Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Aira mematung. Matanya membulat tak percaya.
“GENIT? Sama siapa? Sama ustadz?” Tangannya menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk santri itu.
“Kamu siapanya sih berani bicara begitu?”
Santri itu berdiri makin tegak. “Saya santri di sini.”
“Kalau santri,” Aira menyipitkan mata, “etikanya gak kayak gitu. Gak asal nuduh orang. Kalau kamu suka Ustadz Fathur, bilang aja. Gak usah ngegas ke saya.”
Santri itu terkejut, sementara teman-temannya mulai tegang.
Aira turun dari motor, membenarkan baju gamisnya yang barusan tertarik saat duduk.
“Tolong ya… kalau mau ribut urusan hati, jangan di masjid. Aku mau pengajian, bukan mau perang.” katanya sambil berjalan ke arah tangga masjid.
Santri itu terbengong.
Aira balik badan sebentar, mengangkat alis.
“Oh iya, bilang ke ustadz kalian ya… motornya aman. Saya parkir yang bener.”
Lalu ia masuk ke area masjid, meninggalkan para santri dengan wajah merah... antara malu, iri, dan geregetan.
***
Aira baru saja duduk manis di pojok masjid, mencoba menenangkan napas setelah drama dengan santri jutek tadi. Gamisnya ia rapikan, jilbabnya ia tarik-tarik sedikit.
Tiba-tiba dari pintu masjid terdengar suara ramai—ibu-ibu yang ia kenal dari kampung tempatnya tinggal itu sudah sampai bersama mamanya sendiri.
“Ibu-ibu kampung Mama…” Aira langsung ingin tenggelam ke lantai.
Satu per satu mereka masuk sambil menenteng tasnya, wajah cerah setelah jalan kaki dari kampung. Dan yang paling depan…
Ustadz Fathur, berjalan di sisi Bu Maryam dan beberapa ibu-ibu lain.
“Yaaa Allah… mati aku. Tadi aku ngomel sama santri, sekarang rombongan resmi datang.” gumam Aira.
Santri-santri pondok langsung otomatis rapi dan diam begitu melihat Ustadz Fathur masuk. Mereka memberi salam hormat.
Aira mencoba menunduk dan tak menarik perhatian—tapi jelas gagal.
Karena…
Bu Maryam langsung melambaikan tangan sangat heboh.
“Airaaa!”
Masjid kecil itu mendadak hening.
Semua kepala menoleh.
Aira tersenyum kaku. “I-iya, Ma…”
Ibu-ibu kampung ikut tertawa geli. “Cantik pisan ayeuna teh Aira make gamis,” celetuk seorang ibu yang sepertinya tadi tidak berjalan bareng sambil menepuk lengan Aira.
“Subhanallah, beda sama pas di sawah tadi,” timpal yang lain.
Aira semakin ingin kabur.
Ustadz Fathur berdiri tidak jauh dari situ, menunduk sedikit sopan kepada para jamaah pondok. Tapi matanya sempat melirik Aira yang wajahnya memerah seperti tomat rebus.
Bu Maryam duduk di samping Aira dengan wajah puas. “Ra, rapihin jilbab kamu tuh. Tadi mama lihat dari depan masjid, kayak mau lepas.”
Aira memegang jilbabnya dan terkejut... beneran miring. “Ma… jangan kencang-kencang dong…”
Tapi Bu Maryam tetap santai. “Ah biarin aja. Biar Ustadz lihat kalo kamu tuh asal dandan.”
Aira langsung mendelik. “Ma!” bisiknya kencang.
Ibu-ibu kampung lainnya ikut terkekeh.
Sementara itu, Ustadz Fathur sudah duduk di tempatnya, di bagian depan, siap memulai pengajian. Namun sebelum mulai, beliau menoleh sedikit ke arah Aira dan ibunya, wajahnya jelas menahan tawa kecil.
Aira menunduk cepat-cepat. “Ra, perbaiki sikap. Ustadz Fathur udah siap mulai tuh.” bisik Bu Maryam.
“Aku tuh cuma mau hidup normal, Ma… bukan jadi bahan ketawaan ibu-ibu tiap hari…” ucap Aira.
Ibu-ibu kampung yang lain sudah siap dengan kitab mereka. Beberapa masih suka melirik ke Aira sambil tersenyum... jelas mereka punya pembahasan baru untuk besok pagi.
Sementara itu, santri-santri pondok melihat rombongan kampung datang bersama Ustadz Fathur. Mereka bertukar pandang.
“Tuh lihat, dibawanya sama ibu-ibu kampung…”
“Berarti bukan perempuan sembarangan…”
“Tapi kenapa Ustadz Fathur mirip… lebih ramah ke dia?”
“Aduh… saingan baru…”
Aira, yang mendengar sedikit desisan itu, menelan ludah keras.
“Kayaknya gue bakal difitnah besar-besaran nih di pondok…”
Tak lama kemudian, Ustadz Fathur membuka pengajian dengan salam yang lembut. Suaranya menenangkan, tapi buat Aira malah semakin membuat jantungnya berdebar.
Karena setiap kali ustadz itu mengucap kalimat lembut seperti: “Ibu-ibu yang dirahmati Allah…”
Aira merasa seperti beliau menatap ke arahnya... even though yang sebenarnya tidak.
Bu Maryam menyikut pelan. “Dengerin ustadz. Jangan ngelamun.”
Aira mendesah. “Ma, aku tuh belum siap jadi calon menantu kampung…”
Bu Maryam menahan tawa saking gelinya.
***
Pengajian selesai tepat menjelang magrib. Ibu-ibu kampung mulai keluar sambil berkerudung rapi, saling ngobrol soal materi pengajian. Aira mengikutinya dari belakang, berusaha menghindari lirikan santri-santri yang pernah adu mulut dengannya tadi.
Begitu sampai di halaman pondok, Aira mencium wangi yang tidak asing: Bala-bala. Tahu crispy. Cilok. Cakwe. Martabak mini.
Dia langsung terhipnotis. “Ma… izin ya. Aku lapar…”
Bu Maryam cuma ketawa. “Jangan aneh-aneh lagi.”
Aira mengabaikan. Dengan semangat seperti baru gajian, dia langsung menyerbu warung jajanan di depan pesantren.
“Bu, bala-balanya sepuluh… eh dua puluh deh.”
“Ciloknya lima bungkus.”
“Tahunya dua kotak ya.”
“Dan cakwe satu plastik… eh jadi dua.”
Pedagangnya sampai bingung.
“Banyak sekali, Neng?”
Aira senyum lebar. “Buat aku… dan dunia.”
Santri-santri yang baru keluar masjid memperhatikan dengan bingung. Beberapa saling bisik.
“Itu teh perempuan kota yang tadi ribut…”
“Kok beli makanan banyak banget?”
“Mau dimakan sendiri?”
“Kayaknya nggak mungkin… itu bala-balanya aja satu keluarga bisa kenyang.”
Setelah semua jajanan dipegang... tas kain penuh, dua bungkus di tangan kiri, tiga di tangan kanan... Aira menghela napas panjang. “Ya Allah… berat banget. Kenapa aku rakus begini…”
Tiba-tiba seorang santri perempuan berjalan melewatinya. Aira spontan memanggil.
“Dek! Mau bala-bala?”
Santri itu kaget. “Hah? Untuk saya?”
Aira nyodorin plastiknya. “Ambil aja. Saya beli kebanyakan.”
Santri itu langsung senyum malu-malu. “Hatur nuhun, Teh…”
Setelah itu satu santri lagi lewat.
“Eh kamu juga! Cilok nggak?”
Dan yang lain.
“Neng, mau tahu crispy?”
“Dek, sini ambil martabak mini. Sisa nih.”
“Eh kamu yang tadi nyengir ke aku, sini ambil cakwe.”
Dalam lima menit, jajanan itu habis dibagi ke santri putri yang lewat. Jadilah Aira dikerumuni santri seperti semut lihat gula. Mereka menerima sambil senyum-senyum.
Santri yang tadi beradu mulut dengannya hanya bisa melongo dari kejauhan.
“Kok murah hati banget…”
“Tadi galak, sekarang bagi-bagi jajanan…”
“Aku jadi bingung dia tuh gimana…”
Sementara itu, tidak jauh di sana, Ustadz Fathur baru keluar dari ruang guru pondok. Ia berhenti sebentar—karena pemandangan di depan matanya cukup membuatnya terpaku.
Aira berdiri dengan jilbab agak miring, gamis putih sedikit terinjak, wajah cerah... tapi sibuk membagi jajanan pada santri yang lewat. Tidak ada kecanggungan, tidak ada gengsi. Natural sekali.
Ustadz Fathur menahan senyum. “Itu… bukan perilaku gadis kota yang biasa saya temui.”
Bu Maryam mendekati ustadz Fathur sambil membawa tas yang dibawanya tadi. “Ustadz, mohon maaf anak saya membuat keramaian lagi.”
Ustadz Fathur menggeleng pelan. “Tidak apa, Bu. Justru… saya kira santri-santri senang sekali. Jarang ada yang membagi jajanan begitu.”
Bu Maryam mendengus kecil, lirih. “Dia memang begitu, Ustadz. Keliatannya cerewet, tapi hatinya lembut. Kadang suka terlalu spontan saja.”
Aira yang tidak mendengar apa-apa tiba-tiba menoleh. “Ma! Ustadz! Eh—mau cilok? Eh, udah habis ding…”
Ia cengar-cengir sambil menunjukkan plastik kosong.
Ibu-ibu kampung di belakang mereka langsung cekikikan.
“Alah, Neng Aira mah atuh ramahnya minta ampun…”
“Kemarin gegabah, sekarang dermawan.”
“Pantes Ustadz Fathur mah suka nunduk-nunduk wae tadi…”
Aira memerah.
Ustadz Fathur refleks batuk menahan malu.
“Ba...baik, kalau begitu saya duluan, Bu. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam…” jawab semuanya.
Aira menatap punggung Ustadz Fathur yang menjauh. Masuk ke area pondok.
“Orang itu… kenapa baik banget sih… bikin aku bingung.”
Bu Maryam menepuk bahunya. “Bagus kalau bingung. Artinya hatimu mulai dipakai.”
Aira langsung mendelik. “Ma! Aku jajan… bukan cari jodoh!”
Ibu-ibu kampung serempak tertawa sampai menutup mulutnya.
Bersambung