Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 21
Soni berdiri di depan pintu kamar Milena, jari-jarinya menyentuh gagang pintu seperti sedang memeriksa benda rapuh.
Ia tidak membuka pintu langsung.
Ia hanya…
menunggu.
Seolah menikmati ketegangan yang ia ciptakan.
Hana di balik pintu servis, bersembunyi dalam gelap total, menutup mulut menggunakan kedua tangannya.
Dadanya naik-turun cepat.
Peluh menetes di leher.
Suaranya tercekik oleh ketakutan.
Jangan buka pintu itu…
Jangan buka… kumohon…
Namun Soni akhirnya memutar gagang pintu Milena.
Klik.
Pintu terbuka perlahan.
Hana menahan napas begitu kuat sampai dadanya sakit.
Ia menempelkan tubuh ke dinding sempit lorong servis, mencoba membuat tubuhnya sekecil mungkin.
Ruangan Milena diselimuti cahaya remang dari lampu meja.
Debu tipis berterbangan saat Soni melangkah masuk.
Setiap langkahnya lambat.
Santai.
Berbahaya.
Tok… tok… tok…
Soni memandang sekeliling kamar seolah sedang membaca cerita masa lalu.
“Sudah lama aku tidak ke sini,” katanya pelan.
Hana meremas gaunnya, tangan bergetar.
Soni menyusuri ruangan.
Ia menyentuh meja rias tertutup kain, mengusap lembaran putih itu.
Ia berhenti di depan foto besar Milena.
“Dulu… kau sangat cantik.”
Suaranya tenang, namun ada nada dingin yang membuat jiwa merapat.
Ia menatap foto itu lama sekali.
“…sayangnya, kau terlalu ingin tahu.”
Kata itu membuat seluruh tubuh Hana merinding.
Soni kemudian menoleh perlahan, menatap sudut ruangan.
Dan langkahnya mengarah ke sana.
Ke arah rak kecil…
…yang menutupi pintu servis yang Hana masuki.
Hana hampir pingsan.
Ia mundur setengah langkah, punggung menempel dinding gelap, kaki goyah.
Hatinnya berdetak begitu keras sampai ia takut suaranya terdengar keluar.
Soni berhenti tepat di depan rak kecil itu.
Ia menyentuh pinggirnya.
Hana menahan napas—
begitu keras sampai ia merasa tenggorokan terbakar.
“Ini dulu tempat teknisi membetulkan listrik,” gumam Soni.
Tangannya bergerak ke arah sisi rak.
“Kamar ini punya terlalu banyak pintu.”
Ia meraih pinggiran rak…
dan mulai mendorongnya sedikit.
Rak itu bergerak.
Hana menutup mata, seluruh tubuh gemetar.
Dia tahu… dia tahu… dia tahu…
Namun tiba-tiba Soni berhenti.
Bukannya membuka pintu itu…
ia justru menarik kembali tangannya dan tertawa kecil.
“Kalau Hana masuk ke sini…”
ucapnya pelan,
“…dia lebih pintar dari yang kukira.”
Hana hampir jatuh karena lututnya melemah.
Soni melanjutkan:
“Tapi Hana tidak akan berani menyentuh tempat ini.
Dia terlalu patuh… terlalu takut…
tapi ternyata…”
Soni menatap sekeliling kamar lagi.
“…baru tadi dia menunjukkan hal lain.”
Ia memejamkan mata sejenak.
“Aku harus mulai melihatnya sebagai seseorang yang bisa berpikir sendiri.”
Nada suaranya berubah menjadi lebih gelap.
“Dan itu masalah.”
Hana meremas mulutnya agar tidak mengeluarkan suara apa pun.
Soni menatap pintu kamar Milena.
Lalu satu kalimat keluar dari bibirnya, membuat darah Hana membeku:
“Kalau Hana memang masuk ke sini…
maka dia sudah tidak takut padaku.”
Soni menepuk rak itu pelan.
“Tapi dia lupa…
aku mengenalnya lebih baik daripada dirinya sendiri.”
Ia berjalan meninggalkan rak dan berhenti di tengah ruangan.
Lalu berkata dengan tenang:
“Hana tidak akan lari sendirian.”
Hati Hana berhenti.
Soni menambahkan,
“…dia pasti lari karena ingin menyusul seseorang.”
Dada Hana terasa seperti disayat.
“James.”
Soni membuka mata.
Senyumnya tipis dan berbahaya.
“Dan itu berarti…
James sedang dalam perjalanan ke mari.”
