuuuummmmm," suaranya keluar menambah bau yang busuk dan menyesakkan. Kemudian sosok itu mengaum kembali, kakek Palon dan kawannya menunggu sosok itu pergi, namun justru sosok itu mendekam di hadapan mereka. Sabdo berbisik kepada kawan-kawannya.
"Kalau lama ia di situ, kita akan kehabisan udara kek, bagaimana ini," bisik Sabdo.
"Tenang saja, kalian diam dan jangan gegabah, nanti saya akan pancing dia untuk kembali ke sarangnya," kata kakek Palon sambil berbisik.
Kakek Palon lalu berkomat-kamit, maka keluarlah jiwa sang kakek dan jiwa yang berupa bayangan sosok putih itu lari ke arah sarang makhluk itu, sambil melempar batu ke tempat sarang tadi, bayangan sosok kakek Palon melempar sebuah batu, lalu sosok itu bergerak ke arah suara batu tadi.