NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hati Selembut Bidadari

Tiga Bulan berlalu.

Udara sore itu terasa sejuk saat Nayla melangkah ke halaman pondok pesantren milik keluarga Azam. Tempat itu tak asing baginya, tapi hari itu langkah Nayla terasa lebih berat dari biasanya. Ada keresahan yang sejak lama mengusik hatinya, dan kunjungannya ke pesantren ini bukan tanpa maksud. Ia datang membawa doa dan niat yang ia sendiri belum sanggup mengucapkannya secara lantang.

Di pelataran masjid pesantren, pandangan Nayla tertumbuk pada seorang gadis muda. Duduk bersimpuh dengan Al-Qur'an di pangkuannya, bibirnya bergerak pelan melantunkan ayat-ayat suci. Ada ketenangan di wajahnya. Angin yang melewati jilbab putih gadis itu seakan ikut menyampaikan bisikan takdir pada hati Nayla.

Dan entah mengapa... hati Nayla bergetar.

Seusai salat Maghrib, Nayla mencari tahu lewat Nyai Rofiqoh, istri dari pengasuh pondok sekaligus tante Azam.

"Namanya Humairah, Nak. Anak yatim piatu. Dulu dibesarkan di sini sejak usia tujuh tahun. Beberapa tahun terakhir dia kuliah dan memperdalam ilmu di Timur Tengah, dibiayai pondok kita. Baru dua minggu ini kembali ke tanah air," jelas sang nyai dengan senyum penuh kasih.

Nayla diam. Nama itu mengendap dalam pikirannya. Humairah. Sebersih namanya, seindah akhlaknya. Dan Nayla tahu, ada sesuatu di dalam dirinya yang perlahan memantapkan hati.

Malam itu, Nayla tak langsung pulang ke Jogja. Ia menginap di rumah Bibi Azam di Surabaya. Di ruang doa, tempat yang biasa ia gunakan untuk munajat saat galau melanda, Nayla bersujud lama sekali.

“Ya Rabb… aku tahu ini mungkin gila bagi banyak orang. Tapi aku mencintai suamiku lebih dari diriku sendiri. Jika benar Humairah adalah takdir terbaik untuk Mas Azam memiliki keturunan, maka mudahkan lah. Beri aku kekuatan untuk mengikhlaskan… meski bukan dalam makna berpisah, tapi dalam makna memberi.”

Air mata Nayla tak terbendung malam itu. Hatinya robek, tapi bukan karena cemburu—melainkan karena cinta yang begitu besar, sampai ia sanggup merelakan tempatnya di hati seorang pria, untuk dibagi dengan wanita lain… demi sebuah kebahagiaan yang tak bisa ia berikan sendiri.

Malam itu, Nayla bertekat besok pagi ia harus menemui ayah mertuanya,Haji Ibrahim.

Pagi itu di rumah Haji Ibrahim, Surabaya.

Nayla duduk berhadapan dengan Haji Ibrahim di teras rumah yang dipenuhi suara burung dan hembusan angin sejuk. Di tangannya ada secangkir teh hangat, namun tak sedikit pun disentuh. Hatinya bergetar, lidahnya terasa kelu. Tapi niat yang tertanam kuat dalam hati, membimbingnya untuk memulai pembicaraan yang telah ia gumamkan dalam doa-doa panjang malamnya.

“Abi…” suara Nayla pelan, namun cukup membuat pria tua itu menoleh penuh perhatian.

“Hmm? Iya, Nak. Ada apa?” tanya Haji Ibrahim, penuh kebapakan.

Nayla menunduk sejenak, mencoba merangkai kata. “Ada hal penting yang ingin Nayla sampaikan. Ini bukan keputusan tergesa-gesa, tapi buah dari banyak malam yang penuh istikharah, airmata… dan perenungan.”

Raut wajah Haji Ibrahim mulai serius. Ia meletakkan gelas kopinya ke meja kayu.

Nayla menatap mata ayah mertuanya dengan mantap meski berkaca-kaca. “Nayla ingin meminta restu… untuk memilihkan seorang istri lagi bagi Mas Azam.”

Haji Ibrahim membelalakkan mata, napasnya tertahan. “Maksudmu, Nak?”

