Yuan Sheng, kultivator terkuat yang pernah ada, bosan dengan puncak kesuksesan yang hampa. Tak ada tantangan, tak ada saingan. Kehidupannya yang abadi terasa seperti penjara emas. Maka, ia memilih jalan yang tak terduga: reinkarnasi, bukan ke dunia kultivasi yang familiar, melainkan ke Bumi, dunia modern yang penuh misteri dan tantangan tak terduga! Saksikan petualangan epik Yuan Sheng saat ia memulai perjalanan baru, menukar pedang dan jubahnya dengan teknologi dan dinamika kehidupan manusia. Mampukah ia menaklukkan dunia yang sama sekali berbeda ini? Kejutan demi kejutan menanti dalam kisah penuh aksi, intrik, dan transformasi luar biasa ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wibuu Sejatii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4.4 : Membeli Mobil
Saat Manajer showroom menyalami Wu Yuan dan Cing Hau, karyawati yang tadinya enggan melayani Wu Yuan segera maju dan berkata kepada Manajer dengan senyum licik. Ia tampak ingin mengambil keuntungan dari situasi ini.
“Pak Manajer, saya adalah orang yang membawa kedua konsumen terhormat ini ke dalam,” kata karyawati itu, suaranya terdengar sedikit lancang.
Tapi Cing Hau, yang sudah terbiasa membeli barang mewah, segera mengerti bahwa karyawati yang tadinya meremehkan mereka ingin mengambil sedikit keuntungan dari pembelian Wu Yuan terhadap mobil di showroom ini. Artinya, keuntungan yang seharusnya diberikan kepada Anita Su akan dibagi kepada karyawati yang meremehkan mereka. Cing Hau merasa sedikit kesal dengan sikap karyawan tersebut.
Sementara itu, Anita Su, pegawai yang melayani Wu Yuan dan Cing Hau, hanya bisa menundukkan kepalanya dan menggigit bibir bawahnya dengan pasrah. Ia merasa kecewa dan tidak adil.
“Ohhh… Begitu? Baiklah, nanti keuntungan dari penjualan mobil akan…” Manajer showroom mulai menjelaskan pembagian keuntungan, namun perkataannya terpotong.
“Tunggu…!!! Manajer, karyawati Anda yang ini sungguh tidak memiliki sopan santun dalam berjualan! Tadinya dia sangat meremehkan kami dan memerintahkan seorang pegawai lainnya untuk melayani kami, serta meremehkan kami dengan sangat jelas!” Cing Hau memotong pembicaraan Manajer dengan suara lantang. Ia merasa perlu menegur sikap tidak profesional karyawan tersebut.
“Apaaa… Apakah ada kejadian seperti ini…??!!” Manajer showroom tampak terkejut dan sedikit marah. Ia tidak menyangka ada karyawannya yang bersikap seperti itu.
Sang Manajer menatap pegawai yang meremehkan Wu Yuan dan Cing Hau, kemudian menatap Cing Hau, lalu menundukkan kepalanya dan berkata dengan sopan.
“Tuan Muda, maafkan pegawai saya. Dan sekarang juga saya akan memecatnya, agar ke depannya menjadi pembelajaran bagi seluruh karyawan saya untuk tidak meremehkan seorang pelanggan, dan tidak meremehkan siapa pun di masa depan,” kata Manajer showroom, menunjukkan rasa menyesalnya.
Setelah mengatakan permintaan maafnya kepada Cing Hau dan Wu Yuan, Manajer ini menatap pegawainya yang saat ini sudah pucat wajahnya dan tubuhnya gemetar, kemudian jatuh berlutut.
“Brugh…!!” Suara keras tubuh karyawan itu jatuh berlutut.
“Manajer, tolong jangan memecatku! Adik dan Ibu ku memerlukan saya untuk menafkahi mereka! Kalau saya dipecat, adik dan Ibu saya akan kelaparan!” Karyawan itu memohon dengan suara terisak. Ia tampak sangat putus asa.
Manajer itu tidak peduli dengan apa yang dikatakan karyawannya. Wajahnya sudah memerah, dan dia pun membentak karyawannya itu.
“Sekarang juga kamu pergi dan jangan kembali lagi ke showroom kami! Kamu saya pecat hari ini…!!! Dan namamu akan dicekal dari seluruh showroom mobil di Kota Fongkai…!!” Manajer itu berkata dengan tegas dan tanpa ampun.
Wu Yuan tidak peduli dengan kondisi di dalam showroom. Bagi dirinya, bila dipandang rendah oleh siapa pun, dia tidak peduli, karena sudah terbiasa dianggap remeh. Apalagi Wu Yuan telah merasakan perasaan diremehkan mulai dari ia sudah memasuki sekolah, dari mulai Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, ia selalu dipandang remeh karena penampilannya yang sederhana.
Untung saja Wu Yuan memiliki otak yang sangat encer, jadinya beberapa teman sekelasnya tidak terlalu berani meremehkan kemiskinannya.
“Cing Hau, mari kita berangkat. Kamu pulanglah. Saya akan kembali ke kos saya terlebih dahulu, kemudian baru saya akan pulang ke kampung halaman saya,” kata Wu Yuan kepada Cing Hau.
“Eh… Kak… Biarkan saya menjadi sopir Kak Wu Yuan untuk pulang ke kampung halaman Kakak. Saya akan mengembalikan mobil ini ke rumah saya, baru kemudian saya akan pergi ke kos Kak Wu Yuan,” jawab Cing Hau, menawarkan diri untuk mengantar Wu Yuan.
“Apakah nanti orang tuamu tidak marah? Soalnya, saya pulang hari Senin pagi-pagi,” tanya Wu Yuan, sedikit khawatir.
“Tidak, Kakak tenang saja. Saya telah permisi kepada orang tua saya tadi,” jawab Cing Hau, meyakinkan Wu Yuan.
“Hmm… Baiklah… Silahkan kamu kembalikan dahulu mobil orang tuamu. Saya juga ada pekerjaan lainnya di dalam kamar kos,” kata Wu Yuan.
Cing Hau lalu pergi membawa mobilnya untuk mengembalikan mobilnya ke rumah orang tuanya.
Sementara itu, Wu Yuan memasuki kamar kos dan membereskan apa saja yang akan dibawanya pulang, serta memikirkan apa saja yang akan dibeli dan dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Ia ingin memberikan sesuatu yang spesial untuk keluarganya.
Setelah membereskan barang-barang dan memindahkannya ke dalam mobil barunya, Wu Yuan menunggu Cing Hau sebentar di luar. Dan ternyata, Cing Hau sudah datang.
“Kak, mari kita berangkat,” kata Cing Hau.
Wu Yuan memasuki mobil di bagian pengemudi. Wu Yuan ingin lebih memantapkan diri dalam membawa mobil. Di dalam perjalanan, Wu Yuan bertanya kepada Cing Hau.
“Kapan kamu akan membuatkan saya Surat Izin Mengemudi?”
“Hari Senin saya akan meminta Ayahku untuk menghubungi orang yang bertugas dalam membuat Surat Izin Mengemudi, Kak,” jawab Cing Hau.
Setelah hari gelap, mereka telah sampai di jalan menuju perkampungan rumah Wu Yuan. Jalanannya sempit dan berkelok-kelok.
Cing Hau terheran-heran.
“Bagaimana bisa orang yang begitu pintar dan kuat rumahnya berada di ujung perkampungan begini?” batin Cing Hau, heran. Tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh karena ia takut menyinggung Wu Yuan yang merupakan orang yang ia junjung saat ini.
Orang tua Wu Yuan dan adiknya yang melihat ada sebuah mobil baru sedang menuju rumah mereka pun terkejut.
“Kak Wangai… Jangan-jangan mobil itu adalah orang-orang itu,” kata Ibu Wu Yuan kepada suaminya, dengan nada khawatir. Wajahnya sedikit pucat, dan jantungnya berdebar cepat. Mereka merasa cemas.
“Jangan takut. Kalau memang itu adalah mobil keluargamu atau keluargaku, mereka tidak akan bisa menemukan rumah kita karena adanya jimat yang ditanam Yuan’er di sekitaran rumah kita ini,” jawab Ayah Wu Yuan, mencoba menenangkan istrinya.
“Tapi aku masih khawatir…” Ibu Wu Yuan masih merasa cemas.
Tampak mobil telah terparkir di depan rumah mereka, dan lampunya menyoroti orang tua Wu Yuan.
“Kak… Itukah orang tuamu?” tanya Cing Hau.
“Ya, mereka adalah orang tuaku, dan anak kecil itu adalah adikku,” jawab Wu Yuan, menunjuk ke arah adiknya.