Hana membungkam mulutnya lebih kuat, menahan isak.
Soni berjalan ke pintu keluar, membuka pintu, namun tak langsung keluar.
Ia menoleh sekali lagi ke dalam kamar Milena.
“Lari saja, Hana.”
Nada suaranya seperti jebakan.
“Karena semakin jauh kau lari…”
Ia tersenyum lebih lebar.
“…semakin cepat James datang.”
Pintu menutup.
Klik.
Langkah Soni menjauh di koridor.
Suara sepatu itu hilang perlahan.
Baru setelah 40 detik berlalu—
Hana akhirnya boleh bernapas.
Dan ia jatuh berlutut dalam gelap, menangis tanpa suara, bibirnya bergetar keras.
“Soni tahu…
dia tahu semuanya…”
Namun kini tidak ada pilihan lain.
Jika ia tetap di sini,
Soni akan menemukan jalurnya.
Jika ia keluar—
ia bisa memperingati James.
Bahkan menyelamatkan dirinya sendiri.
Hana menghapus air mata dengan gemetar.
Lalu merangkak lebih dalam ke lorong servis, menuju arah gelap yang hanya sedikit ia ketahui.
Dalam hati ia berdoa:
“James…
tolong jangan sampai Soni menemukanmu dulu…”
Lorong servis itu sempit—lebih sempit dari yang Hana ingat.
Ia harus membungkuk, merayap melewati debu tebal dan kabel-kabel usang yang menjuntai dari langit-langit.
Gelap.
Sangat gelap.
Satu-satunya cahaya hanyalah remang yang merembes dari celah pintu servis yang tadi ia tutup.
Setelah beberapa langkah, kamar Milena sudah tak terlihat.
Hanya gelap dan keheningan yang terasa seperti menelan dirinya hidup-hidup.
Hana meraba dinding dengan tangan gemetar.
“Jangan berhenti…”
bisiknya memaksa diri sendiri.
“…jangan berhenti… demi James.”
Jalan di lorong menurun sedikit.
Udara berubah lebih lembap, lebih dingin, seperti ia sedang masuk ke bawah tanah.
Setelah sekitar dua menit merangkak perlahan,
Hana menemukan tangga besi kecil yang menurun ke lantai bawah.
Tangga itu gelap, berkarat, sebagian pijakannya bergoyang.
Hana menggigit bibir.
Tidak ada pilihan lain.
Ia menuruni tangga itu perlahan…
satu langkah…
dua langkah…
tiga langkah…
Dengan setiap injakan, tangga itu mengeluarkan suara kecil:
Kriiit… kriiit…
Hana menahan napas.
Jika suaranya terlalu keras dan penjaga lewat di bawah, ia ketahuan.
Setelah hampir sampai di anak tangga terakhir—
PRRAAKK!
Setengah pijakan tangga patah mendadak.
Hana kehilangan keseimbangan.
Tubuhnya tergelincir ke depan.
“Ah—!”
Tangannya memukul udara, mencari pegangan.
Tidak ada yang bisa digenggam.
Ia terjatuh dari setengah ketinggian—
BRAAK!
Tubuhnya menghantam lantai besi di bawah.
Sakit.
Sangat sakit.
Tapi ia tidak berteriak.
Insting bertahan hidup menutup mulutnya.
Hana memeluk lutut, menahan sakit di siku dan bahu.
Air mata mengalir, tapi ia menahan suara sekuat tenaga.
“Aku… aku harus bangun…”
Butuh waktu beberapa detik sampai ia bisa bergerak lagi.
Tulangnya terasa ngilu.
Kakinya gemetar.
Namun saat ia mencoba berdiri—
Ia mendengar suara mesin dari jauh.
Bukan mesin mobil.
Bukan generator.
Suara ritmis, teratur:
Dum-dum… dum-dum…
Itu suara dari ruang mesin mansion—
ruang yang hanya dipakai teknisi dan tidak dijaga ketat, karena letaknya jauh dari area tamu.
Tempat yang sangat cocok untuk menyelinap.
Hana menatap lorong panjang yang mengarah ke bawah ruang mesin.
Gelap.
Berliku.
Tidak ada pegangan.
Tapi jalur itu bisa membawanya ke bagian belakang mansion—
tempat pagar paling tua, yang struktur besinya sudah berkarat.
Jika ia bisa sampai ke sana…
ia bisa keluar.
Atau setidaknya—
menemukan cara mengirim pesan ke James.
Ia merangkak pelan.
Napasnya gemetar.
Kakinya masih sakit.
Namun setiap kali hampir berhenti,
bayangan wajah James muncul dalam pikirannya:
James yang marah.
James yang hancur.
James yang tidak tahu ia dalam bahaya.
“James… tolong jangan masuk…”
bisiknya lirih,
“…aku akan cari jalan…”
Lorong semakin rendah.
Hana harus merangkak sambil memegang dinding.
Setelah beberapa meter, ia menemukan pintu logam kecil bertanda:
ROOM SERVICE — ENGINE ACCESS
Hana mengusap keringat dari dahinya.
“Ini dia…”
Ia membuka pintu itu perlahan.
CRET…
Suara engsel berdecit.
Hana menutup matanya, takut suara itu terdengar oleh siapa pun.
Hening.
Tidak ada yang datang.
Ia keluar ke area ruang mesin yang luas dan panas.
Ada pipa besar, tabung tekanan, dan suara mesin besar berputar.
Namun—
tidak ada penjaga.
Hana hampir terisak lega.
Ini pertama kalinya ia benar-benar tidak diawasi.
Jalan keluar berada di sisi lain ruang mesin, dekat tangki air.
Hana berlari kecil—
Namun tiba-tiba—
BLING!!
Lampu sensor di dinding berkedip.
Hana berhenti mendadak.
Ia merasa jantungnya berhenti.
Lampu sensor itu tidak menyala karena deteksi gerakan di area ruang mesin…
…tetapi karena seseorang membuka pintu besar dari sisi lain.
Pintu itu terbuka perlahan.
Cahaya lampu koridor masuk.
Langkah kaki mendekat.
Satu.
Pelan.
Berat.
Seseorang masuk ke ruang mesin.
Hana mematung.
Tubuhnya membeku total.
Ia tidak berani bernapas.
Dari balik salah satu pipa besar,
ia melihat bayangan sosok itu memanjang di lantai.
Sosok tinggi.
Bahunya besar.
Langkahnya mantap.
Siluetnya terlalu dikenal.
Soni.
Hana menggigit bibir sampai berdarah.
Tuhan…
dia menebak jalurnya…
Soni berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya.
Ia menatap sekeliling ruang mesin dengan tatapan muram.
Bukan panik.
Bukan marah.
Tenang.
Pasti.
Yakin.
Seolah ia tahu Hana akan memilih lorong ini.
“Aku tahu kau sudah keluar dari kamarmu.”
Suaranya bergema pelan di ruang mesin.
Hana menutup mulut, menahan tangis.
Soni berjalan perlahan ke tengah ruangan.
“Dan aku tahu kau ingin melewati ruang mesin untuk mencapai pagar belakang.”
Hana mengerutkan tubuhnya, menyembunyikan wajah.
Soni tertawa kecil.
Bukan tawa sinis—
tawa seseorang yang sedang memecahkan teka-teki.
“Hana…”
Soni mengucapkannya lembut,
“…kau tidak pernah benar-benar tahu seberapa jauh aku mempelajari dirimu.”
Langkahnya semakin dekat.
“Saat kau takut…
kau selalu lari ke tempat tersembunyi.”
Ia berhenti.
“Dan kau selalu mencoba menyelamatkan seseorang…
entah itu ibumu dulu… atau James sekarang.”
Hana menggigit tangan sendiri agar tidak menangis keras.
Soni berhenti tepat di tengah ruangan.
Ia menatap gelap ke arah mesin, seolah bisa menembus bayangan.
“Hana…”
Ia memiringkan kepala sedikit.
“…keluarlah.”
Hana membeku.
Darahnya serasa berhenti mengalir.
“Tidak perlu sembunyi.”
Soni berkata dengan suara rendah.
“Aku tahu kau di sini.”
Hana memejamkan mata.
Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.
Soni menambahkan satu kalimat yang membuat bulu kuduk Hana berdiri:
“Dan kalau kau tidak keluar…”
Ia berhenti.
Lalu berkata dingin:
“…aku akan membuat James yang datang mencarimu.”
Hana terbelalak.
Tubuhnya bergetar keras.
Tidak…
jangan James…
jangan libatkan dia…
Dan itu cukup untuk memaksa Hana mengambil keputusan yang paling menyakitkan—
perlahan,
gemetar,
penuh ketakutan—
Hana keluar dari balik pipa besar itu.
Soni tersenyum tipis.
“Bagus, Hana.”
Namun tatapannya bukan lega…
Itu tatapan seorang pria yang baru saja memojokkan bidak terakhir di papan catur.
20-11-2025
By Eva