Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Air Matamu Adalah Kebahagiaanku!
Tubuh Jenny mematung mendengar ucapan Hildan. Akhirnya dia mendengar ucapan itu lagi. Apa mungkin memang sudah saatnya Jenny meninggalkan Hildan.
Hildan tersenyum melihat wajah Jenny yang terlihat terkejut dengan ucapannya. Dia semakin kuat menjambak rambut Jenny, membuat dia langsung meringis sakit. Beberapa helai rambut terlepas dari kepalanya saking kuatnya Hildan menjambak rambutnya.
"Tapi aku rasa aku belum puas dengan kau, aku masih ingin mempermainkanmu"
Dan harapan Jenny lebih hancur lagi ketika dia mendengar ucapan Hildan barusan. Karena dirinya bagi Hildan hanya sebuah mainan yang harus dia permainkan,
"Kau tahu, kenapa aku tidak ingin melepaskanmu? Karena memang aku sangat senang melihatmu tersiksa, air matamu adalah kebahagiaanku"
Air mata Jenny benar-benar mengalir ketika dia mendengar ucapan Hildan barusan. Setidak berharga itu dirinya bagi Hildan, hingga bagi dia air mata Jenny adalah sebuah kebahagiaan untuknya.
Hildan menghempaskan cengkraman tangannya di rambu Jenny hingga kepala Jenny membentur lantai dengan sangat kuat. Jenny hanya meringis pelan dengan rasa sakit yang dia rasakan. Bukan hanya di tubuhnya tapi juga di hatinya.
"Daddy jangan sakiti Bunda"
Teriakan Zaina membuat Hildan dan Jenny langsung menoleh ke arahnya. Zaina yang langsung berlari ke arah Jenny dan memeluk tubuh rapuh ibunya itu.
"Daddy jahat, Daddy sakiti Bunda lagi"
Jenny memeluk Zaina dengan tangisan yang pecah. Bersyukur karena Zaina baik-baik saja dan telah kembali ke rumah ini.
Hildan menatap Erina yang datang bersama Zaina. "Kau yang membawa Zaina? Kenapa kau tidak memberi tahuku?"
Erina berjalan masuk dengan langkah santai. "Memangnya tidak boleh aku main dengan ponakan aku sendiri"
"Ya tapi kau sudah membuat aku khawatir. Kenapa tidak memberi tahuku dulu jika kau ingin membawa Zaina pergi"
Erina mengangkat bahunya acuh tak acuh, dia merasa jika dia tidak bersalah. Meski dia jelas melihat bagaimana Hildan yang sedang menyiksa istrinya karena ulahnya ini. Tapi tidak sedikit pun Erina merasa kasihan atau merasa bersalah pada Jenny.
"Sudahlah, aku sudah mengantar Zaina pulang dan sekarang aku juga akan pulang. Capek, mau istirahat"
Hildan mengusap wajah kasar, dia melihat Jenny yang masih memeluk Zaina dengan air mata yang mengalir deras. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak ke hatinya.
"Zaina, lain kali kalau ada yang menjemputmu selain Daddy dan Bunda jangan mau. Kamu tahu kalau Daddy khawatir"
"Tapi Tante bilang kalau dia sudah izin pada Bunda kalau mau membawa aku pergi"
"Tidak Nak, Bunda tidak mendapatkan izin apapun dari Tante kamu"
Zaina memeluk Jenny dengan erat, dia merasa bersalah karena telah membuat Bundanya tersiksa oleh Ayahnya.
"Maafin Zaina Bunda, Zaina tidak tahu kalau Tante berbohong. Daddy jahat karena sudah menyiksa Bunda"
Hildan mengacak rambutnya dengan kasar, dia tidak bisa merubah cara pikir anaknya setelah Zaina melihat beberapa kali dia menyiksa Jenny dengan sangat kejam.
"Ayo kita ke kamar Bunda, biarkan saja Daddy sendirian disini"
Hildan menatap anaknya yang membantu Jenny untuk berdiri. Dengan tangan mungilnya, Zaina menuntun ibunya untuk masuk ke dalam kamar. Hildan menatap punggung rapuh Jenny yang menjauh darinya.
Sial, kenapa Erina tidak izin padaku dulu jika dia ingin membawa Zaina pergi.