Nayla mengangguk. “Nayla tahu, ini tak lazim… mungkin juga terdengar menyakitkan bagi sebagian perempuan. Tapi Nayla melakukannya bukan karena tak cinta, justru karena cinta itu begitu besar. Nayla tak ingin Mas Azam kehilangan haknya untuk menjadi seorang ayah. Dan Nayla sadar… Nayla tak bisa memberinya anugerah itu.”

Suasana hening. Bahkan angin pun terasa sejenak berhenti.

“Abi…” Nayla melanjutkan, suaranya semakin tulus. “Nayla tahu posisi seorang istri dalam Islam, tapi Nayla juga tahu hak suami. Dan poligami bukanlah aib selama diniatkan untuk kebaikan dan dijalani dengan adil. Nayla hanya ingin…Mas Azam tak kehilangan haknya, dan tak harus memikul beban karena terlalu menjaga hati Nayla.”

Haji Ibrahim menghela napas panjang, lalu berdiri dan menatap halaman rumah.

Beberapa saat kemudian ia berkata pelan, “Kau tahu, Nak… sejak pertama Azam menikah denganmu, aku melihat cahaya tenang dalam dirinya. Tapi sekarang… aku juga melihat luka yang ia simpan rapat. Luka karena ingin memiliki tapi tak sanggup meminta.”

Haji Ibrahim menoleh kembali pada Nayla, matanya berkaca.

“Dan sekarang aku melihatmu… seorang wanita yang bahkan lebih mulia dari yang pernah kuduga. Kau ingin memberikan kebahagiaan, padahal kau tahu rasanya kehilangan. Kau rela berbagi, padahal kau sendiri belum pulih dari luka. Nayla…” suara Haji Ibrahim bergetar, “Abi bangga padamu.”

Nayla menunduk, air matanya jatuh membasahi tangan yang menggenggam cangkir.

“Jika memang itu keputusanmu… Abi akan mendukung. Tapi pastikan semua dijalani dengan hati, bukan hanya logika. Dan pastikan anak itu, yang akan kau pilih untuk mendampingi suamimu… adalah seseorang yang siap, bukan hanya untuk menikah, tapi juga siap untuk mencintaimu… sebagai saudaranya,"

Nayla mengangguk.

***

Sorenya sebelum Nayla kembali ke Jogja, Nayla menyempatkan diri bertemu Humairah.

Hujan baru saja reda. Udara sore yang dingin membuat suasana terasa tenang dan syahdu.

Di bawah pohon mangga besar di sisi halaman pesantren, Nayla duduk berdua dengan seorang gadis muda berwajah teduh bernama Humairah. Kerudung syarinya tertata rapi, dan sorot matanya tampak penuh adab.

“Hari itu… entah kenapa hati saya tertarik saat melihatmu,” ucap Nayla membuka percakapan. “Dan setelah tahu latar belakangmu, bagaimana keluarga Azam membesarkanmu, saya makin yakin… bahwa Allah mungkin sedang menunjukkan jalan.”

Humairah menatap Nayla, masih belum paham arah pembicaraan. “Jalan… seperti apa, Kak?”

Nayla tersenyum lembut. Tapi senyum itu menyembunyikan pergolakan besar di dadanya. “Humairah, saya datang bukan sebagai seorang tamu. Tapi sebagai perempuan yang sedang membawa misi hati. Dan saya ingin bicara padamu… bukan sebagai orang asing, tapi sebagai seseorang yang bisa jadi—keluargamu kelak.”

Humairah mulai mengernyitkan dahi, namun tak memotong. Ia tahu, yang sedang bicara adalah seorang wanita yang hatinya sedang diuji.

Nayla menarik napas panjang. “Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidup kami. Menjadi istri bagi seorang pria yang amat kucintai. Menjadi ibu bagi anak-anak yang mungkin kelak akan kalian

Miliki.”

Humairah tertegun. Suasana menjadi hening beberapa saat.

“Namanya Azam. Dan dia… suamiku,” sambung Nayla pelan tapi mantap. “Kami sudah empat tahun menikah. Tapi… aku tak bisa memberinya keturunan.”

Humairah menunduk, hatinya berdesir. Ini adalah hal yang tak biasa didengar dari perempuan mana pun.

“Aku tidak sedang memintamu untuk iba, apalagi hanya menerima tawaran karena rasa kasihan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku ingin menjadi kakak untukmu… yang akan menggandeng tanganmu dan membimbingmu masuk ke rumah kami, bukan sebagai orang luar, tapi sebagai saudara.”

Air mata bening mulai jatuh di pipi Nayla, tapi ia tersenyum.

“Aku tidak akan menyembunyikan apa pun darimu, Humairah. Azam itu pemimpin, panutan, sabar, penyayang, tapi juga sangat tegas. Dia bukan pria yang suka basa-basi. Bahkan terkadang sikapnya bisa membungkam siapa pun karena wibawanya. Tapi dia juga laki-laki yang akan menyelimuti hatimu dengan doa dalam setiap sujudnya.”

Humairah masih terdiam, matanya berkaca-kaca.

Nayla melanjutkan, suaranya sedikit bergetar. “Aku datang kepadamu karena aku percaya kamu bukan gadis biasa. Aku bisa melihat itu. Dan jika kamu menerima tawaranku… bukan hanya Azam yang akan menyambutmu, tapi aku juga akan memelukmu sebagai saudariku.”

Lama Humairah tak bersuara. Lalu, pelan, dia mengangkat wajahnya.

“Mbak Nayla… kenapa harus saya? Banyak wanita lain yang mungkin lebih siap…”

Nayla menggenggam tangannya. “Karena aku merasa… Allah menyentuh hatiku lewatmu. Dan aku ingin cinta yang aku bangun bersama Mas Azam… tetap dalam lingkaran kebaikan. Aku ingin cinta ini… tetap bersandar pada-Nya, bukan pada dunia.”

Semilir angin membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Humairah duduk di samping Nayla, wajahnya menunduk, jemari saling menggenggam erat di pangkuan. Ia diam cukup lama setelah mendengar penuturan Nayla, seolah hatinya masih sibuk menerjemahkan makna dari setiap kata yang telah disampaikan wanita di hadapannya itu.

“Aku… tak pernah membayangkan akan ada perempuan seperti Mbak Nayla,” ucap Humairah akhirnya, suaranya lembut namun dalam. “Sejak kecil aku tinggal di pesantren ini, dan banyak hal yang membuatku dewasa sebelum waktunya. Tapi… hari ini, aku merasa kecil di hadapan keputusan sebesar ini.”

Nayla tersenyum tipis, penuh haru. “Aku tak mengharapkan kamu langsung menerima, Humairah. Aku hanya ingin kamu tahu kebenarannya. Tentang Azam, tentang aku, dan tentang cinta kami… yang sedang diuji.”

Humairah mengangkat wajah, matanya mulai basah. “Aku tidak merasa layak. Aku bukan siapa-siapa, Mbak. Aku hanya anak yatim piatu yang hidup dari belas kasih. Dibesarkan oleh keluarga yang sama yang membesarkan suamimu. Dan sekarang, aku… ditawari untuk berbagi cinta dengan seorang perempuan yang sangat mulia di mataku.”

Nayla menyentuh lembut tangan Humairah. “Aku tak mencarimu karena kamu sempurna, Humairah. Aku mencarimu karena kamu gadis yang terjaga. Karena kamu anak yang telah Allah titipkan dalam lingkar keluarga kami. Mungkin… ini bukan tentang siapa yang lebih pantas. Tapi tentang siapa yang siap, dan siapa yang terpilih oleh takdir.”

Air mata mulai menetes di pipi Humairah. Ia menarik napas panjang dan bergetar, sebelum berkata pelan namun yakin,

“Kalau Allah yang menggerakkan hati Mbak Nayla untuk datang padaku… maka aku percaya, ini bukan semata keputusan manusia. Aku… akan istikharah. Tapi jika Allah tunjukkan jalan, aku akan menerima. Bukan hanya Azam… tapi juga Mbak Nayla. Sebagai saudariku. Sebagai guruku. Sebagai teman hidup dalam jalan cinta yang tak biasa.”

Nayla tersenyum penuh syukur. Hatinya yang selama ini gundah, seketika terasa hangat, seperti embun yang jatuh perlahan di tanah kering.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!