Beberapa saat kemudian, lampu mobil dipadamkan, dan mesin mobil juga dimatikan. Kedua penumpang pun turun dari mobil.
“Ayah… Ibu…” Wu Yuan berjalan menuju orang tuanya dan memeluk ibunya. Ia merasa sangat bahagia bisa kembali ke rumah.
“Yuan’er, kamukah itu?” tanya Ibu Wu Yuan, suaranya penuh haru.
“Ya, Bu?” jawab Wu Yuan.
“Kakak Yuan…!!” Adik Wu Yuan, Wu Feniang, langsung berlari menuju dan masuk ke pelukan Wu Yuan yang telah melepaskan diri dari ibunya. Ia sangat senang melihat kakaknya kembali.
“Kakak… Siapakah Kakak itu?” Wu Feniang menunjuk Cing Hau. Seketika, Wu Yuan tersadar dan terkekeh karena melihat Cing Hau yang masih segan dan terdiam di dekat mobil.
“Ohh… Mari, Kakak perkenalkan. Ayah, Ibu, kenalkan ini adalah teman sekelasku. Dia bernama Cing Hau, dan dia menemani ku sampai di sini dan akan menginap di sini,” kata Wu Yuan, memperkenalkan Cing Hau kepada keluarganya.
“Ohh… Mari, Nak Cing Hau, masuk ke dalam,” ajak Ayah Wu Yuan. Wu Yuan mengeluarkan beberapa barang seperti ponsel dan juga beberapa daging yang dibelinya di supermarket pada saat mereka membawa mobil menuju ke kampung Tonglishan.
“Yuan’er, sejak kapan kamu bisa membawa mobil? Kenapa kamu membawa mobil orang lain ke mari?” Ibu Wu Yuan bertanya, sedikit heran.
Cing Hau, yang bersama Ayah Wu Yuan telah terlebih dahulu memasuki rumah yang sederhana milik orang tua Wu Yuan, sementara Ibunya menahan Wu Yuan dan bertanya kepadanya.
“Hehehe… Sejak tadi sore, dan mobil ini adalah milikku, Ibu. Sekarang aku telah memiliki banyak uang,” jawab Wu Yuan, tersenyum bangga.
Ibu Wu Yuan sangat terkejut dan terlihat marah karena menyangka Wu Yuan melakukan pekerjaan kotor.
“Yuan’er, kamu mendapatkan uang dari mana? Jangan katakan sekarang kamu suka berjudi atau melakukan pekerjaan merampok ataupun juga melakukan pekerjaan kotor lainnya,” tanya Ibu Wu Yuan, dengan nada khawatir.
“Uhh… Ibu, ini apa-apaan? Saya ini mendapatkan uang dari hasil mengobati orang dan juga membuat beberapa pil untuk dijual. Hasilnya lumayan,” jawab Wu Yuan, menjelaskan sumber uangnya.
“Apakah kamu menjual pil narkoba?” Ibu Wu Yuan masih merasa curiga.
“Aihh… Ibu… Apa yang Ibu pikirkan? Saya membantu orang-orang membuat pil, dan juga saya membawa pil untuk Ayah, Ibu, dan Niang’er, agar kalian menjadi lebih sehat dan bugar,” jawab Wu Yuan, menjelaskan dengan sabar. Ia mengeluarkan tiga botol giok yang berisi Pil Esensi Pembentuk Awal yang telah disulingnya.
“Apakah pil ini kamu yang membuatnya? Sejak kapan kamu bisa membuat pil? Yuan’er, kamu jangan membohongi Ibu. Kamu masih pelajar Sekolah Menengah Atas dan masih kelas dua. Sejak kapan seorang pelajar bisa membuat pil?” Ibu Wu Yuan masih merasa tidak percaya.
“Aku juga tidak tahu, namun cara-cara membuat pil serta bahannya tiba-tiba saja sudah berada di kepalaku, Ibu. Percayalah, aku tidak membohongi Ibu,” jawab Wu Yuan, dengan tenang.
Sambil mengambil botol giok yang berisi pil dari tangan anaknya, Ibu Wu Yuan menatap mata anaknya untuk mencari apakah ada kebohongan di mata anaknya. Namun, mata Wu Yuan nampak dalam dan terlihat sangat tenang. Wu Yuan berharap, dengan menelan pil yang disulingnya, ia berharap orang tuanya akan menjadi seorang kultivator dan bisa melindungi diri mereka sendiri. Dan juga adiknya dapat melindungi diri sendiri ketika menghadapi bahaya di luaran.
“Bu… Selama saya pergi sekolah minggu ini, apakah ada orang yang mengganggu keluarga kita?” tanya Wu Yuan, sedikit khawatir.
“Ohh… Itu… tidak… tidak ada,” jawab Ibu Wu Yuan, dengan gugup.
Wu Yuan melihat mata ibunya yang tampak gugup. Dengan sabar, Wu Yuan berkata.
“Ibu, jimat yang kuberikan untuk keluarga kita itu adalah jimat hasil buatan ku. Tidak mungkin saya tidak tahu kalau jimat itu sudah terpakai sebanyak dua kali. Ibu, tolong katakan, siapa yang mengganggu keluarga kita,” kata Wu Yuan, dengan tegas.
Ibunya terkejut, seaakan-akan tidak percaya ketika mendengar apa yang dikatakan anaknya. Karena sebuah jimat yang kuat sudah pasti dibuat oleh seorang kultivator. Ibu dan Ayah Wu Yuan bukanlah dari keluarga biasa; mereka sudah terbiasa berhubungan dengan orang-orang itu karena keluarga mereka juga ada yang menjadi seorang praktisi kultivator.
“Yuan’er, apakah kamu seorang kultivator?” tanya Ibu Wu Yuan, dengan heran.
Wu Yuan yang gantian terkejut karena tidak menyangka ibunya bisa tahu tentang praktisi kultivator.
“Hmm… Sepertinya benar. Keluarga Ibu dan Ayah di Ibu Kota Provinsi pasti ada yang menjadi seorang praktisi kultivator,” gumam Wu Yuan, dalam hatinya. Ia menatap ibunya dan menghela napas yang panjang.
“Itu benar, Bu. Sejak aku bisa membuat jimat itu, itu artinya aku seorang Kultivator Abadi. Dan sekarang aku telah memiliki uang yang banyak. Bu, apakah Ibu ingin pindah ke kota besar? Aku mampu membelikan sebuah rumah mewah untuk Ibu, Ayah, dan Niang’er tinggal,” kata Wu Yuan, menawarkan kepada orang tuanya.
Ibunya Wu Yuan tertegun, namun beberapa saat kemudian, ibunya menggelengkan kepalanya.
“Ibu dan Ayah sudah sangat menyukai suasana di desa ini, dan kami tidak berkeinginan untuk pindah dari tempat ini,” jawab Ibu Wu Yuan.
Wu Yuan maklum dengan keputusan ibunya. Karena keluarga Ibu dan Ayahnya di Ibu Kota Provinsi sudah mengusir keduanya. Dan lagi pula, pada saat orang kota besar tinggal di desa, sudah pasti akan mengalami perasaan tenang yang tidak pernah mereka rasakan ketika tinggal di Ibu Kota. Biarpun mereka saat ini miskin, namun hati mereka merasa senang dan bahagia. Wu Yuan menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku akan mentransferkan uangku sebanyak lima ratus juta Yuan kepada Ibu untuk digunakan seperlunya,” kata Wu Yuan.
“Apaaaaaa…!! Li… Lima… Lima ratus… Lima ratus juta Yuan…!!?” Wajah Tu Meilan tampak pucat dan seperti tidak percaya dengan pendengarannya. Karena selama ini, keluarga mereka sangat susah. Untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus ribu Yuan saja sampai bisa lebih dari satu tahun. Namun kini anaknya akan mengirimkan uang sebanyak lima ratus juta Yuan. Apakah ini tidak keterlaluan? Di masa mereka masih berada di Ibu Kota sekalipun, keluarga besar mereka tidak akan mengeluarkan uang sebanyak lima ratus juta Yuan dengan gampang.
“Apakah tidak cukup? Kalau begitu, akan ku kirimkan sebanyak satu miliar Yuan saja,” kata Wu Yuan, tersenyum.
“Apaaa…!!!!” Ibu Wu Yuan benar-benar terkejut dan tak percaya. Kaki ibunya menjadi lemas dan akan jatuh, untung saja Wu Yuan segera memapah ibunya dan membawanya masuk untuk bergabung dengan Ayah dan Cing Hau.