#######
Pagi ini Jenny terbangun dengan tubuh yang terasa sakit semua. Dia memilih untuk berendam sebentar di dalam bak mandi untuk merilekskan tubuhnya.
Karena aku belum puas mempermainkanmu.
Ucapan Hildan benar-benar membekas dalam ingatan Jenny. Dia tahu bagaimana Hildan yang tidak menyukainya. Namun ternyata dirinya tidak lebih dari sebuah mainan bagi Hildan.
"Bahkan derajat seorang pembantu lebih baik daripada aku yang ber-status sebagai istri, namun sama sekali tidak dianggap istri oleh suamiku sendiri"
Rasanya, Jenny sudah tidak mempunyai pilihan lain dan tidak bisa lepas juga dari Hildan yang sudah mengikatnya dengan rantai pernikahan yang menyakitkan.
Jenny selesai mandi dan segera menyiapkan sarapan. Meski dengan tubuhnya yang ringkih. Ketika dia sedang menata masakan yang sudah dia buat, Jenny menatap Hildan yang berjalan ke arahnya. Jenny tidak berani menyapanya, bahkan hanya untuk menawarkan dia sarapan. Jenny sudah terlalu takut dengan pria itu. Sudah terlalu sering Jenny berharap pada Hildan, namun pada kenyataannya Hildan juga yang menghancurkan semua harapan dalam dirinya.
Dan diamnya Jenny membuat Hildan langsung menatap ke arahnya. Jenny yang diam dan seolah tidak melihat keberadaan Hildan saat ini, membuat Hildan merasa heran. Namun dia tidak memperdulikannya. Setelah minum, dia langsung berlalu begitu saja tanpa mengatakan apapun pada Jenny.
Jenny hanya tersenyum miris melihat suaminya yang benar-benar tidak peduli padanya. Mau dia diam membisu seribu tahun pun, mungkin memang Hildan tidak akan peduli dan tidak akan mau pusing memikirkan Jenny.
Aku memang tidak berharga apapun baginya.
######
Satu minggu berlalu sejak kejadian itu, Jenny benar-benar tidak pernah menyapa Hildan atau apapun itu. Jenny hanya mengurus Zaina dan fokus pada Zaina saja. Namun malam ini Hildan pulang dengan keadaan demam. Dia merasa pusing dan tubuhnya yang tidak baik-baik saja.
Mau mencoba untuk tidak peduli, namun hati Jenny tetap tidak tega untuk tidak merawat Hildan yang sedang sakit. Hildan terdiam ketika melihat Jenny yang masuk ke dalam kamarnya dengan membawa sebuah nampan.
"Maaf lancang masuk ke dalam kamar Mas, aku hanya membawakan bubur dan obat untuk Mas" Jenny menyimpan nampan itu di atas nakas.
Hildan menatap Jenny yang baru terdengar berbicara dengannya lagi. Ketika Jenny akan pergi, Hildan menahan tangannya. "Aku sangat lemah, apa kau tidak mau menemani aku disini"
Deg..
Jenny menatap Hildan yang memegang tangannya. Jenny menghela nafas pelan, dia tidak boleh sampai terpancing lagi oleh Hildan yang bersikap baik padanya. Karena yang sudah-sudah, dia hanya bersandiwara dengan sikap baiknya itu.
"Maaf Mas, tapi aku harus menemani Zaina. Semoga cepat sembuh"
Jenny keluar dari kamar Hildan, membuat Hildan terdiam dengan helaan nafas panjang. Hildan merasa jika Jenny memang sudah tidak lagi mau berbicara lebih lama dengannya.
"Sudahlah, memang dia hanya istri untuk mengasuh Zaina saja. Kenapa juga aku harus berharap dia juga akan merawatku"
Sampai saat ini Hildan masih tidak bisa mengalahkan egonya. Padahal sedikit demi sedikit kehadiran Jenny sudah bisa menggeser posisi mendiang istrinya di dalam hatinya. Namun dia masih tidak mau mengakuinya. Hildan masih merasa jika hatinya hanya untuk mendiang istrinya dan dia berpikir jika dirinya tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada siapapun.
Dia hanya mianan bagimu, Hildan. Ingat itu.
Jenny yang masuk ke dalam kamar Zaina, dia duduk di atas sofa. "Aku hanya perlu menahan diri untuk tidak terus berharap padanya"
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka